fobia. Keadaan dimana seseorang merasa takut berlebihan dan tidak rasional. Di lingkunganku ada beberapa orang yang mempunyai fobia. Adik perempuanku, dia fobia cicak. Cintya tetanggaku fobia ketinggian, sepupuku juga punya fobia dengan buah salak. Reaksi fobiapun bermacam-macam dari mulai sakit perut sampai berteriak histeris.Â
Kalian pasti pernah mendengar istilahAku pernah menanyakan ke dokter pribadi keluarga kami, menurut dokter jenis fobia ada beberapa macam antara lain agrofobia yaitu takut akan kerumunan, fobia sosial dimana seseorang akan mengisolasi diri karena takut dengan pergaulan, glossophobia atau fobia berbicara di depan audiens. Acrophobia takut akan ketinggian, fobia dokter gigi (dentophobia), fobia darah (hemophobia) dan fobia terhadap hewan-hewan yang masing-masing punya istilah sendiri.
Aku punya seorang sahabat, namanya Dwisy. Dari nama pasti orang akan berfikir kalau dia anak ke dua di keluarganya tapi nyatanya tidak. Dwisy anak tunggal. Ketika ku tanyakan arti dari namanya, dia hanya bilang apalah arti sebuah nama. Huh! Memangnya dia mau kupanggil sotoy? Padahal nggak sama sekali.
Dwisy punya fobia. Tapi diantara fobia yang kusebutkan, tak ada satupun yang sama dengan yang dialami Dwisy. Dia fobia dengan orang yang suka pamer atau riya, istilah keren yang ku pakai adalah riyaphobia.Â
Menurut dokter pribadi keluarga kami, dalam dunia kedokteran, tidak ada yang dinamakan riyaphobia.
Sehingga menurutku jika fobia merupakan ketakutan yang tidak rasional, riyaphobia sungguh tidak rasional sama sekali. Bagi yang baru mendengarnya pasti ini sangat aneh, tapi tidak denganku yang sudah bersahabat dari kecil sampai hari ini kami kuliah di kampus yang sama hanya beda fakultas, aku di fakultas ekonomi dan Dwisy di fakultas teknik.Â
Menurutku, dia cocok di fakultas yang didominasi anak laki-laki, fobia yang dia miliki punya peluang kecil terjadi. Aku sih belum pernah lihat cowok yang suka pamer.
Hari ini Dwisy memintaku menemaninya ke toko buku sepulang kuliah. Sebenarnya jadwal kuliah kami berbeda. Aku selesai kuliah di jam 2 siang sedangkan Dwisy di jam 3. Tapi demi sahabatku satu-satunya, aku rela menunggunya di kantin.
Selesai kuliah kami meluncur ke toko buku naik angkutan kota. Motorku sedang absen di bengkel, sedangkan mobil yang biasa Dwisy pakai ke kampus sedang dibawa Ibunya bekerja.Â
Beruntung angkutan tak terlalu penuh. Ada penumpang ibu-ibu yang sedang asyik berbincang. Kami tidak bermaksud menguping pembicaraan mereka tapi suara mereka saja sudah memenuhi angkutan yang kami tumpangi.Â
Salah satu dari mereka sedang bercerita tas bermerk yang dipakai. Aku langsung melirik ke arah Dwisy yang sudah memegangi perut, ini pertanda riyaphobia sedang menyerangnya. Kemudian dia mulai mual-mual.Â