Mohon tunggu...
Yuniandono Achmad
Yuniandono Achmad Mohon Tunggu... Dosen - Dreams dan Dare (to) Die

Cita-cita dan harapan, itu yang membuat hidup sampai saat ini

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Mini On Maximum Target

28 Februari 2023   17:15 Diperbarui: 28 Februari 2023   17:16 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Minion dari https://www.kompas.com/

MENUTUP bulan Februari 2023 ini saya masih menyoal tentang the Minions. Sementara para pemain bulutangkis dunia akan memulai tur Eropa, dimulai turnamen All England bulan Maret ini nanti.

Marcus Fernaldi Gideon sendiri telah mencapai usia batas psikologis pemain bulutangkis, yakni 30 tahun plus plus. Kecepatan telah menurun, kekuatan smash juga, dan footwork-nya. Padahal dengan tinggi badan mendekati 170 senti, minions mengandalkan pergerakan kaki dan tangan yang cepat, untuk menopang serangkan offensif yang mereka lakukan bertubi-tubi. Ternyata memang "age does matter".

Sebuah pepatah latin mengatakan "Senectus ipsa est morbus". Usia tua sendiri adalah penyakit. Ungkapan itu menekankan ide bahwa semakin tua kita, tubuh dan pikiran kita menjadi lebih lemah, dan kita menjadi lebih rentan terhadap berbagai penyakit dan keluhan.

Kok ya pas di tahun 2022 dan awal tahun ini Marcus Gideon sering kena cedera. Dan pas mereka di puncak, yaitu tahun 2020, ada negeri api menyerang berupa wabah pandemi covid19 -sehingga olimpiade Tokyo diundur setahun lebih. Bisa jadi nasib mirip dengan Kento Momota (Jepang) yang apes saat olimpiade 2020 (terselenggara 2021). Misal olimpiade tetap 2020 mungkin minnions dan momota mampu berbicara lebih banyak.

Sebenarnya sistem skor bulutangkis dengan rally point saat ini, bisa dikatakan sangat berpihak pada pemain tua. Itu terutama terjadi di sektor tunggal. Dulu ketika bulutangkis memakai "service over" dan game di angka 15, hanya pemain muda yang mampu bertahan. Seperti Icuk Sugiarto juara dunia di usia 21 tahun, pensiun usia 28. Liem Swie King pada tahun 1988 sudah tidak lagi bermain tunggal -hanya ganda (saat usia 31 tahun). Atau Zhao Jianhua yang juara All England usia 20 tahun, namun saat Olimpiade Barcelona tahun 1992 -artinya usia 27 tahun- sudah tersingkir di babak awal,

Usia menjadi faktor penting, apalagi dalam dunia olahraga. Meski tidak semua cabang, juga ada beberapa pemain yang outlier -atau diluar kurva normal. Untuk cabang olahraga golf dan catur, pemain berusia 40 tahun mungkin malah mencapai kematangannya.

Pemain golf dari Amerika Serikat bernama Tiger Woods menjadi pegolf nomor satu dunia di usia 21 tahun (tahun 1997) dan bertahan selama 13 tahun. Artinya sampai usia 34 tahun si Woods pun masih berprestasi.

Pegolf lainnya adalah Vijay Sing -kelahiran 1963- yang masih masuk 20 besar dunia di usia mendekati 50 tahun. Juga pegolf bernama Phil Mickelson -kelahiran 1970- masih masuk 20 besar dunia pada usia 40an tahun. Untuk catur, saat ini masih bertengger di 20 besar dunia pecatur Veselin Topalov kelahiran 1977. Dulu kita mengenal pecatur umur mendekati 45 tahun tapi masih bisa berjaya seperti Anatoly Karpov, Garry Kasparov, dan Viswanatan Anand.

Olahraga yang rata-rata pemainnya berusia 25-30 tahun, yaitu sepakbola, masih menyisakan beberapa nama yang tergolong tua. Kebanyakan pada posisi kiper, misalnya Peter Shilton yang masih bermain untuk timnas Inggris tahun 1997 -usia saat itu 47 tahun. Kemudian kiper Kamerun yang berlaga saat Piala Dunia 1990 dan 1994 bernama Thomas N'Kono menjelang atau mendekati usia 37 tahun. Selain kiper ada juga perkecualian misalnya Lionel Messi, striker tim Argentina, yang di usia 34 tahun masis mampu bersaing dengan pemain muda untuk membawa tim Tango menjadi juara dunia sepakbola tahun 2022 lalu.

Memang saatnya untuk me-"Rethinking" terhadap eksistensi the minions. Tidak hanya pasangan minions ini, bisa jadi terhadap struktur kebijakan pembinaan bulutangkis Indonesia keseluruhan . Agar tidak berulang case semacam ini.

"Rethinking" berarti berpikir ulang terhadap hal-hal yang sudah dilakukan sebelumnya. Agar ada solusi yang lebih efektif/ efisien thd sebuah masalah -dan tidak berulang persoalan yang sama.

Dulu tahun 2018 kita menghadapi persoalan pelik Tantowi Jauhari yang belum mendapat pasangan baru -selepas Lilyana Natsir pensiun. Metode pembiaran saat itu, membuat Tantowi keluar pelatnas. Kemarin soal Greysia Polii/ Apriyani Rahayu lebih smooth karena Apriyani langsung dapat pasangan baru -dengan merombak pasangan Ribka/ Fadia. Cepat dan mudah karena Apriyani tidak pindah ke sektor lain, ketepatan duet Fadia /Ribka prestasinya medioker melulu.

Sedangkan minions ini agak unik. Karena mungkin pelatnas berpikir masih bisa diharapkan berprestasi kembali -layaknya tahun 2017 ke 2020 lalu. Kemudian kedua gap atau jarak usia empat tahun antar pemain dalam satu pasangan, agak menyulitkan. Ketika satunya mulai menurun (faktor U), lainnya masih stabil. Tapi yang lainnya atau yang satunya itu terbiasa bermain di depan. Yang mulai menurun adalah si tipe penggebuk dan penjelajah. Sedangkan satunya tidak bisa atau tak terbiasa untuk main di bagian belakang. Belum ditambah cedera yang muncul tiba-tiba.

Pikirkan kembali tentang eksistensi the minnions. Gelagat merombak memang sudah ada, Namun ternyata tidak bisa langsung bubar, ada kendala kontrak. Nah ini yang musti dipikirkan juga, soal sponsorship yang tidak begitu mengikat -gimana caranya yak.

Salahsatu solusi yang diajukan adalah merombak minions pasca olimpiade 2024. Padahal bisa saja nih ya, mereka tidak mampu bertahan barang enam bulan. Andaipun masih bisa bertahan sampai tahun depan ....apakah nilai atau pointnya bisa masuk ke putaran final Olympic. Sementara jatah satu negara adalah dua pasangan (apabila masuk 10 besar), bisa 3 pasangan kalau peringkat ketiganya masuk lima besar.

Persaingan tidak hanya dengan lawan luar negeri. Lebih ngeri malah pertarungan di antara sejawat sepelatnas. Setidaknya ada 6 pasang pemain kita di level 20 besar dunia, yang akan sering terlihat bertarung dengan sesama di babak awal.

Dulu setelah Hendra/ markis kido dapat emas olimpiade 2008 juga sempat menurun prestasinya. Keluar pelatnas, malah dapat emas AG 2010. Lalu benar-benar berpisah, markis kido balik klub dan bertemu Marcus ini. Markis/ Marcus sempat dapat juara di Perancis Terbuka. Hendra sempat berpisah dengan Ahsan, berpasangan dengan pemain lain (termasuk pemain Malaysia) dan malah mencoba ganda campuran. Kemudian Hendra-Ahsan rujuk lagi.

Struktur kepelatihan pelatnas bisa jadi terlalu rigid. Mestinya membuka peluang untuk pemain pindah sektor -juga pindah pelatih. Atau malah rangkap (biasanya MD dan XD).

Penutup

Pilihan untuk memecah the minions pasca olimpiade tentunya ada risiko. Salahsatunya bahwa ternyata, kita bermain probabilitas nih, sebelum olimpiade 2024-pun (artinya pada tahun ini) the minions memang tidak bisa lagi bersaing dengan lawannya. Alias semakin keok di beberapa bulan ke depan. Andaikan misalnya peringkat terbaik minions saat ini adalah 10 besar, jelas kalah dengan Fajar/ Alfian dan Leo/ Martin untuk mendapatkan dua tiket olimpiade. Belum ditambah Bakri (Bagas/ Fkri) dan juga the Daddies yang mengintip masuk 10 besar.

Kecuali kalau memang performa minions menjadi apik mulai Maret nanti, kemudian ada 3 (tiga) pasangan Indonesia pada posisi 5 (lima) besar, maka tiga-tiganya akan lolos ke Paris 2024. Segala kemungkinan memang bisa terjadi. Tapi mengingat persaingan ganda dewasa ini, kok rasa-rasanya susah tiga pasangan Pelatnas Cipayung menyodok kelima besar.

Hal itu belum memperhitungkan adanya the rising star dari Tiongkok (usia di bawah 25 tahun) yaitu Liang Wei Keng/ Wang Chang dan satunya He Ji Ting/ Zhou Hao Dong. Ditambah pasangan gaek Tiongkok, yang berjaya di India sebulan lalu, Liu Yu Chen/ Ou Xuan Yi, serta pasangan Korea Selatan yang sering menyusahkan ganda papan atas dunia, yakni Kang Min Hyuk/ Seo Seun Jae.

Itu belum lagi masuk list juara pasangan Jepang mantan nomor satu dunia, Takuro Hoki/ Kobayasi, dan pasangan Taiwan yang regenerasinya berlangsung bagus dan cepat -pasca Lee Yang/ Wang Chi Lin mendapat emas olimpiade Tokyo lalu. Belum terhitung pasangan India pemegang emas Commonwealth Games, Satwiksairaj Rankireddy/ Chirag Shetty -yang semakin moncer di bawah asuhan coach Mathias Boe dari Denmark.

Kemungkinan untuk ide yang agak out of the box perlu dipikirkan, terutama bagi Kevin yang mungkin masih sampai 3-4 tahunan bermain bulutangkis. Karena memang harus patuh dan menurut dengan aturan pelatnas (artinya menunggu evaluasi setahun atau dua tahun bersama si Sinyo atau Marcus), dan Kevin bisa jadi merasa tidak cocok dengan pelatihnya -seperti yang pernah dia ungkapkan. Maka Kevin perlu memikirkan out dari pelatnas, dan mencari sendiri pasangan baru yang jauh lebih muda. Artinya keluar pelatnas, dan kembali ke klub.

Langkah itu pernah dilakukan almarhum Markis Kido pasca olimpiade London 2012, yang kemudian menemukan sosok pekerja keras pada Marcus Gideon bin Kurniahu dari klub Jaya Raya. Hanya beberapa minggu dipasangkan, dobel pria Markis/ Marcus juara di Perancis Terbuka.

Atau mungkin olimpiade 2024 tidak lagi menjadi sasaran. Bisa jadi 2028 nanti. Masih ada waktu untuk dipikirkan. Jangan beri target Maximal on Mini(on) target. Perlu dipikirkan masak-masak agar win win solution bagi Kevin, juga Marcus, pelatnas, lalu sponsor -dan prestasi pemain kita menuju Olimpiade 2024 nanti. Jayalah bulutangkis Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun