Mohon tunggu...
Lilik YuliRiyanto
Lilik YuliRiyanto Mohon Tunggu... Relawan - Kita ini sama

Indahnya berbagi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru, Cita-Cita Ibuku: Refleksi Hari Guru

26 November 2021   09:45 Diperbarui: 26 November 2021   10:19 1102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Dok Pibadi Dr. Sholehuddin

Oleh : Sholehuddin*

Setiap tanggal 25 Nopember diperingati Hari Guru Nasional. Bersamaan dengan itu, hari ini genap 40 hari wafatnya ibu yang orang kampung menyebut Bu Guru. Menjadi guru bukan cita-cita saya. Ketika masih Sekolah Menengah Pertama (SMP), almarhumah ibu saya yang seorang guru agama di Sekolah Dasar Negeri mengarahkan agar saya masuk sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA). Saat itu saya enggan, tetapi tidak ingin menyinggung perasaan ibu, hanya belum menemukan cara bagaimana nenolak secara halus.

Jelang lulus SMP, ada kebijakan PGA tidak beroperasi lagi. Saya bersyukur karena ada alasan tidak masuk PGA. Masuklah saya ke SMA Wachid Hasyim 2 Taman sesuai keinginan saya sejak lama sambil mondok di Pondok pesantren (Ponpes.) An Nidhomiyah Ngelom Taman.

Kehidupan di pondok  secara bertahap mengubah mindset saya. Ada beberapa ustadz yang menjadi inspirasi, betapa hebatnya ustadz-ustadz pondok yang mempunyai kelebihan nengajar. Saya pun ingin menjadi guru dan masuklah ke IAIN Sunan Ampel Surabaya. Uniknya, jurusan yang saya ambil Pendidikan Bahasa Arab (PBA). Alasannya sederhana, ingin beda. Jika Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) sudah banyak yang ambil, PBA masih sedikit dan kesannya mentereng.

Mengawali karir Guru Qiraah dan Ngaji


Sejak Sekolah Menengah Atas (SMA) saya sudah menjadi guru qiraah di masjid Al Musawwa Mangunan Sepanjang. Dijemput teman SMA saya yang guru TPQ masjid setempat dan sekaligus mempromosikan saya dengan naik sepeda ontel. Dapat bisyaroh 10.000 rupiah, syukurnya luar biasa. Lumayan bisa untuk tambahan uang saku mondok dan bisa makan  di atas 'standar' pondok. Rupanya inilah awal  saya jadi guru (terbang), saya sangat menikmatinya.

Ketika memasuki kuliah, di pondok (saya 'nuruti' bapak agar tetap di pondok), dikader oleh guru saya KH. Badrus Sholeh jadi guru Quran untuk adik-adik yunior, sambil balah kitab-kitab ringan seperti "Alala", "Mahfudzat", "Taysirul Khallaq", dan lain-lain. Saat itu beliau berpesan, "Apapun profesimu jangan tinggalkan jadi guru ngaji yang tidak mengharapkan bayaran (gaji),". Dari situlah saya tertantang untuk menjadi guru, walaupun guru ngaji.

Bermula dari saya diminta menjadi guru madrasah diniyah di sebuah kampung perbatasan Surabaya yang kala itu masuk kategori daerah tertinggal. Di sinilah saya mulai terjun di masyarakat sekaligus praktik khutbah dan dakwah.

Sampailah lulus IAIN tahun 2017. Lulus IAIN saya masih belum mengajar di sekolah formal. Maka, beruntunglah adik-adik mahasiswa yang belum lulus tapi sudah mengajar. Saya tidak terlalu ambil pusing ngajar di sekolah formal, mindset saya saat itu mengajar tidak harus di formal dan saya sudah merasa puas dengan ngajar di madrasah diniyah.

Rupanya ibu saya yang galau, saya disuruh melamar di sekolah-sekolah. Padahal, saya bukan tipe pelamar pekerjaan. Karena nuruti ibu, saya coba mengadu nasib, mengajukan lamaran di salah satu sekolah almater saya. Saya juga kenal dekat dengan pengurus yayasan tersebut. Apakah saya langsung diterima? Tidak. Dengan halus pengurus yayasan tersebut mengatakan, "Sayang Din, baru saja terima guru agama,". Padahal, di sekolah tersebut saya pernah juara Tartil se-Kota Surabaya dan aktif di organisasi.

Saat itu saya trauma tidak mau melamar jadi guru. Tapi saya pun memikirkan ibu karena belum memenuhi harapan ibu. Akhirnya saya dihubungkan kepala sekolah lain teman ibu saya. Akhirnya saya diminta datang ke sekolah almamater saya yang lain di Gresik. Tidak terlalu ribet, saya pun akhirnya diterima menjadi guru PAI sekolah.

Honor JP Seminggu Dikira Pertatap Muka

Setelah mengajar di sekolah tersebut, saya ditanya Pak Lik saya. "Dapat berapa Jam Pelajaran (JP) di sekolah seminggu?," tanya Paklik saya. "12 Paklik", jawab saya. Dia jelaskan, jika itu itungannya ya per minggu, bukan sebulan (bukan kali empat minggu). Saya baru tahu model itungannya seperti itu.   Saya waktu itu menghitungnya perminggu dikalikan empat, betapa banyaknya. Itulah pengalaman  pertama menjadi guru sekolah.

Mengajar di Lima Lembaga Almamater

Di yayasan tersebut, tahun pertama 1998 saya mengajar di SMP dan tahun kedua diminta mengajar di SMA. Saya jalani keduanya, saat bersamaan saya diminta menggantikan seseoramg di sebuah madrasah aliyah di Sepanjang. Waktu itu ngajar Aswaja dan Sejarah Kebudayaan Islam. Alhamdulillah, honor me ngajar di ketiga sekolah dan kegiatan non formal lainnya masih bisa digunakan untuk melanjutkan kuliah S2.

Tahun ketiga (tahun 2000) saya diberitahu teman ada lowongan dosen luar biasa Program Intensif Bahasa Arab di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Saya iseng mendaftar, ternyata saya diterima dan teman saya malah tidak lolos. Karena program intensif pagi jam nol (0), saya masih bisa bagi waktu.  Pukul 06.30 sampai 08.30 di IAIN, lanjut pukul 09.30 di SMP dan SMA Sunan Giri Menganti. Kemudian jam 13.00 saya meluncur ke Bahauddin Ngelom, sore mengajar di pondok.

Suatu hari saya bertemu guru matematika saya yang juga kepala SMA. Saya ditanya "Kamu ngajar di mana?", tanya beliau. "Saya ngajar di Sunan Giri Menganti Pak". Kok tidak di YPM ? saya bilang mungkin YPM terlalu tinggi bagi saya jadi YPM tidak mau menerima saya jadi guru. Beliau bilang, "Sudah, besok kamu ke sekolah, temui saya,". Akhirnya saat itu saya mengajar di program khusus (Aliyah) Keagamaan. Di SMA Wachid Hasyim -2 dan saya banyak mendapat kepercayaan ngajar, termasuk di program intensif.

Meskipun saat itu belum ada sertifikasi dan tunjangan profesi, saya merasa nyaman dan lebih dari cukup, benar-benar berkah. Uang sejumlah Rp. 900 ribuan jika dikumpulkan sudah bisa mencukupi keluarga. Penghasilan tambahan saat itu paling-paling koreksi dan ngawasi. Ada sedikit insentif per tiga bulanan dan itupun kadang terlambat.

Merintis Ngaji Rumahan di Rumah Kontrakan

Tahun 2021, saya bersama istri memutuskan untuk kontrak di rumah Sepanjang, dan dapat titipan ngajar ngaji lima anak tetangga. Ini kesempatan bagi saya untuk melaksanakan wasiat guru saya, ngajar ngaji yang tidak harapkan imbalan. Cita-cita sudah lama, karena dipakai ngaji, si empunya rumah tidak pernah menaikkan harga sewa kobtrak, dari tahun 2001-2007 dengan harga sewa sebesar Rp. 800 ribu/tahun.

Ada pengalaman menarik, teman S2 saya yang sudah diterima PNS duluan mengatakan kepada saya, "Sampean tidak lama InsyaAllah diangkat jadi PNS,". "Kok bisa?," tanya saya. Dia bilang diangkat jadi PNS setelah dia buka ngaji di rumah dan saya pun mengamini saja. Sebab, setidaknya tiga kali daftar PNS, selalu gagal. Mulai daftar pembibitan dosen, staf IAIN, sampai guru Bahasa Arab Aliyah, jadi akhirnya saya pasrah saja.

Diangkat PNS dan Berpikir Tinggalkan Formal

Ternyata takdir mengarahkan PNS di Balai Diklat Keagamaan Surabaya. Saat itu dibutuhkan widyaiswara Bahasa Arab. Pas, ijazah saya S1 Bahasa Arab. Meskipun sudah punya ijazah S2 lulus tahun 2002, saya tidak menggunakan ijazah S2. Alhamdulillah, saya diterima sebagai calon widyaiswara (trainer) di balai pelatihannya pegawai Kemenag Jawa Timur itu. Hingga kini saya bertugas melatih para guru dan ASN Kemenag.

Semenjak diangkat PNS di BDK Surabaya, semua kegiatan mengajar di formal saya tinggalkan. Saya berpikir, mending jadi guru ngaji di rumah. Setelah pulang dari kantor, masih ada waktu bisa ngajar "Alif Ba Ta'. Makanya, kalau perkenalan di depan peserta  pengalaman guru di formal ada masa tahunnya. Tapi Guru ngaji saya tulis sejak 1995 sampai sekarang. Paling tidak itu sebagai pengingat, bahwa saya berangkat dari guru ngaji, dan tidak akan meninggalkan jati diri sebagai guru ngaji. Saat ini saya bersama istri masih mengelola ngaji Quran anak-anak di kampong, tidak kurang ada sekitar 50 santri yang saya bina.

Back to Campus

Rupanya takdir tidak bisa ditolak, saya kembali mengajar di formal (kampus), karena guru saya yang minta. Beliau sampai datang ke rumah, hanya untuk meminta saya mengajar di kampus pondoknya di kawasan Driyorejo Gresik. Saya pun mengiyakan meski bagi saya terlalu berat, tapi karena terbiasa, saya jalani selama tujuh tahun. Ketika ada kebijakan tidak ada kelas jauh saya baru mulai off.

Tahun 2013 saya masuk kuliah S3, dengan alasan tugas belajar waktu agak longgar,  teman saya minta ngajar di kampus, IAI Al Khoziny sampai sekarang Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK) di kampus ini. Tahun 2017, yang kala itu akan menyelesaikan S3, saya diminta seorang kyai untuk membantu mengajar Aswaja di kampus UNU Sidoarjo. Sejatinya saya merasa kurang mampu dan sempat menolak, rupanya ini bagian strategi beliau dekatkan saya dengan kampus kebanggan warga NU Sidoarjo itu. Sampai akhhirnya, saya dipercaya menjadi wakil dan kemudian sekretaris Badan Pelaksana Penyelenggara (BPP) Unusida hingga saat ini.

Menjadi pengajar rupanya sudah menjadi bagian hidup saya. Setelah 'membantu' proses pendirian pasca sarjana INAIFAS Jember, tahun ini pun saya dipercaya menjadi dosen di kampus yang mulai berkembang secara signifikan itu. Saya pun harus menjalani dan menikmatinya.

Bagi saya guru tidak ada kata pensiun. Jika ada pensiunan yang terdengar 'saru', itulah profesi guru. Mengapa saru, karena guru adalah profesi yang sangat mulia. Jika profesi mulia ini harus berhenti karena SK  pensiun, kesannya sudah tidak mau lagi menjalankan tugas mulia tersebut. Maka, saya pernah berpikir, jika widyaiswara, dosen dan guru  secara profesi ada batasan pensiun, maka guru secara substansi dan informal sejatinya tidak ada batasan pensiun.

Karena itu, masa pengabdian guru sejatinya tidak terbatasi oleh SK, tetapi dibatasi oleh nyawa. Termasuk ibu saya yang berharap besar saya meneruskan kiprahnya, hingga purna tugas dari guru agama di sekolah, hingga akhir hayatnya beliau masih mengajar ngaji dan qira'ah bagi orang-orang di kampung. Tepat 40 hari wafatnya beliau, saya ucapkan "Selamat Hari Guru Nasional 2021". Lahal Fatihah.

*Dr. H. Sholehuddin, S.Ag.M.Pd.I, Guru ngaji, Widyaiswara Bdk Surabaya dan dosen di beberapa kampus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun