Mohon tunggu...
Yuniandono Achmad
Yuniandono Achmad Mohon Tunggu... Dreams dan Dare (to) Die

Cita-cita dan harapan, itu yang membuat hidup sampai saat ini

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penjual Mie Ayam Solo di Sei Deli

14 Juli 2025   15:17 Diperbarui: 14 Juli 2025   15:17 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum ke Medan, beliau sempat hidup di Wonogiri, tapi 18 bulan tidak dikaruniai hujan membuatnya nekat ikut pamannya ke Sumut. Pergi ke tanah Sumatera hanya berbekal doa "Tak dongani slamet" dari orang tuanya. Tanpa bekal apapun. Babar blas. Sekarang dia telah menikmati hasilnya. Punya rumah --sekaligus jadi kiosnya- bernama Sido Rukun di jalan Sei Deli. Warung itu dijaga gantian sama anaknya yang kecil, sarjana ekonomi dari USU. Sementara istrinya jualan jamu, dengan memakai sepeda kayuh.

Dari tetangga di jalan Sei Medan ini saya melihat semangat kebangsaan yang mengindonesia banget. Dari pak Semo, mbah Rebo, atau mas Parno, yang bertetangga dengan pak Zaenal Siregar , pak Zaenal (orang melayu), dan ada satu lagi mas Yunus. Mas Yunus ini s"diimpor" dari Jepara untuk mengukir kayu di sebuah home industry di jalan sungai deli, depan dorsmeer (penyebutan untuk cuci mencuci motor/ mobil) di samping penjualan pulsa elektrik.

Saya begitu mengagumi akan spirit untuk bertahan hidup, dan bergaul secara keindonesiaan. Masih kuat bahasa jawa alusnya, tetapi menyambut setiap tamu warungnya dengan bahasa Indonesia. Generasi mereka --sebut saja "generasi sepuh"- masih mengambil istri dari Jawa. Tetapi anak-anaknya, sang generasi muda, sudah pada punya marga. Alias sudah mengambil (atau diambil) jodoh sama orang-orang Batak, pun Melayu.

Wawasan Kebangsaan tidak berarti apabila cuma dihadapkan dengan teks-teks Pancasila pun UUD 45 seperti yang dicontohkan di teve-teve. Mereka praktis telah mengamalkannya, tanpa membaca itu. Guyonan sama cucu-cucunya yang tidak bisa bahasa Jawa. Bercanda dengan bahasa nasional di sela-sela acara wiridan. Bahkan pernah saya diundang sunatan anak mas Parno (bakso panorama), yang ada ledheknya, ada gamelan, tapi lagu-lagunya mengindonesia. MC pakai bahasa jawa thothok, tapi para hamong tamunya berperan membantu menjadi translator bagi para undangan.

Uniknya, terhadap yang sebaya, atau malah dibawahnya, mereka mempergunakan istilah "riko" (bukan "rika" ala orang Tegal, tapi memang benar-benar "riko") untuk menyebut "kamu". Bukan "kowe", atau sampeyan, pun njenengan. Egalitarian ala batakensis telah mempengaruhi pengucapan itu. Menurutku mereka lebih dari "wis jowo", sebuah ungkapan orang Jawa untuk paripurnanya sisi humanis mereka. Bahkan mereka telah menjadi Indonesia. Tanpa pernah ikut penataran P4, atau upacara setiap tanggal tujuh belas. Menjadi pribadi yang bertahan hidup lama di perantauan, dengan tetap menjaga kultur asli, dan bergaul dengan toleransi. Benar-benar menjadi Indonesia.

KETIGA ustadz Tamimi. Menjadi pengisi buku catatan saya ketika hari Senin malam Selasa. Mengisi tafsir dengan santainya di masjid Al Muflihin. Sudah 3 (tiga) pekan ini saya tidak ketemu dia. Kabarnya sakit, dan sempat opname. Bagaimana aku harus mengucapkan terimakasih atas pengajian yang mencerahkan itu. Pengalamannya 20 tahun di jazirah Arab (terutama Sudan) betul-betul memikat jamaah. Senin malam menjadi keramaian tersendiri di mesjid. Dan orang pada menggerutu ketika pengajiannya "kosong".

Sebelum ngaji biasanya ustadz Tamimi baca Yahoo! terlebih dulu. Maka sedikit dia ulas cerita di yahoo kemudian dihubungkan dengan surat Al Imran yang dibahasnya. Misalnya tentang Pangeran Charles, atau Blair yang mempelajari Quran. Atau pembuat Quran elektronik pertama ternyata orang Jepang, yang sangat tekun memindah huruf hijaiyyah. Dan kekaguman dia kepada mantan Menlu AS, Madeline Albraight. Perspektif keilmuannya menginternasional, melewati relung-relung kayu kokoh di mesjid Al Muflihin yang sederhana itu.

Saya masih jalan melewati (lagi) jembatan di jalan guru patimpus itu. Jembatan ini begitu berkesan karena mengingatkanku akan kejadian pelajaran bahasa Indonesia saat smp. Ketika bu Guru menanyakan, "Salah seorang sastrawan pujangga baru adalah Marah.... (titik-titik)". Begitu pedenya kujawab dengan "Marah Halim". Ternyata jawabnya Marah Rusli. Marah Halim adalah gubernur Sumut, yang tandatangannya terpampang di jembatan pembelah sungai Deli itu. Tahun 1980-an terkenal kompetisi sepakbola Marah Halim Cup. Untung bu Guru tidak Marah marah. Heheheheheheheheheheheheheheheeheheehehe.

Sampai saat ini saya masih menelusuri sejarah migrasi pedagang bakso dari Karesidenan Surakarta yang menetap di Jalan Sei Deli, Medan. Bisa jadi sebelum tahun 1965. Konon migrasi orang Jawa (termasuk dari Surakarta) ke Sumatera, khususnya ke perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara dan daerah sekitarnya, sudah terjadi sejak era kolonial dan terus berlanjut pascakemerdekaan. Para migran ini membawa serta budaya dan kuliner mereka, termasuk bakso.

Jalan Sei Deli di Medan memang dikenal sebagai salah satu pusat kuliner, dan tidak mengherankan jika ada komunitas pedagang tertentu yang berkumpul di sana, termasuk pedagang bakso dengan latar belakang daerah asal yang sama.

Migrasi besar-besaran ini dimulai pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, dikenal sebagai program "koeli kontrak" atau kemudian "transmigrasi" oleh pemerintah kolonial Belanda. Tujuan utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan-perkebunan besar di Sumatera, terutama perkebunan tembakau di Deli (Sumatera Utara), perkebunan karet, kelapa sawit, dan teh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun