Transformasi digital yang masif telah merevolusi berbagai aspek dalam sistem pelaporan keuangan perusahaan. Transformasi digital tidak hanya membawa efisiensi, tetapi juga kerentanan. Dalam praktik akuntansi modern, perusahaan semakin banyak mengandalkan sistem berbasis cloud dan ERP (Enterprise Resource Planning) seperti SAP atau Oracle. Ketergantungan ini menyebabkan data keuangan menjadi sangat terpusat dan berpotensi menjadi target empuk bagi kejahatan siber. Perubahan ini juga meningkatkan ketergantungan perusahaan terhadap sistem informasi berbasis teknologi.
Di balik efisiensi yang ditawarkan, digitalisasi juga membawa ancaman baru, khususnya dalam bentuk celah keamanan siber yang berpotensi dimanfaatkan untuk melakukan kecurangan atau manipulasi data dalam laporan laba rugi komprehensif. Selain itu, kecepatan pelaporan sering kali mengalahkan aspek keamanan sistem. Maka, tanpa pengendalian yang kuat, sistem digital bisa menjadi celah terbuka bagi pelaku manipulasi. Di sinilah pentingnya pembahasan mengenai pelaporan laba rugi komprehensif dalam lanskap digital—yang tidak lagi hanya soal angka, melainkan juga soal integritas data dan sistem. Keadaan ini memunculkan kekhawatiran terkait transparansi dan akuntabilitas pelaporan keuangan. Oleh karena itu, penting untuk menganalisis keterkaitan antara kemajuan teknologi dengan potensi fraud, serta mencari solusi pengendalian yang tepat guna menjamin integritas laporan keuangan perusahaan.
Sejumlah kasus di Indonesia mencerminkan nyata bagaimana sistem pelaporan keuangan bisa disalahgunakan melalui manipulasi data. Kasus PT Asabri menjadi contoh bagaimana pelaporan keuangan bisa dijadikan alat kecurangan yang berujung pada kerugian besar negara. Selain itu, kasus PT Envy Technologies Indonesia Tbk (ENVY) juga menyoroti betapa lemahnya pengawasan internal terhadap laporan keuangan, hingga memunculkan dugaan manipulasi laporan kinerja tahunan (LKT) pada tahun 2019. Sementara itu, kasus PT Kereta Api Indonesia (KAI) pada tahun 2006 menunjukkan adanya rekayasa data laba sebesar Rp6,9 miliar, padahal secara riil perusahaan mengalami kerugian sebesar Rp63 miliar.
Kasus lain yang sangat menonjol adalah manipulasi laporan keuangan oleh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk pada tahun 2018. Dalam laporan keuangannya, Garuda mencatatkan laba bersih sebesar USD 809 ribu. Namun, setelah dilakukan investigasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI), ditemukan bahwa laba tersebut diperoleh dari pengakuan pendapatan yang belum seharusnya diakui, yakni hasil kerjasama dengan Mahata Aero Teknologi. Pengakuan pendapatan sebesar USD 239 juta dilakukan sebelum uang benar-benar diterima, bertentangan dengan prinsip akuntansi berbasis akrual. Dua komisaris Garuda bahkan menolak menandatangani laporan tersebut karena dinilai tidak mencerminkan kondisi keuangan yang sebenarnya. Kasus ini memperlihatkan bagaimana tekanan dari manajemen untuk menunjukkan performa positif dapat mendorong terjadinya penyimpangan prinsip pelaporan.
Keempat kasus ini mencerminkan perlunya pengawasan dan sistem kontrol yang kuat untuk mendeteksi dan mencegah manipulasi. Studi-studi ini juga menggambarkan bagaimana celah dalam sistem pengendalian internal, baik karena kelalaian maupun kurangnya kompetensi sumber daya manusia, dapat menjadi pintu masuk utama bagi kejahatan finansial. Kurangnya sistem whistleblowing yang efektif, rendahnya budaya etis dalam perusahaan, serta keterbatasan dalam penggunaan forensic accounting menjadi hambatan utama dalam deteksi dini manipulasi. Kasus-kasus ini juga menjadi pengingat bahwa sistem akuntansi digital yang canggih sekalipun tidak akan efektif tanpa integritas personal dan struktur pengawasan yang dapat dipercaya.
Era digital menghadirkan tantangan baru bagi pelaporan keuangan. Ancaman serangan siber seperti hacking dan phishing semakin meningkat, yang dapat membuka jalan bagi pelaku fraud untuk melakukan manipulasi data. Jika tidak diantisipasi, manipulasi tersebut dapat merusak elemen-elemen penting dalam laporan laba rugi komprehensif, menyebabkan informasi keuangan menjadi tidak jelas dan menyesatkan investor serta pemangku kepentingan lainnya. Manipulasi laporan tidak lagi dilakukan secara manual, tetapi bisa melalui modifikasi script database, akses backend ERP, atau penggunaan AI untuk membuat data palsu yang terlihat realistis.
Contohnya, manipulasi elemen seperti Other Comprehensive Income (OCI) bisa dibuat dengan mengubah data derivatif, nilai tukar, atau penilaian aset tanpa diketahui pemangku kepentingan. Ini menunjukkan bahwa fraud kini lebih canggih dan tersamar. Lebih lanjut, kondisi ini dapat berimplikasi pada kerusakan sistem manajemen secara keseluruhan, memicu ketidakstabilan internal perusahaan dan berpotensi membawa dampak sistemik bagi sektor industri terkait.
Selain itu, risiko eksternal dari pihak ketiga juga meningkat. Banyak perusahaan yang mengalihdayakan fungsi akuntansi atau sistem ERP kepada penyedia layanan eksternal. Ketika kontrol atas data tidak lagi sepenuhnya berada di tangan perusahaan, maka risiko kompromi atas informasi sensitif juga meningkat secara eksponensial. Hal ini menuntut perusahaan tidak hanya membangun sistem internal yang kuat, tetapi juga memastikan mitra eksternal tunduk pada standar keamanan dan audit yang sama ketatnya.
Untuk menanggulangi risiko manipulasi berbasis siber, dibutuhkan pendekatan multidisipliner yang menyatukan kekuatan teknologi dan tata kelola perusahaan. Pertama, penguatan keamanan siber harus menjadi prioritas, mencakup pengendalian akses, enkripsi data, dan audit teknologi informasi secara berkala. Kedua, deteksi manipulasi dapat dilakukan melalui analisis jejak digital (digital footprint) yang mencatat setiap perubahan atau aktivitas dalam sistem pelaporan keuangan.
Ketiga, penting adanya sistem kontrol berlapis yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan internal seperti dewan komisaris, komite audit, direksi atau CFO, auditor eksternal, serta tim IT dan akuntansi. Kolaborasi lintas fungsi ini diperlukan untuk memastikan setiap lapisan pertahanan berjalan optimal. Pelatihan berkelanjutan terkait etika pelaporan, serta penggunaan teknologi seperti AI-based anomaly detection system, dapat meningkatkan deteksi dini terhadap anomali dalam laporan keuangan.