Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Buzzer, Propagandist, Influencer, dan Panggung Politik

13 Oktober 2019   18:50 Diperbarui: 13 Oktober 2019   19:03 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.radarcirebon.com/ketemu-jokowi-prabowo-di-indonesia-nggak-ada-koalisi.html

Dalam ilmu komunikasi politik "influencer" lebih keras dihubungkan dengan "propagandist" yang suka mempropagandakan suatu ide atau masalah.

Buzzer dalam istilah periklanan dapat dikaitkan sebagai memanipulasi ataupun untuk lebih positifnya mengoptimalisasi kehebatan atau kegunaan barang atau merek (brand) yang diiklankan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka ada perhitungan tayangan minimum atau paparan minimum agar segmentasi target market atau lebih tepat target audience-nya mendengar, membaca melihat suatu pesan iklan, baik melalui visualisasi maupun melalui kata-tata yang disebut "tag-line" dan tentu melalui audio  baik berupa ucapan ataupun nyanyian lantunan lagu.

Banyak contoh "tag-line" yang karena seseorang sering terpapar oleh iklan tersebut maka secara tidak sadar "hallo effect" mengiang-ngiang dalam otak seseorang; satu contoh saja: iklan suatu merek air mineral kemasan: "Seperti ada manis-manisnya!"

Suatu iklan yang berhasil akan menimbulkan "Hallo Effect" yang juga diharapkan dalam suatu kampanye public relations sehingga dapat menimbulkan "citra pantulan" yang menggugah nalar dan pengertian terhadap suatu makna program yang sedang dikampanyekan.

Namun dalam ilmu komunikasi politik diajarkan agar tidak terjebak dalam "Hallo Effect" kampanye politik, karena dapat menimbulkan persepsi pribadi para politisi yang bukan citra partai atau rancangan politis sebenarnya.

"Hallo Effect" dalam bahasa Jawa yang secara umum juga diterima dalam bahasa Indonesia sama seperti "gethok tular" dalam bahasa internasional dikenal sebagai "word of mouth". Cara penyampaian pesan melalui mulut ke mulut dianggap suatu cara sangat efektif. Namun dalam era digital dan industry 4.0 cara demikian tidak efisien.

Faham kekinian: cara melalui "buzzer" merupakan cara paling efektif.

Berikut bacalah berita dari internet yang sudah di "sharing" melalui berjuta media sosial, yang dikutip disini dalam bahasa aslinya:

JAKARTA (Reuters) -- Almost every day, "Janda", a self-described Indonesian housewife with 2,000 Twitter followers, dispenses lifestyle tips, complains about city life, and praises how the government of President Joko Widodo has improved her life as a young mother.

But Janda the housewife does not exist. The Twitter account's real owner is an unmarried middle-aged man who offers political social media services backing Widodo's re-election campaign. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun