Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mata Hati yang Terluka (Bagian 1)

27 Mei 2020   13:51 Diperbarui: 27 Mei 2020   13:42 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : anak perempuan , Sumber : Pexels

Halaman sekolah  tak lagi dipenuhi  murid-murid berseragam. Hanya ada beberapa murid  yang masih duduk-duduk di bawah pohon.  Nampak jemu menunggu jemputan.  Enggan menjawab pertanyaan teman.  Mereka sudah menghabiskan waktu sejak pagi di sekolah. Usai sekolah masih dilanjutkan les pelajaran hingga sore. 

          Santi mencari-cari Audrey di antara mereka karena tak menemukannya menunggu di depan pagar sekolah. Didongakkan dagunya lalu matanya berkitar ke sekitar halaman sekolah. Mencoba mengenali  wajah-wajah murid perempuan yang lalu lalang dan duduk-duduk di bawah pohon namun sia-sia menemukan wajah Audrey di sana.

          Ketika ada serombongan murid perempuan melintas di dekat sepeda motornya sementara dia masih belum juga menemukan Audrey, dicobanya bertanya kepada mereka.

          "Ada yang tahu Audrey  kelas  8.1?"  Santi berharap ada yang menyahut.

          "Tadi naik  bis," jawab satu di antara mereka yang berbadan paling kecil. Sorot matanya mencoba meyakinkan Santi.

          "Iya, Audrey sudah pulang sama Rama," teman di sebelahnya menambahkan.

          "Makasih ya," kata Santi sembari menyunggingkan senyuman yang dipaksakan. Dihidupkan sepeda motornya untuk meredam kekesalan yang seketika menyesakkan dadanya.

          Audrey bukan  gadis kecilnya yang dulu. Ini sudah yang ke tiga kalinya dia dikecewakan. Mestinya sore ini Audrey mengikuti latihan modeling di Adana. Dua kali seminggu Santi harus mengantarkan Audrey ke LPK yang memberikan pelatihan modeling, presenter dan akting. 

Program itu berlangsung enam bulan. Sekarang sudah jalan hampir empat bulan tapi  Audrey mulai sering menghilang di hari-hari yang merupakan jadwal latihannya. Padahal sebelumnya Audrey sudah setuju mengikuti latihan di sana. Santi sudah memberitahunya sebelum mendaftarkan. Namun yang terjadi kemudian Audrey mulai sering beralasan untuk menghindari latihan di Adana.

          "Aku cape Ma. Masak habis les langsung ke sana. Teman-teman udah mandi, aku sendiri  yang masih pakai seragam. Harus cepat-cepat ganti pakaian di sana. Sampai rumah udah malam,"  keluhnya.

          Beda dengan Audrey ketika masih SD. Kegiatan selepas sekolah yang begitu padat  selama seminggu tak pernah membuatnya mengeluh. Malah dia masih ingin menambah kegiatan. Padahal sudah tak ada lagi waktu yang tersisa. Dia ikut sempoa dua kali seminggu, dari kelas satu sampai kelas  tiga. 

Di sekolah ikut ekstra kurikuler paduan suara, band anak, melukis dan membaca Al-quran. Di luar  masih bergabung dengan klub renang, sanggar tari, klub modelling, les vocal dan les biola. Hampir setiap minggu mengikuti lomba-lomba menyanyi atau modelling. Kadang diseling dengan mengikuti lomba menggambar dan mewarnai.

         Sebagai Ibu, Santi selalu mendampingi Audrey setiap mengikuti les atau lomba-lomba. Hari Minggu sering dihabiskan di tempat lomba dari pagi hingga sore. Kalau lomba dimulai sudah siang atau menjelang sore, biasanya baru akan selesai malam. 

Waktu kelas tiga SD, Audrey mengikuti lomba menyanyi yang pengumumannya jam sebelas malam. Lombanya dimulai siang tapi pesertanya banyak dan jenis lombanya juga banyak, termasuk lomba paduan suara dan band. Pada kesempatan itu, Audrey menjadi juara dua sehingga tidak sia-sia menunggu hingga malam meskipun kedinginan dalam perjalanan pulang. Baik Audrey maupun  Santi sama-sama tidak mengenakan jaket karena tidak mengira  lomba  akan berlangsung begitu lama.

       "Kamu ini mengeksploitasi anak,"  kritik Danu, salah seorang teman kerjanya yang sedang studi pascasarjana di bidang psikologi.

       "Istilah eksploitasi tidak tepat untuk kasusku ini," bela Santi merasa tidak melakukan tindak eksploitatif. "Audrey menyukai semua kegiatan yang diikutinya. Dia senang ikut lomba-lomba. Kalau menang dapat hadiah piala, piagam dan kadang dapat  uang juga. Kalau kalah dia bisa menerima kekalahannya karena  menyadari  ada yang lebih bagus darinya."

        "Tapi dia kehilangan masa kanak-kanak hanya untuk mengejar kebanggaan sebagai juara. Hanya ingin diperhatikan  dan dikagumi orang ketika tampil di atas panggung, "  Danu masih tetap ngotot.

        "Dia bertemu banyak teman di tempat les atau di tempat lomba. Mereka saling mengenal, ngobrol dan main bersama. Dia masih tetap bisa bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya," tutur Santi menanggapinya.

Sekilas Danu tersenyum lalu terdiam beberapa saat. Dijentik-jentikkan ibu jari dan telunjuknya ke sisi meja tempatnya menaruh mangkuk soto ayam yang baru saja diantarkan Ibu pemilik kantin di dekat kantor mereka. Sementara Santi memandangi gelas berisi jus sirsak di depannya sambil menunggu pesanannya datang.

          "Sebenarnya apa tujuanmu dibalik semua tindakan eksploitasi ini ? Sampai-sampai kamu mengorbankan seluruh energi, waktu dan biaya hanya untuk membuat Audrey menjadi  pusat perhatian semua orang."

          " Tolong  jangan gunakan lagi istilah eksploitasi !" pinta Santi dengan suara meninggi. Tepat pada saat itu  pelayan yang mengantarkan pesanannya datang. Sepiring gado-gado dalam nampan itu seperti hendak terjatuh karena pelayan yang membawanya terkejut oleh intonasi suara Santi. Danu tersenyum tipis menyaksikan pemandangan di depannya.

          "Okelah terserah apa istilahnya. Aku cuma ingin tahu motifnya."

          "Kayak aku ini provokator aja," balas  Santi sambil mulai menyendok gado-gado yang sudah di atas mejanya. Sejenak Santi nampak berpikir sebelum melanjutkan kalimat berikutnya. "Aku hanya ingin membuat Audrey lebih percaya diri. Dengan menguasai banyak ketrampilan dan memiliki berbagai prestasi orang-orang tak akan bertanya kamu anak siapa. Orang-orang akan lebih  tertarik pada prestasi-prestasi Audrey dari pada  membicarakan siapa  Papanya. "

          Danu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum yang bagi Santi terlihat seperti sebuah cibiran. Tak urung itu membuatnya hampir meradang lagi kalau saja Danu tidak segera bersuara.

          "Jadi maksudmu karena mantan suamimu dulu tidak bekerja dan tidak punya sesuatu yang bisa dibanggakan oleh anaknya lalu kamu berusaha sekuat tenaga membentuk Audrey menjadi seperti sekarang ini?"

          Santi mengangguk dengan tatapan puas. Di hadapannya, Danu masih saja menampilkan ekspresi wajah yang sama. Setelah makanannya habis dan meneguk es jeruknya pelan-pelan, terdengar helaan napas Danu. Sepertinya sekarang dia berpikir dulu sebelum mulai memaparkan pendapatnya yang bagi Santi terdengar membosankan.

          "Itu sifatnya hanya sementara, Santi. Dia tidak bisa terus menerus menyembunyikan identitas dirinya di balik semua prestasinya. Dia  harus berani mengaku sebagai anak single parent. Bahkan seharusnya dia tidak perlu malu kalau Papanya tidak bekerja dan Mamanya yang  menjadi pencari nafkah utama keluarga"

          "Kamu tidak berada di posisiku jadi tidak bisa berempati. Kamu juga belum menikah dan belum punya anak. Kamu tidak bisa merasakan apa yang aku dan Audrey rasakan."

          "Aku kuatir nanti dia memberontak ketika memasuki usia ABG. Selama ini kamu yang mengatur seluruh hidupnya. Menjadwalkan semua kegiatannya. Karena masih kecil dia tidak punya pilihan sendiri. Saat ABG dia akan memilih mengikuti teman-teman sebayanya dari pada mengikuti kata-katamu."

          Sepeda motor Santi melaju dengan kecepatan sedang karena sambil mengendarai speda motornya dia juga menghadirkan seluruh isi percakapannya dengan Danu beberapa waktu yang lalu. Baru sekarang dia menyadari kebenaran ucapan Danu. Audrey memang mulai memberontak dan tak lagi mau menuruti semua keinginannya

          "Kata  teman-teman nggak enak  berteman denganku.  Terlalu banyak kegiatan. Mau diajak kemana-mana  selalu nggak bisa,"  Audrey menumpahkan kekesalannya sepulang sekolah. "Diajak main ada les biola. Diajak nonton pas bareng jadwal latihan presenter."

          "Tiap orang punya prioritas sendiri-sendiri. Teman-temanmu sekarang mungkin lebih suka main dan jalan-jalan karena belum punya target mau jadi apa nanti," papar Santi mencoba menenangkan Audrey.

          Tidak ada bantahan atau  keberatan kala itu tapi begitu tiba hari latihan Audrey menghilang ketika Santi menjemputnya di sekolah. Kalau Santi memarahinya setelah itu, tetap tak akan mengubah sikapnya. Kadang dia mau berangkat latihan kadang  mengajukan  sejumlah alasan  untuk tidak berangkat atau menghilang seperti tadi. Apalagi tadi teman Audrey bilang kalau Audrey pulang bersama Rama. Ah, pasti anak itu yang telah membujuk Audrey  agar tidak berangkat latihan supaya mereka bisa lebih lama bersama.

          Ini kesalahan Santi juga. Kenapa mengijinkan Audrey berpacaran di usia sedini itu. Baru kelas satu SMP ketika dia sering bercerita tentang teman sekelasnya yang bernama Rama. Katanya Rama suka padanya. Teman-teman sekelasnya juga mendukung  kalau keduanya berpacaran.  Pikiran Santi sangat sederhana waktu itu.  Sebagai anak tunggal Audrey barangkali membutuhkan seorang lelaki yang bisa berperan sebagai kakak. Kehilangan figur ayah sejak kecil  membuatnya merindukan perhatian istimewa  dari seorang lelaki. Siapa tahu Rama bisa mengisi kekosongan figur laki-laki dalam hidupnya. Lagipula untuk anak seusia mereka,  berpacaran  hanyalah istilah untuk berteman dekat dengan lawan jenis.

          Sungguh di luar dugaannya, pengaruh Rama sangat besar dalam kehidupan Audrey selanjutnya. Membuat Audrey berani menentangnya. Seperti saat ini juga ketika Audrey lebih memilih bersama Rama dari pada latihan modelling. Tidak hanya sekali. Sudah beberapa kali. Waktu fashion show juga sering berulah. Tidak sabar menunggu giliran maju atau buru-buru ingin pulang secepatnya setelah selesai memeragakan satu busana padahal masih harus berganti beberapa kali lagi.

          Beberapa waktu yang lalu Santi juga menjadi sangat khawatir dengan keadaan Audrey yang selalu mengeluh sakit.  Perutnya sakit atau dadanya sesak. Berbagai keluhan sering muncul kemudian. Berkali-kali dia membawa Audrey ke dokter untuk menjalani serangkaian pemeriksaan. Uji lab dilakukan untuk urine, darah dan faeces. Tak ditemukan ada penyakit apapun.  Dilakukan EKG untuk melihat jantungnya tapi juga normal semua. Kemudian dicurigai mungkin usus  buntu lalu di-USG  dan lagi-lagi tidak menunjukkan adanya masalah di ususnya. Langkah terakhir USG abdomen untuk melihat apakah ada  masalah rahim. Ternyata semuanya baik-baik saja. Dokter anak yang menanganinya kelihatan bingung harus mendiagnosis apa.

          "Kapan terakhir diajak piknik, Bu?" tanya dokter  anak yang menanganinya. Dokter perempuan berambut pendek itu memandang Santi dan Audrey bergantian.

          "Kenapa Dok?" Santi menatapnya heran mendapat pertanyaan seperti itu. Memang mereka  tidak pernah piknik  lagi  sejak Santi berpisah dengan suaminya. .Setiap kali Santi mengajak Audrey ke tempat wisata selalu ditolaknya. Katanya tidak enak kalau hanya berdua. Mereka lebih sering mengisi hari libur dengan jalan-jalan ke mall atau wisata kuliner. Cara itu yang paling mudah dilakukan keduanya. Tidak makan waktu dan biaya yang banyak.

          "Kami tidak menemukan penyakit apa-apa. Secara fisik dia sehat-sehat saja.  Saran saya mungkin sebaiknya sering-sering diajak piknik ."

          Santi tak bisa memenuhi saran dokter karena Audrey masih selalu menolak diajak piknik. Dia tak ingin menghabiskan waktu di tempat wisata hanya berdua dengan Santi. Kalau saja Santi bisa mengajak teman-teman lain untuk bersama-sama piknik mungkin Audrey akan setuju karena akan ada banyak teman. Bisa juga ikut dalam paket tour yang ditawarkan travel agency. Kendala keuangan sebenarnya memang menjadi pertimbangan bagi Santi hingga rencana piknik itu pun tak pernah terlaksana.

          Kehidupan keduanya berlangsung seperti biasanya. Rutin dan monoton. Santi membagi waktu untuk bekerja di luar dan di dalam rumah. Menyediakan sepenuhnya waktu yang tersisa untuk mengurusi Audrey. Antar jemput ke sekolah dan ke tempat les. Kalau ada fashion show, pementasan atau lomba-lomba, Santi pun selalu siap mendampingi Audrey. Tak peduli seberapa jauh tempatnya dan seberapa lamanya acara itu berlangsung. Audrey selalu menjadi prioritasnya sama seperti ketika dia masih gadis kecilnya dulu. Baginya, kebanggaan dari prestasi Audrey telah cukup menghibur dan menyenangkan hatinya. Audrey mendapat perlakuan selayaknya super star . Dibelikan baju dan sepatu bagus.  Mau makan apa saja selalu dituruti. Gadis kecilnya itu bahkan terbebas dari pekerjaan di rumah.  Santi menyadari kalau sebagian besar energi Audrey  tersedot untuk belajar, latihan , pementasan dan lomba-lomba. Santi tak keberatan melakukan semua pekerjaan rumah sendiri tanpa pembantu. Uangnya dihemat agar bisa membelikan pakaian bagus untuk Audrey atau membeli makanan kesukaannya. Juga untuk membiayai kegiatan-kegiatan Audrey. 

           Audrey yang kini telah ABG. terbiasa dilayani sejak kecil sehingga tidak bisa diharapkan bantuannya untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan di rumah. Menyapu tidak bisa bersih apalagi mengepel. Mencuci piring pun menolak meskipun sebenarnya bisa. Menyetrika pakaiannya sendiri dia tidak bisa kecuali kalau terpaksa. Dia menyetrika seragam sekolahnya sebisanya kalau Santi memang sudah tak sempat lagi melakukannya.

          Beberapa bulan yang lalu Santi dibuat panik ketika suatu siang mendapat telpon dari guru BK di sekolah Audrey. Dia harus segera datang ke sekolah karena Audrey pingsan. Bukan karena kepanasan saat upacara atau kecapean waktu olah raga tapi tiba-tiba saja anak itu pingsan selagi mengikuti pelajaran di kelas. Waktu Santi tiba di sana, Audrey masih berbaring lemah di ruang UKS sambil menghirup selang dari tabung oksigen. Setelah merasa agak kuat, dia diantar pulang dengan mobil sekolah sedangkan Santi mengikutinya dengan sepeda motor di belakangnya.

         Rupanya guru-guru mengkhawatirkan keadaan Audrey akhir-akhir ini. Bu Mencik yang menjadi koordinator guru BK mengundang Santi ke sekolah untuk membicarakan hal itu. Santi menduga jangan-jangan Audrey kedapatan berpacaran di sekolah lalu terjadi masalah. Itu sungguh memalukan. Apa yang akan dikatakan Santi nanti kalau benar begitu. Mestinya dia tak mengijinkan Audrey berpacaran di usia dini. Apalagi belakangan ini sering terjadi pertengkaran di antara ke dua  ABG itu.

         Rama  ternyata sangat posesif. Selalu ingin tahu apa yang dilakukan Audrey. Selalu mengatur dan mengontrol setiap kegiatan Audrey. Baginya Audrey adalah miliknya yang harus tunduk pada aturan-aturannya. Tidak boleh berteman dengan anak laki-laki lain. Wajib melaporkan setiap kegiatannya dari bangun tidur sampai mau tidur lagi.  Terlambat menjawab SMS akan berujung pertengkaran. Kalau sudah bertengkar, sumpah serapah dimuntahkan lewat SMS  yang tak kunjung henti sepanjang hari.

         Kata-kata yang tidak pantas itu sepertinya sudah menjadi makanan sehari-hari Audrey selama berhubungan dengan Rama. Entah kenapa gadisnya itu tetap bertahan meskipun mendapatkan kekerasan verbal seperti itu. Beberapa kali Santi mendapati SMS dengan caci makian di HP Audrey. Beberapa ucapan tak pantas yang ditujukan kepada Papa Audrey dan juga dirinya sebagai Mama pun muncul dalam SMS Rama untuk Audrey. Bara amarah  berkobar di hatinya. Hanya saja Santi mencoba menahan kemarahan agar tak terpancing untuk balik mengutuki  Rama. Pelan-pelan ia membujuk Audrey agar mau berpisah dengan Rama. Namun usahanya sia-sia karena Rama selalu punya cara untuk menarik simpati Audrey kembali. Padahal ketika kemarahannya memuncak, Rama mulai  mengancam untuk mencelakai Audrey.  Minta ganti rugi untuk semua uang yang pernah dikeluarkannya. Minta dikembalikan semua benda pemberiannya. Sungguh memuakkan tingkahnya.

        Ternyata guru-guru di sekolah tidak tahu kalau Audrey berpacaran dengan Rama. Barangkali mereka tidak menunjukkan kedekatannya secara menyolok di sekolah. Tapi apa yang membuat para guru merasa perlu bertemu dengan Santi sebagai orang tua Audrey?

        "Saya khawatir dengan kondisi psikisnya, Bu," ujar Bu Mencik mengawali percakapan siang itu di ruang BK. Kedatangan Santi pun tak diketahui Audrey karena memang sengaja disembunyikan agar anak itu tak tahu.

        "Ada apa ya , Bu ?" tanya Santi penasaran.

        "Menurut cerita teman-temannya Audrey sering minum obat . Dia selalu membawa tablet sakit kepala di saku baju atau roknya. Kemarin waktu dia pingsan itu dia juga habis minum obat. Dia nyuruh Rinta, temannya minum tablet itu juga tapi  Rinta nggak mau, "   Bu Mencik  memaparkan permasalahan yang sebenarnya dihadapi Audrey.

       "Aduh, obat apa ya Bu?" gumamnya merasa bersalah. Kenapa sebagai orang tua dia kurang mengawasi Audrey.

       "Itu obat bebas, Bu tapi saya kuatir kalau nanti menjadi ketergantungan dan berefek buruk bagi kesehatannya," keluhnya. "Saya kurang paham tapi saya kira  dalam komposisi suatu obat itu ada zat yang bisa membuat ketagihan atau merasa tenang setelah mengkonsumsinya. "

       "Saya tidak tahu kenapa dia berubah menjadi seperti ini ya Bu. Dulu Audrey anak yang sangat aktif dan banyak kegiatan," ucapan Santi lirih dan mengandung sesal. " Apa karena dia sekarang sudah mulai pacaran?  Pacarnya itu sangat mendominasinya."

       "Siapa pacarnya? Teman satu sekolah di sini juga?" desak Bu Mencik sambil mengernyitkan dahinya.

       "Iya, Bu. Teman sekelasnya, " jawabnya pendek.

      "Asal masih dalam batas kewajaran tidak apa-apa," pupus Bu Mencik pada akhirnya.

      "Barangkali pacarnya ini yang menjadi sumber masalah. Audrey sudah terbiasa dengan jadwal kegiatan yang padat sejak kecil. Dia setuju mengikuti kursus musik dan modelling  tapi  sekarang ini mulai sering membolos. Saya marah kalau dia tidak serius latihan. Pacarnya pun marah kalau Audrey tidak menurut padanya.  Dia tidak suka Audrey banyak kegiatan. Mungkin ini Bu yang membuatnya bingung antara mengikuti saya atau pacarnya. Dia menjadi   sering merasa pusing. Dia pikir dengan minum obat pereda sakit kepala semua masalahnya akan  selesai., " ungkapnya mengajukan kemungkinan yang paling  mendekati kebenaran untuk mengurai akar permasalahan yang membelit Audrey.

       "Benar, Bu. Saya kira juga begitu. ABG biasanya lebih percaya pada teman sebayanya.  Kita sebagai orang tua harus bisa dekat dan mengambil hatinya agar dia mau mendengarkan kita,"  nasehat Bu Mencik  menyudahi pertemuan siang itu.

       Sejak saat itu Santi selalu memeriksa tas Audrey. Setiap kali ditemukan tablet sakit kepala atau obat sesak napas, dia mengambilnya diam-diam. Audrey tak pernah menanyakannya meskipun berulangkali kehilangan obat-obatnya.  Pernah ketika Santi menyita obat-obatnya itu, Audrey mencoba merebutnya tapi tak berhasil.

      "Jangan minum obat-obat ini lagi, Drey! Kamu tidak sakit  !" bentaknya keras sambil menatap tajam ke mata Audrey.

     "Aku sering pusing , Ma. Sesak napas juga,"  suaranya memelas.

      "Bukan obat-obat ini yang kamu butuhkan. Kamu hanya perlu menjadi dirimu sendiri. Nggak usah bingung. Jangan ikut-ikutan teman. Nanti kamu nggak pusing lagi. Nggak sesak lagi. "

       Wajah gadis belasan tahun itu tertunduk lesu. Membiarkan Santi membuang tablet-tablet yang dijadikan penebus rasa sakitnya. Entah sakit fisik atau psikis  yang tengah dialaminya. Audrey menatap kosong ke kejauhan ketika dirasakan pelan-pelan tangan Mamanya membelai rambutnya.

"Apakah Rama membuat kamu tertekan?" selidiknya hati-hati.

"Nggak, Ma. Biasa saja," sanggahnya yang pasti bagi Santi terdengar sebagai kebohongan.  Belum saatnya Audrey  terbuka tentang Rama kepadanya.

Sambil menahan geram, Santi berbicara pelan, "Kamu jangan membiarkan dia seenaknya memakimu. Mama tidak suka.  Kalau dia masih selalu merendahkanmu lebih baik kalian berpisah saja. Nggak usah pacaran dulu. Dia bukan laki-laki yang baik buatmu."

Tak ada sahutan yang terdengar kemudian. Audrey diam terpaku membiarkan Santi menumpahkan semua kejengkelannya kepada Rama. Wajah Audrey seolah  sudah kehilangan ekspresi. Sia-sia Santi mencoba menemukan sebentuk rasa dari sana.

Sewaktu kecil dulu Santi begitu ingin belajar menari tapi Ibunya tak pernah peduli. Tak ada waktu untuk sekedar memperhatikan anak karena kesibukannya di luar rumah yang begitu banyak. Setelah menjadi Ibu sekarang dia  mencoba mencari-cari bakat dan potensi apa yang bisa dikembangkan dari anaknya. Sayangnya apa yang dilakukan itu nampaknya sia-sia . Audrey sudah bukan anak kecil  yang selalu mau menuruti apa saja keinginan Mamanya.

          Bis bercat merah muda yang sedang menunggu penumpang di pinggir jalan itu mungkin saja membawa Audrey dan Rama. Ingin rasanya Santi menghentikan sepeda motornya untuk memeriksa isi bis itu. Lantas apa yang akan dilakukan nanti kalau benar Audrey ada di sana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun