Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketika Susunan KIM "Mengobrak-abrik" Logika Publik

24 Oktober 2019   08:02 Diperbarui: 24 Oktober 2019   10:52 2476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah ditunggu-tunggu penuh ketegangan, rasa antusiasme yang tinggi, penasaran yang meledak-ledak dan logika formulasi politik beragam pendekatan, akhirnya Presiden Joko Widodo mengumumkan susunan Kabinet Kerja jilid II atau sekarang diganti nama menjadi  Kabinet Indonesia Maju (KIM) pada hari Rabu 23 Oktober 2019. Sehingga susunan KIM menjadi paripurna, tidak saja nama-nama Menteri yang beruntung menjadi pembantu Jokowi lima tahun kedepan, tetapi juga posisi atau jabatan menteri yang dipercayakan.

Apakah publik puas, setuju, keberatan, mendukung, menolak, marah atau senang dengan  susunan KIM ini? Nampaknya, ini bukan soal puas atau tidak puas, senang atau menderita, menolak atau mendukung tetapi ini soal logika publik yang pada umumnya sangat berbeda dengan logika Jokowi dengan susunan KIM. Ini soal cara berpikir publik tentang peran seorang menteri, yang bermuatan harapan dan solusi terhadap masalah kedepan.

Harus diakui bahwa susunan KIM yang ditawarkan oleh Presiden Jokowi mengobrak-abrik dan mengaduk-aduk, mematahkan dan membelokkan logika publik tentang para pejabat menteri yang dilibatkan dalam kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 2019-2024. Memang disana muncul berbagai opini yang pro dan kontra terhadap sejumlah menteri yang menjabat saat ini. Tidak saja opini publik dalam negeri, tetapi juga opini publik internasional yang bisa dibaca melalui berbagai media daring.

Mengikuti semua pro dan kontra pandangan publik melalui media sosial yang terus beredar dan bergerak, juga melalui koran online, antara lain :

1. Masuknya Prabowo Subianto pada posisi Menteri Pertahanan. Secara logika harusnya tidak menjadi pembantu Presiden Jokowi karena dia adalah rival berat dalam persaingan Pilpres. Harusnya dia dengan Parpol Gerindanya tetap menjadi oposisi dengan semua koalisi yang dibangun selama ini. Tetapi, Jokowi meminta, dan Prabowo menyanggupi. Ini tidak masuk akal. Bagaimana dengan pendukung sebanyak sekitar 68 jutaan suara di Pilpres 17 April 2019? Okelah, kalau tidak semuanya, tetapi berapa puluhan juta pendukung fanatiknya yang tidak mendukung Jokowi?

Bukan hanya itu saja, Prabowo itu tokoh yang kontrobersial dengan isu pelanggaran HAM masa lalu. Bukankah ini akan mennjadi beban dalam tubuh KIM pimpinan Presiden Jokowi? Apakah pelanggaran HAM masa lalu yang melibatkan seorang menterinya tidak akan diproses lagi?

Harian the gurdian menurunkan judul berita yang sangat merisaukan yaitu 'Dark day for human rights': Subianto named as Indonesia's defence minister", sebagai reaksi atas keputusan Jokowi meminta Prabowo memperkuat KIM.

2. Nadiem Makarim menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kehadiran sosok Nadiem Makarim sungguh membawa kejutan yang luar biasa, kendati publik sudah banyak menduga akan terpilihnya generasi milinial ini dalam KIM. Tetapi yang menjadi kontroversi adalah posisi yang diduki oleh Nadiem sebagai Mendikbud.

Lagi-lagi, logika publik diacak-acak oleh Jokowi dengan Nadiem memimpin di posisi ini. Mengapa? Karena harapan publik harusnya dia berada di posisi yang tidak jauh-jauh dari dunia ekonomi, bisnis bahkan semacam UMKM, ekonomi digital kreatif atau semacamnya. Sama sekali publik tidak menduga keputusan Jokowi ini.

Logika publik, harusnya yang ada di posisi Mendikbud adalah semacam para Profresor yang kaya pengalaman dan pengetahuan tentang dunia pndidikan di tanah air. Harusnya seorang Mendikbud adalah salah seorang rektor unibersitas terkenal dan negeri. Atau sudah melanglangbuasan dalam jagad dunia pendidikan.

Sungguh logika publik menjadi terbalik-balik dengan Nadiem Makarim ada di posisi ini. Bahkan opini yang risau yang bermunculan bekata begini "Nadiem tahu apa tentang pengelolaan pendidikan di negeri ini?". Apakah Nadiem mampu menyelesaikan rumitnya sistem pendidikan di tanah air ini?. Wah, jangan-jangan dikbud akan menjadi perpanjangan tangan dari bisnis gojek hehe!

3. Penjabat Menteri Agama Fachrul Razi yang seorang TNI. Relatif tidak biasa, walaupun tidak hanya sekarang, bahwa seorang Menag dipimpin oleh seorang mantan TNI. Logika publik menjadi tergoda untuk mempertanyakan keputusan Jokowi, apakah tidak salah?

Kumparan.com menurukan berita dengan judul "Fachrul Razi:Saya Bukan Menteri Agama Islam", sebagai reaksi dari publik yang memiliki logika harusnya poosisi ini dijabat oleh seseorang yang bukan seorang TNI. Bahkan cnnindonesia.com menurukan berita yang lebih kontroversi lagi adalah "PBNU: Banyak Kiai Protes Menteri Agama Pilihan Jokowi".

4. Menteri Kesehatan dididuki oleh Terawan Agus Purwanto. Dengan nama lengkapnya adalah Mayor Jenderal TNI DR.dr. Terawan Agus Purwanto, Sp,Rd(K), menjadi sosok yang tiba-tiba mengganggu logika publik. Karena teringat kisah beberap tahun silam ketika sang dokter ini menjadi kontroversi tentang cara penemuannya bagaimana metode mencuci darah untuk penderita stroka.

Dokter Terawan akhirnya "diprotes" dan "diusir" oleh Ikatan Dokter Indonesia karena dianggap "tidak benar". Dan kisah selanjutnya begitu panjang sehingga sang dokter mendapat kemapatan ke luar negeri untuk belajar lagi.

Lagi-lagi Jokowi mengaduk-aduk logika publik dengan memasukkan sang dokter ini menjadi pembantu dalam bidang kesehatan. Anda tentu bisa bayangka, bagaimana dengan IDI yang nanti pasti akan ikut diatur oleh sang menteri.

5. Susi Pudjiastuti, mengapa tidak menjadi menteri lagi?. Publik sangat mengharapkan bahwa menteri perikanan dan kelautan Pudji Astuit ini akan terpilih lagi menjadi menteri karena publik anggap sangat berhasil dan bahkan banyak membuat terobosan di bidang kelautan dan perikanan. Tetapi Jokowi tidak lagi memilihnya.

Banyak yang kecewa dan menangis hehe..! Tetapi inilah logika yang menjadi dikacauakan oleh seornag Jokowi dan tentu saja memberikan perspektif yang baru.

Publik tidak bisa protes dan juga tidak perlu protes apalagi tidak setuju dengan susunan KIM. Inilah yang disebut dengan "Hak Prerogatif Presiden" untuk mencari dan menetapkan siapa saja yang layak mendampingi dan membantu pekerjaan Presiden 5 tahun kedepan yang akan datang.

Sejak awal Jokowi sudah mengingatkan bahwa kita tidak bisa lagi menggunakan metode yang lama. Harus berubah. Dan perubahan yang ditawarkan adalah susunan KIM 2019-2024.

YupG. 24 Oktober 209

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun