Mohon tunggu...
Yuniandono Achmad
Yuniandono Achmad Mohon Tunggu... Dreams dan Dare (to) Die

Cita-cita dan harapan, itu yang membuat hidup sampai saat ini

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penjual Mie Ayam Solo di Sei Deli

14 Juli 2025   15:17 Diperbarui: 14 Juli 2025   15:17 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dibuat oleh gemini dari google

Kira-kira empat tahun lalu saya ada kegiatan di kota Medan, Sumut. Saya sempatkan untuk klintong klintong (jalan jalan) di sepanjang jalan Sei Deli, Medan. Terus terang saya ada semacam ikatan batin dengan jalan ini. Karena tahun 2011 pernah tinggal selama 8 bulan di sebuah kost di jalan tersebut.

Tahun 2021 itu di bulan puasa, jadi sekitar awal Mei 2021. Saya bertandang ke rumah bapak Zainal Siregar, yang dulunya tempat langganan saya beli nasi goreng (nasgor). Warung masak nasi goreng ada di depan rumah. Yang ngegoreng bu Zainal sama (kadang dibantu) putri nomor 2 (dua). Tapi waktu saya berkunjung di bulan puasa itu sepertinya warung sudah tidak ada. Saya juga tidak menanyakan apakah karena sang putri udah ikut suami, jadi tidak ada yang membantu. Ataukah karena faktor usia sehingga si ibu tidak buka nasgor lagi. Entahlah.

Putra pertama pak Zainal masih single. Seingat saya dia alumni Hukum UMSU, Medan. Waktu saya datang, mereka bertiga (pak Zainal, ibu, dan putranya) sedang ngerjain semacam souvenir atau parcel kecil. Kondisi puasa cukup sejuk dan menyenangkan karena saya sebagai tamu tidak disajikan minuman pun camilan, apalagi makan besar. Kami ngobrol santai di ruang tamu.

Pak Zainal ini punya saudara yang dulu dulu terkenal dapat mukzizat tahun 2005. Kalau masih ada yang ingat tragedi 5 September 2005 pagi, pesawat Boeing 737-200 milik Mandala Airlines PK-RIM dengan nomor penerbangan RI-091, yang tak kuasa terbang dan jatuh di atas pemukiman penduduk Medan. Pesawat baru lepas landas dari Bandara Polonia, korbannya termasuk Gubernur Sumatra Utara saat itu, yakni Tengku Rizal Nurdin. Hanya ada satu orang yang selamat. Dialah adik kandung pak Zaenal Siregar ini.

Kami berbincang lebih dari setengah jam, seingat saya sebelum jam 10.30 WIB saya cabut. Karena persiapan balik hotel dan mau jumatan di dekat penginapan. Isi obrolan lebih banyak bertanya soal kabar tetangga tetangga dulu. Pak Rebo sudah almarhum, demikian pula istrinya. Pak ustadz Tamimi yang tiap Kamis ngisi pengajian yang lucunya poolll, juga sudah dipanggil ke haribaan-Nya. Beruntung saya masih ketemu pak Semo bahkan makan mie ayam bikinan dia di kedainya.

Sambil jalan pulang itu saya mengenang banyak hal. Dulu di bulan Desember 2011 saya mengadakan perpisahan dengan orang-orang penjual mie dan pedagang bakso itu. Omongan dan hirupan udara yang sering membuat kepala terhenyak. Mereka sangat menghargai saya sebagai orang baru yang belum lama tinggal (8 bulan), dan sebentar lagi pergi meninggalkan kota ini. Medan,

Delapan bulan di Medan menjadi kisah yang menorehkan batin tersendiri. Perpisahan dengan orang-orang yang mengejutkan tentang pemaknaan mereka akan proses "menjadi indonesia" .

PERTAMA adalah mBah Rebo. Jamaah dari masjid Al Muflihin yang seminggu di akhir 2011  jarang saya lihat di mesjid. Akhirnya dengan beberapa teman (bapak-bapak maksudnya) kami menjenguknya. Beliau adalah generasi pertama di sungai deli ini. Di tepian sungai deli --bagian utara ini- kebanyakan eksis orang Jawa dari Subosuka Wonosraten (Surokarto, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten). Yang paling gede warungnya adalah milik mas Parno --wong Karanganyar- yang mendirikan warung bakso "Panorama" di sepanjang sei deli. Pedagang bakso lainnya adalah pak Semo, pak Paino, dan pak Paimin.

Pak Rebo (70-an) ini asalnya dari Wonogiri, datang ke Medan sebelum Gestok 1965. Ternyata batuk-batuk yang selama ini diderita membuatnya absen dari jamaah. Jualan baksonya di depan rumah sakit PTPN (jalan putri hijau, depan kepolisian, samping Marriot) juga berhenti sepekan ini. Sudah puluhan tahun pak Rebo merantau ke Medan. Salah satu "anak didiknya" yang berguru tahun 1980 telah memiliki becak motor sendiri, becak motor bakso tentunya. Bapak itu, namanya pak Paino, jamaah Al Muflihin juga, aslinya dari nDayu, Sukoharjo.

Berbeda dengan kebanyakan dorongan bakso di Jawa yang cukup ditarik, kalau bakso di Medan dibuat seperti becak motor (bentor). Sepedanya ditaruh di samping, dihubungkan besi, sejajar sama baksonya. Kadang saya sering menghubungkan hal ini dengan sikap egalitarian wong Medan, atau kesejajaran di antara mereka. Ngomongnya bebas saja tanpa tedeng aling-aling. Cuman apesnya kalau becak yang sepeda (atau motornya, atau yang disebut dengan orang sini sebagai "keretanya") sistem sejajar kayak gini membikin... boros jalan. Mengambil porsi jalanan yang sedemikian besar, sehingga kalau bentor lewat jalanan jadi sempit. Mungkin analogi yang tepat juga untuk demokrasi. Boros biaya. Ketika semua orang dianggap sama pendapatnya. Ketika semua jadi sejajar.

KEDUA dengan pak Semo. Datang ke Medan tahun 1966, saat itu beliau seusia anak smp atau tepatnya drop out dari SD di Jumapolo. Dia mengaku telah mendatangkan 400an orang Karanganyar ke Medan. Kebanyakan menjadi penjual bakso atau mie ayam di kota "bestari" ini. Keempat ratus orang itu didatangkan sejak tahun 1970 s.d 1992. Begitu heroik dia bercerita pengalamannya saat naik kapal pertama kali --setahun sehabis Gestok- dari Tanjung Priok ke Medan. Dia datang dengan pamannya, dan ...copet-copet kapal yang ngaudubillah banyaknya.

Sebelum ke Medan, beliau sempat hidup di Wonogiri, tapi 18 bulan tidak dikaruniai hujan membuatnya nekat ikut pamannya ke Sumut. Pergi ke tanah Sumatera hanya berbekal doa "Tak dongani slamet" dari orang tuanya. Tanpa bekal apapun. Babar blas. Sekarang dia telah menikmati hasilnya. Punya rumah --sekaligus jadi kiosnya- bernama Sido Rukun di jalan Sei Deli. Warung itu dijaga gantian sama anaknya yang kecil, sarjana ekonomi dari USU. Sementara istrinya jualan jamu, dengan memakai sepeda kayuh.

Dari tetangga di jalan Sei Medan ini saya melihat semangat kebangsaan yang mengindonesia banget. Dari pak Semo, mbah Rebo, atau mas Parno, yang bertetangga dengan pak Zaenal Siregar , pak Zaenal (orang melayu), dan ada satu lagi mas Yunus. Mas Yunus ini s"diimpor" dari Jepara untuk mengukir kayu di sebuah home industry di jalan sungai deli, depan dorsmeer (penyebutan untuk cuci mencuci motor/ mobil) di samping penjualan pulsa elektrik.

Saya begitu mengagumi akan spirit untuk bertahan hidup, dan bergaul secara keindonesiaan. Masih kuat bahasa jawa alusnya, tetapi menyambut setiap tamu warungnya dengan bahasa Indonesia. Generasi mereka --sebut saja "generasi sepuh"- masih mengambil istri dari Jawa. Tetapi anak-anaknya, sang generasi muda, sudah pada punya marga. Alias sudah mengambil (atau diambil) jodoh sama orang-orang Batak, pun Melayu.

Wawasan Kebangsaan tidak berarti apabila cuma dihadapkan dengan teks-teks Pancasila pun UUD 45 seperti yang dicontohkan di teve-teve. Mereka praktis telah mengamalkannya, tanpa membaca itu. Guyonan sama cucu-cucunya yang tidak bisa bahasa Jawa. Bercanda dengan bahasa nasional di sela-sela acara wiridan. Bahkan pernah saya diundang sunatan anak mas Parno (bakso panorama), yang ada ledheknya, ada gamelan, tapi lagu-lagunya mengindonesia. MC pakai bahasa jawa thothok, tapi para hamong tamunya berperan membantu menjadi translator bagi para undangan.

Uniknya, terhadap yang sebaya, atau malah dibawahnya, mereka mempergunakan istilah "riko" (bukan "rika" ala orang Tegal, tapi memang benar-benar "riko") untuk menyebut "kamu". Bukan "kowe", atau sampeyan, pun njenengan. Egalitarian ala batakensis telah mempengaruhi pengucapan itu. Menurutku mereka lebih dari "wis jowo", sebuah ungkapan orang Jawa untuk paripurnanya sisi humanis mereka. Bahkan mereka telah menjadi Indonesia. Tanpa pernah ikut penataran P4, atau upacara setiap tanggal tujuh belas. Menjadi pribadi yang bertahan hidup lama di perantauan, dengan tetap menjaga kultur asli, dan bergaul dengan toleransi. Benar-benar menjadi Indonesia.

KETIGA ustadz Tamimi. Menjadi pengisi buku catatan saya ketika hari Senin malam Selasa. Mengisi tafsir dengan santainya di masjid Al Muflihin. Sudah 3 (tiga) pekan ini saya tidak ketemu dia. Kabarnya sakit, dan sempat opname. Bagaimana aku harus mengucapkan terimakasih atas pengajian yang mencerahkan itu. Pengalamannya 20 tahun di jazirah Arab (terutama Sudan) betul-betul memikat jamaah. Senin malam menjadi keramaian tersendiri di mesjid. Dan orang pada menggerutu ketika pengajiannya "kosong".

Sebelum ngaji biasanya ustadz Tamimi baca Yahoo! terlebih dulu. Maka sedikit dia ulas cerita di yahoo kemudian dihubungkan dengan surat Al Imran yang dibahasnya. Misalnya tentang Pangeran Charles, atau Blair yang mempelajari Quran. Atau pembuat Quran elektronik pertama ternyata orang Jepang, yang sangat tekun memindah huruf hijaiyyah. Dan kekaguman dia kepada mantan Menlu AS, Madeline Albraight. Perspektif keilmuannya menginternasional, melewati relung-relung kayu kokoh di mesjid Al Muflihin yang sederhana itu.

Saya masih jalan melewati (lagi) jembatan di jalan guru patimpus itu. Jembatan ini begitu berkesan karena mengingatkanku akan kejadian pelajaran bahasa Indonesia saat smp. Ketika bu Guru menanyakan, "Salah seorang sastrawan pujangga baru adalah Marah.... (titik-titik)". Begitu pedenya kujawab dengan "Marah Halim". Ternyata jawabnya Marah Rusli. Marah Halim adalah gubernur Sumut, yang tandatangannya terpampang di jembatan pembelah sungai Deli itu. Tahun 1980-an terkenal kompetisi sepakbola Marah Halim Cup. Untung bu Guru tidak Marah marah. Heheheheheheheheheheheheheheheeheheehehe.

Sampai saat ini saya masih menelusuri sejarah migrasi pedagang bakso dari Karesidenan Surakarta yang menetap di Jalan Sei Deli, Medan. Bisa jadi sebelum tahun 1965. Konon migrasi orang Jawa (termasuk dari Surakarta) ke Sumatera, khususnya ke perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara dan daerah sekitarnya, sudah terjadi sejak era kolonial dan terus berlanjut pascakemerdekaan. Para migran ini membawa serta budaya dan kuliner mereka, termasuk bakso.

Jalan Sei Deli di Medan memang dikenal sebagai salah satu pusat kuliner, dan tidak mengherankan jika ada komunitas pedagang tertentu yang berkumpul di sana, termasuk pedagang bakso dengan latar belakang daerah asal yang sama.

Migrasi besar-besaran ini dimulai pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, dikenal sebagai program "koeli kontrak" atau kemudian "transmigrasi" oleh pemerintah kolonial Belanda. Tujuan utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan-perkebunan besar di Sumatera, terutama perkebunan tembakau di Deli (Sumatera Utara), perkebunan karet, kelapa sawit, dan teh.

Saat seseorang berpindah ke tempat baru, mereka tidak hanya membawa tubuh mereka, tetapi juga seluruh identitas budaya dan tradisi hidup mereka. Ini sangat terlihat pada migrasi orang Jawa ke Sumatera termasuk migrasi kuliner. Bakso dan mie ayam adalah contoh sempurna. mereka memakai telur ala gudeg jogja yang dibacem (berwarna coklat). Minuman jamu juga ada yang dijual dengan sepeda berkeliling dari kampung ke kota. Migrasi orang Jawa ke Sumatera adalah cerita panjang tentang adaptasi, perjuangan, dan pelestarian budaya. Mereka tidak hanya mengisi kebutuhan tenaga kerja, tetapi juga memperkaya demografi dan budaya Sumatera dengan tradisi, bahasa, seni, dan terutama, kuliner khas Jawa yang kini menjadi bagian integral dari identitas lokal.

Migrasi besar-besaran orang Jawa ke Sumatera, baik melalui program transmigrasi kolonial maupun pascakemerdekaan, tidak hanya mengisi kebutuhan tenaga kerja tetapi juga menciptakan fenomena akulturasi dan asimilasi budaya yang unik. Ini bukan sekadar perpindahan penduduk, melainkan pertemuan antara budaya Jawa yang kental dengan budaya-budaya lokal yang sudah ada di Sumatera, seperti Batak, Melayu, Minangkabau, atau Lampung.

Makanan nasi rames ala-ala Jawa Tengah yang aslinya gurih, diadaptasi dengan bumbu lokal Sumatera yang lebih pedas atau kaya rempah.

Di bidang usaha mikro kecil menengah orang Jawa yang bermigrasi membawa serta keahlian dalam pertanian, kerajinan, dan perdagangan. Mereka berkontribusi pada pengembangan ekonomi lokal, terutama di sektor UMKM khusus lagi kuliner. Keberadaan penjual makanan keliling khas Jawa sudah menjadi pemandangan umum. Migrasi ini telah membentuk identitas multikultural yang kaya di jalan Sei Medan dan Sumut pada umumnya. Budaya Jawa berinteraksi, beradaptasi, dan berakulturasi dengan budaya lokal, menciptakan suatu harmoni baru yang unik. Pujakusuma, putra Jawa kelahiran Sumatera. Sayang belum sempat ketemu sprinter Mardi Lestari, pegawai bank Sumut. Mungkin lain kali.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun