Mohon tunggu...
John Obrak
John Obrak Mohon Tunggu... lainnya -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

mendobrak statusquo\r\n\r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Beranikah Jokowi-Ahok Stop Reklamasi

23 Januari 2014   15:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:32 1115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setiap harta kita terdapat milik orang lain, apalagi harta milik umum janganlah dikorupsi atau dirampok dan diakali dengan menghalalkan segala cara.

Sungguh mengherankan, mengapa hari ini Jokowi-Ahok mempersoalkan wilayah hulu yang mengirim air ke Jakarta, tapi tidak pernah mempermasalahkan wilayah hilir yang berkontribusi besar terhadap banjir Jakarta. Kecuali kemampuan Ahok menyulap secepat kilat, menggusur paksa dan memperlakukan rakyat miskin ibarat hama wereng diusir dari waduk pluit.

Jokowi-Ahok sang duo-seleb-karbitan berperilaku bak PENGEMIS yang AROGAN cuap-cuap memaksa dan meminta kepada Kepala Daerah tetangganya memenuhi keinginan mereka tentang dosa di hulu. Kemudian “dibantu” TVone dan MetroTV dalam tayangan wawancara Kepala Daerah tadi dengan cara klise “membabi-buta” memojokkan dosa hulu tanpa memberi solusi berbeda.

Kalau beralasan bahwa masalah hilir adalah warisan pemerintahan sebelumnya, apa bedanya menyebutkan hal yang sama terhadap wilayah hulu yang mengirim air sejak jaman “atok adam”, begitulah keadaannya. Air semakin besar dikirim ke hilir juga tidak terlepas dari perilaku rakus penguasa Jakarta mencacah gunung di hulu, kalaupun perlu sekali waduk pernyataan Kemen PU pun menjelaskan bahwa pembuatan dua wadukpun “hanya” mengurangi 8% banjir Jakarta.

Akal sehat pemimpin selayaknya tajam melihat parahnya perilaku merusak di hilir dan dibutuhkan perilaku cerdas untuk mengantisipasinya. Banjir Jakarta adalah akibat tidak perduli rasa kebersamaan, mendahulukan kepentingan sendiri, ekslusifitas dan rakus, maka beginilah jadinya.

Apa beda rakyat yang menguasai dan membangun properti rapuh di 13 bantaran sungai yang mengalir dan waduk di Jakarta dengan rakyat yang telah merubah sepanjang pantai utara dari kawasan rawa dan mangrove bermanfaat bagi ekosistem alam dan warga Jakarta menjadi blok-blok properti raksasa dan mewah yang super eksklusif?. Nyawa, keseimbangan alam dan trilliunan telah hilang dari kehidupan inklusif akibat kerakusan itu, yang diperoleh hanya milliaran tidak berarti.

Jokowi-Ahok belajarlah melawan lupa, belajar arif, tidak diskriminatif dan tidak arogansi terhadap rakyat, jangan sampai meniru gaya topeng monyet cuma pintar cengar-cengir pada rezim berduit yang rakus lahan?.

Sudah puluhan atau bahkan ratusan kajian tentang kondisi pantai utara Jakarta tapi birokrat sebelumnya tidak pernah peduli dengan peringatan ahli, akademisi, media, LSM hingga orang awam.

Apa tidak sebaiknya Jokohok menunjukkan kebijakan yang berbeda dalam menyikapi masalah banjir. Apakah kesalahan masa lalu dilanjutkan atau bahkan ditambah lagi dengan persoalan baru?. Ada beberapa solusi kalau mereka mau jujur sesuai tipikal Jokowi yang populis dan Ahok yang keras (kecuali sifat populis dan keras hanya dipergunakan bagi pencitraan palsu atau PHP alias pemberi harapan palsu) yi. :

1.Seluruh proyek reklamasi dan perubahan pantai utara yang direncanakan, sedang berlangsung dan sudah berlangsung dihentikan dan ditiadakan oleh Jokowi-Ahok/Pemda DKI. Bukan malah menyetujui 17 reklamasi yang akan membuat Jakarta besok tenggelam.

2.Wacana gila pembangunan tanggul raksasa sepanjang pantai utara yang memakan biaya 200an trilliunan (dari mana biayanya) ditiadakan. Duitnya jauh bermanfaat bagi pemberdayaan rakyat, program penaggulangan banjir dan macat, sesuai janji pilkada Jokowi sebaiknya dialokasikan juga untuk pembangunan rusun bagi yang tinggal di bantaran kali.

3.Hentikan pembangunan properti dalam bentuk apa saja di seluruh Jakarta, sampai dipastikan bahwa properti dihuni dan dipergunakan sesuai tujuannya, tidak untuk spekulasi dan lari dari tujuannya,

a.Kepemilikan properti (rumah, ruko, apatemen dll.) dibatasi sewajarnya setiap KK tidak lebih dari 1-2 unit saja, mekanisme kontrolnya misalnya adalah setiap sertifikat kepemilikan rumah perorangan dikaitkan NPWP pribadi dan seluruh pajak kepemilikan bersifat progresif.

b.Properti beralih fungsi disegel Pemda DKI, karena ada akal-akalan banyak ruko tidak sesuai fungsinya ruko dijadikan gudang penyimpanan sehingga ruko-ruko seperti jamur ditengah kota.

c.Rumah/apatemen untuk rumah jangan rumah/apartemen untuk kantor/usaha besar.

d.Jalan tol benar-benar dihentikan, jangan hanya wacana kampanye pilkada saja, eh baru seumur jagung 6 jalan tol malah disetujui Jokohok.

e.Izin bangun kondomunium/super blok/apartemen diperketat, mulai hari ini izin tidak diberi untuk wilayah Jakarta dan pinggiran kota.

Bukan mempolitisir banjir, tapi fakta politik bahwa kalau tidak berani menghentikan reklamasi apa bedanya Jokowi-Ahok dengan Foke.

Ahok layak menunjukkan keberanian seperti berani menggusur di Tanah Abang, waduk Pluit dan Rio-rio, birokrasi Pemda DKI, jalur Transjakarta, memarahi SKPD, lelang Lurah dan Camat, melarang orang pasa-pasan hidup di Jakarta dll.

Boro-boro mau jadi presiden kalau Jokohok gagal menghentikan reklamasi, peristiwa banjir 2014 ini memastikan Jokowi-Ahok tidak layak sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI dan sebaiknya mengundurkan diri menyerahkan kepemimpinan gub dan wagub pada yang lain.

Memastikan keharusan stop reklamasi, kajian dan info lawas (dari Kompas dan Tempo) yang representatif mengingatkan kita bagaimana menggunakan akal sehat memahami problem banjir Jakarta dengan menghindarkan cara-cara arogansi, subjektif dalam memperoleh solusi yang tepat, inilah pelajaran sesungguhnya (terima kasih sebelumnya pada rekan-rekan yang tulisannya saya kutip disini),

Otto Soemarwoto, Pakar lingkungan dari Universitas Padjadjaran

Sumber: Tempo, Arsip Edisi 50/XXX 11 Februari 2002, cukup mewakili pakar dibidangnya :

Jakarta dilanda banjir besar lagi. Orang langsung bilang ini karena hujan luar biasa. Faktanya tidak demikian. Hujan yang jatuh di bumi sebagian menguap lagi, yang lain meresap ke dalam tanah, sebagian lagi mengalir di atas permukaan tanah (air larian). Jika pembuangan air larian tidak memadai, barulah terjadi banjir. Makin besar koefisien air larian (C), yaitu persentase air hujan yang menjadi air larian, makin besar risiko banjir.

Sumber air banjir di Jakarta ada dua. Pertama lokal. Nilai C di Jakarta terus meningkat karena makin banyak permukaan tanah yang tertutup bangunan dan beton, di samping makin menyusutnya luas taman. Jumlah air larian ini bisa diancer-ancer. Misalkan dari tahun 1970 sampai sekarang terjadi rata-rata kenaikan C sebesar 35 persen. Dengan curah hujan di Jakarta yang rata-rata 2.100 milimeter per tahun dan 120 hari hujan (HH = hari yang ada turun hujannya), dalam kurun waktu 30 tahun angka-angka itu tinggal dikalikan saja. Untuk tiap hektarenya dikalikan lagi dengan 10.000 meter kubik, didapat angka 61,25 meter kubik/HH/hektare, yang sama dengan 12 truk tangki berkapasitas 5.000 liter. Kalikan ini dengan luas Jakarta dan Anda mendapat gambaran berapa besarnya tambahan air larian.

Ada masalah tambahan. Sungai banyak yang berkelok-kelok, mendangkal karena erosi dan sampah, menyempit serta penuh sampah, sehingga pembuangan air terhambat. Banyak pula selokan yang kapasitasnya tidak lagi memadai untuk menyalurkan air larian, dan tersumbat sampah. Di pantai, air dihadang oleh pasang laut, dan permukaan laut mungkin telah mengalami kenaikan karena pemanasan global. Permukaan tanah pun telah amblas karena pengisian kembali (recharge) akifer (air tanah) berkurang oleh menurunnya laju resapan air hujan ke dalam tanah dan penyedotan air tanah yang berlebihan. Tempat parkir (retensi) air di situ-situ dan di rawa, misalnya Pantai Indah Kapuk, sangat berkurang karena dibangun menjadi permukiman dan daerah perdagangan.

Sumber banjir kedua adalah air kiriman dari Puncak, Bogor, dan daerah hulu lainnya. Karena pembangunan yang menggebu-gebu di kawasan ini, nilai C-nya telah meningkat sehingga air larian meningkat dan dikirim ke Jakarta sebagai banjir kiriman.

Banjir bersifat periodik berkaitan dengan La Nina, yang membawa curah hujan luar biasa, dengan daur sekitar lima tahun sekali. Banjir 5 tahun lebih kecil daripada banjir 10 tahun, sementara banjir 10 tahun ini lebih kecil daripada banjir 25 tahun, dan seterusnya. Sebab, pemanasan global, frekuensi, dan intensitas La Nina menunjukkan gejala makin naik. Sementara itu, air larian makin besar. Maka, banjir bersifat progresif. Banjir 5 tahun telah menjadi banjir 10 tahun, banjir 10 tahun menjadi banjir 25 tahun, dan seterusnya. Mungkin ini sebabnya banjir 1996 lebih kecil daripada banjir sekarang.

Tampaklah bahwa banjir sebagian besar terjadi karena ulah manusia, bukan bencana alam. Hujan memang faktor penting, tapi jangan salahkan hujan. Jangan salahkan Tuhan. Hujan adalah karunia Tuhan. Namun hujan telah berubah menjadi kutukan karena kita terdorong melakukan pembangunan dengan visi mendapatkan keuntungan besar dalam waktu sependek-pendeknya dengan pembangunan tak ramah lingkungan.

Apa yang harus kita lakukan? Jangan saling menyalahkan. Misalnya, yang memberi IMB di kawasan konservasi ialah Jawa Barat. Yang membangun orang Jakarta. Keduanya bersalah. Kita telah terjebak dalam pembangunan tak ramah lingkungan. Jangan pula membuat Panitia Nasional Penanggulangan Banjir. Nanti uangnya habis untuk rapat, perjalanan dinas, dan honor panitia. Kita semua sudah tahu apa yang harus kita kerjakan. Tinggal mau bekerja benar atau tidak.

Kutipan di bawah ini juga dapat mengingatkan kita bahwa penyesalan datang terlambat, tapi kalau masih tidak dilakukan maka kitalah yang menuai badai..

“Belajar dari Sejarah: Tentang Pantai Indah Kapuk”

by Elisa Sutanudjaja, 20.01.2013

Dari Timur ke Barat: Waduk Pluit, Pantai Mutiara, Pluit, Muara Karang & Pantai Indah Kapuk di tahun 2013

Tulisan dibawah adalah rangkuman dari buku Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa oleh Restu Gunawan dan 2 artikel Kompas oleh Agus Hermawan di harian Kompas pada tanggal 16 September 1992 dan 17 September 1992.

Melanjutkan tulisan tentang Pluit, kini bergeser ke Pantai Indah Kapuk. Tentang Pantai Indah Kapuk, berarti kita harus kembali ke tahun 1977.

10 Juni 1977, Hutan Tegal Alur Angke Kapuk ditetapkan oleh Menteri Pertanian sebagai hutan lindung dan sisanya untuk Hutan Wisata dan Pembibitan. Kawasan tersebut juga ditetapkan sebagai Lapangan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI). Penyelesaian lebih lanjut tentang LDTI itu harus dilaksanakan oleh Dirjen Kehutanan. Namun ternyata penerjemahan LDTI oleh Dirjen Kehutanan sepertinya melenceng dari amanat Menteri Pertanian.

Tanggal 5 Januari 1982, Dirjen Kehutanan mengirimkan surat kepada PT Metropolitan Kencana (MK) milik kelompok Ciputra

tentang upaya pengembangan kawasan Hutan Angke Kapuk. Tanggal 31 Juli 1982, PT MK membalas surat Dirjen Kehutanan yang menunjuk PT Mandala Permai (MP) yang akan intensif melakukan pembangunan. Persis pada tanggal 31 Juli 1982 itu, Dirjen Kehutanan mengeluarkan SK kepada PT MP yang  memutuskan perubahan fungsi tempat pemukiman, kondominium, pusat bisnis, rekreasi dan lapangan golf.

Tanggal 19 Juni 1982, Gubernur DKI Jakarta telah mengirim surat kepada presiden direktur PT MP tentang persetujuan prinsip kerjasama hal yang sama. Selanjutnya Dirjen Kehutanan juga mengirimkan surat 23 Desember 1982 kepada Gubernur DKI Jakarta tentang pengembangan kawasan Hutan Angke Kapuk.

Proyek pembangunan di Hutan Angke Kapuk tersebut diperkuat dengan Surat Menteri Kehutanan tanggal 7 Maret 1984 tentang penyelesaian dan pengeluaran bekas penggarap Hutan Angke Kapuk. Surat tersebut ditanggapi dengan Instruksi Gubernur DKI Jakarta tanggal 11 Juni 1984 tentang penyelesaian pengosongan Hutan Angke Kapuk dari para penggarap.

Tanggal 14 Juni 1984, Menteri Kehutanan Soedjarwo menandatangani perjanjian tukar menukar sebagian tanah kawasan Hutan Angke Kapuk di wilayah DKI Jakarta dengan PT MP: H. Subagdja Prawata dan Sudwikatmono. Dalam perjanjian antara Menhut dan PT MP menyebutkan pemanfaatan dan pengembangan kawasan Hutan Angke Kapuk, termasuk pembangunan hutan wisatanya seperti SK Menteri Pertanian (tahun 1977) maka pengembangannya “perlu sesuai dengan Rencana Induk Djakarta 1965-1985″.

Sebanyak 831,63 ha dari 1.162,48 ha kawasan hutan Angke Kapuk yang diserahkan kepada PT MP itu disebutkan akan dibangun untuk permukiman (487,89 hektar), bangunan umum mulai dari hotel, cottage, dan bangunan komersial lainnya (93,35 hektar), rekreasi dan olah raga (169,13 hektar) dan rekreasi air buatan (81,26 hektar). Disyaratkan, tanah penggantinya jika berada di kawasan DKI maka perbandingan tukar menukar adalah 1:1 (hutan:tanah pengganti) atau jika berlokasi di Bogor, Tangerang dan Bekasi atau wilayah lain maka perbandingan tukar menukarnya 1:2.

Walaupun Menhut Soedjarwo memerintahkan untuk penggunaan Hutan Angke Kapuk harus sesuai dengan Rencana Induk Djakarta 1965-1985, mendadak terjadi perubahan pada perjanjian kerja sama antara Pemda DKI dan PT MP tertanggal 27 Agustus 1987 menyatakan, pelaksanaan pembangunan dan pegembangan seluruh area “harus memperhatikan rencana unum tata ruang (RUTR) 1985-2005″. Kerja sama tersebut berlangsung selama 25 tahun. Mohon bantuan teman-teman selepas tahun 2012, bagaimana perjanjian antara Pemda DKI dan PT MP?

Menurut perjanjian tersebut, PT MP wajib melakukan Analisa Dampak Lingkungan dan harus disetujui oleh Pemprov DKI sebelum memulai pembangunan. Gubernur DKI Jakarta juga menunjuk 16 instansi terkait di bawahnya untuk menjadi Badan Pembina Pembangunan dan Pengembangan Areal Bekas (sudah menjadi “bekas”, red) Hutan Angke Kapuk DKI (BP3ABHAK).

29 Februari 1988, serah terima/tukar menukar sebagian kawasan Hutan Angke Kapuk dilakukan. Tanah penggantinya adalah dua bidang di Pulau Penjaliran Barat dan Timur Kepulauan Seribu Jakarta Utara (39 ha), tiga bidang di Desa Rumpin, Desa Kampung Sawah dan Cipinang Kecamatan Rumpin Bogor (75 hektar), Kecamatan Nagrak Sukabumi (350 ha) dan 10 bidang di Kecamatan Sukanagara dan Campaka Cianjur (1.190 ha).

13 Februari 1991, segala hak dan kepentingan kawasan Hutan Angke Kapuk itu itu selanjutnya diserahkan pengelolaannya oleh Menhut Hasjrul Harahap kepada Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto.

24 Februari 1991 Komisi Amdal DKI menyetujui Rencana Pengelolaan Lingkungan, Rencana Pemantauan Lingkungan dan Analisa Dampak Lingkungan oleh PT MP.

Hingga 4 Juli 1991 (menurut surat Ketua BP3BHAK kepada Gubernur DKI), pengganti Hutan Angke Kapuk belum terselesaikan dan masih dalam proses.

14 September 1991, Pihak Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan mereka belum menerima AMDAL.

Konon nilai proyek Pantai Indah Kapuk di tahun 1991 ditaksir sebesar Rp 6 Triliun (Kompas, 17 September 1991).

Akhirnya Pantai Indah Kapuk tetap dibangun dan sekarang malah telah berkembang. Bandingkan image google diatas dengan tahun 2004 ini. Bahkan dalam iklan komersial di TV-TV nasional, developer barunya Agung Sedayu mengklaim bebas banjir 1000 tahun.

Tentu saja pengurugan kawasan eks hutan bakau memperhitungkan peil banjir. Jika ketinggian banjir tertinggi yang pernah tercatat didaerah tersebut misalnya 3 meter diatas tanah, maka mereka harus mengurug lebih dari 3 meter, supaya tentu saja proyeknya tidak kebanjiran. Sampai saat ini, Rujak belum mengetahui berapa peil banjir acuan yang dipakai untuk merencanakan Pantai Indah Kapuk milik PT MP dan pengembangan Pantai Indah Kapuk oleh Agung Sedayu.

Kompas, 16 September 1991 menuliskan:

Meskipun keputusan ini tidak sesuai dengan RUTR, Gubernur DKI setuju saja. Maklum, peningkatan nilai ekonomi kawasan itu lebih menggiurkan. Bayangkan saja, kalau masih dalam bentuk rawarawa dan tambak nelayan, Ipeda (Iuran Pembangunan Daerah) yang bisa ditarik pemda hanyalah Rp 2.000/ha/tahun. Begitu menjadi perumahan, DKI bisa mendapat Rp 2.000.000/ha/tahun. Kalau kawasan yang berubah fungsi itu 831,63 ha, maka dana yang tersedia sudah mendekati Rp 2 milyar setiap tahun.

Pantaskah jika kita menilai suatu alam dengan harga per hektar atau per meter persegi. Mari tilik fungsi hutan bakau.

Hutan Bakau tidak bisa dinilai secara ekonomi saja, karena jika demikian nilainya tak terhingga, karena manfaat turunannya demikian besar, terutama bagi lingkungan hidup. Dulunya Hutan Angke Kapuk ada 60 spesies tanaman, 2000 spesies binatang air dan darat, dari ikan belanak sampai buaya. Fungsi Hutan Angke Kapuk yg terpenting adalah untuk mencegah abrasi: menjaga agar daratan yang dipijak manusia tidak habis digerus gelombang. Hutan Angke Kapuk (dan semua Hutan bakau lainnya) juga berfungsi menangkap partikel garam sehingga mencegah intrusi air laut ke daratan. Akar dari hutan bakau pun menyaring kotoran dr darat, sehingga perairan lepas pantai bebas pencemaran. Bakau bahkan bisa ambil unsur-unsur pencemar berat seperti air raksa.

Seberapa tinggi peil banjir yang diambil oleh Pantai Indah Kapuk saat melakukan perencanaan, tetap saja tidak mampu melawan alam, dalam hal ini penurunan tanah.

Dan ini info yang menjadi penutup kita bersama, agar Jokohok berani menghentikan reklamasi :

Penulis : Hilda B Alexander | Senin, 29 Juli 2013 | 12:42 WIB

KOMPAS.com - Jauh sebelum Pemprov DKI Jakarta merilis kembali MEGA PROYEK tanggul raksasa "Giant Sea Wall" di pantai utara Jakarta, beberapa pengembang sudah lebih dulu membangun properti di atas lahan reklamasi. Sebut saja PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, dan PT Intiland Development Tbk.

Menyusul keduanya adalah PT Muara Wisesa Samudera, anak usaha PT Agung Podomoro Land Tbk yang akan menggarap proyek skala kota seluas 160 hektar. Lokasi yang akan digunakan sebagai kawasan reklamasi berada 300 meter dari garis pantai, dengan tingkat ketinggian 5,5 hingga 7,5 meter di atas permukaan laut.
Baik proyek Giant Sea Wall, maupun properti yang dikembangkan dengan konsep reklamasi ini menimbulkan sejumlah dampak buruk. Reklamasi berpotensi merusak ekosistem dan hidrologi di pantai utara karena dari total 32 kilometer panjang pantai utara hanya tersisa 3 kilometer  kawasan mangrove.

Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Ubaidillah mengatakan, mangrove justru berguna untuk mengatasi abrasi atau bahkan rob. Kalau menguruk laut itu otomatis bakal hancur. Terlebih tanpa ada upaya penghutanan atau penanaman mangrove di sepanjang pantai utara.

"Seharusnya pesisir pantai utara sama sekali tidak boleh dikonversi demi alasan apa pun. Reklamasi hanya akan menimbulkan bencana ekologis, termasukmempercepat intrusi air laut ke daratan," ujar Ubaidillah kepada Kompas.com, di Jakarta, Senin (29/7/2013).

Selain itu, lanjut Ubaidillah, reklamasi juga akan mengubah pola sedimentasi sungai akibat perubahan garis pantai dan hidrologi serta potensi intensitas kegiatan di lokasi reklamasi, kecepatan arus meningkatkan tekanan terhadap ekosistem di sekitarnya.

"Namun, tak kalah penting dari semua hal itu adalah tergerusnya mata pencaharian dan kultur melaut nelayan yang telah turun temurun menyandarkan hidupnya pada aktifitas melaut," imbuh Ubaidillah.

Data Walhi menyebutkan pantai utara Jakarta sepanjang 32 km telah dikavling-kavling oleh sedikitnya 10 perusahaan.

PT Kapuk Naga Indah menguasai lahan seluas 674 hektar, PT Taman Harapan Indah (anak usaha PT Intiland Development Tbk) telah membangun Pantai Mutiara dengan penguasaan lahan 100 hektar, Bangun Bakti Esa Mulia menguasai lahan seluas 88 hektar, PT Muara Wisesa Samudra dengan 160 hektar, PT Pembangunan Jaya Ancol dan BPL Pluit menguasai 290 hektar.

Sementara itu PT Jaladri Kartika Ekapaksi 200 hektar, PT Manggala Krida Yudha 375 hektar, dan PT Dwi Marunda Makmur 220 hektar serta Berikat Nusantara menguasai 189 hektar.

Terimakasih.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun