Mohon tunggu...
YULIATI S.Pd
YULIATI S.Pd Mohon Tunggu...

SMAN 1 Pakel Tulungagung

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Aku Bukanlah Siapa-siapa, Aku Hanyalah Aku"

26 September 2013   11:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:22 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“AKU BUKANLAH SIAPA-SIAPA, AKU HANYALAH AKU”

Namaku cukup singkat dan pasaran sehingga mudah untuk diingat, namun tujuh huruf “YULIATI” cukup untuk mewakili diriku. Melihat dari namaku biasanya orang langsung menebak bahwa aku terlahir dibulan juli, namun tebakan itu otomatis salah, aku terlahir justru di bulan pebruari, akulah Yuli yang lahir dibulan Pebruari. Ketidaksingkronan namaku ini terjadi karena ketika aku lahir Bapak tidak mau memberiku nama karena Bapak ingin anak sulungnya laki-laki agar kelak bisa memikul tanggung jawab dipundaknya sebagai anak sulung (yakni menjadi tauladan yang baik, motivator adik-adik, sekaligus membantu menopang perekonomian keluarga dalam membesarkan adik-adikku setelah bapak). Dan Emak yang memang tidak punya persiapan nama akhirnya memilih tujuh huruf itu menjadi identitasku. Mengetahui sejarah namaku awalnya membuatku sakit hati, aku merasa sebagai anak yang tidak diinginkan, namun lambat laun rasa itu memudar saat aku menyadari bahwa kendati Bapak pada awalnya kurang menerima aku karena aku seorang perempuan, namun nyatanya beliau tidak pernah mengurangi kasih sayangnya sedikitpun kepadaku, kenyataannya aku justru merasa Bapak sangat menyayangiku. Dan hal ini lah yang memotivasiku bahwa meski aku seorang perempuan, tapi aku tak akan mengecewakan Beliau, Aku harus buktikan bahwa aku bisa dan aku memang bisa menjadi anak sulung sepert harapannya.

Aku terlahir dan besar dikeluarga sederhana bahkan bisa dibilang pas-pas-an. Bapak hanya seorang pekerja bangunan yang tak setiap hari dapat pekerjaan, Beliau bekerja jika ada tetangga yang memintanya membantu membangun rumahnya, bahkan tak jarang Bapak harus pergi ke Surabaya atau daerah-daerah lain untuk mencari proyek bangunan yang mau mengikutsertakan Bapak bekerja. Kalau ditanya Bapak lulusan apa Bapak menjawabnya “ST” tapi kalau itu benar kenapa aku tak pernah tau Bapak punya ijasah. Emak bilang Bapak bukan lulusan “Sekolah Tinggi” tetapi “Sekolah Tukang” artinya Bapak menjadi kuli dari seorang Tukang Batu atau Tukang Kayu dan beliau menimba ilmu dari para Tukang-Tukang itu, hingga Bapak akhirnya juga bisa menjadi Tukang Batu ataupun Tukang kayu. Penjelasan Emak ini cukup masuk akal untuk menjawab kenapa Bapak tidak punya ijasah. Namun Meski Bapak SD saja tidak tamat aku tetap tidak kehilangan kebanggaanku terhadap Bapak, Beliau orang pertama yang membuat aku jatuh cinta pada berhitung “Matematika”. Bapak begitu mahir berhitung tanpa harus mencorat-coret dikertas, cukup didalam hati dan pikira saja. Bapaklah orang pertama yang mengajariku bagaimana menghitung perkalian dengan bilangan sebelas, dan setelah itu Bapak juga yang mengajariku bagaimana menemukan cara berhitung yang ringan, mudah, cepat dan tepat.

Bukan hanya Bapak yang pandai berhitung tanpa menggunakan coretan, Emak juga gemar berhitung, lebih tepatnya karena Emak adalah orang pasar “Pedagang” mau tak mau berhitung adalah kesehariannya, Emak tak pernah menggunakan kalkulator ( tidak punya Kalkulator lebih tepatnya) untuk mengkonversi nilai jual gabah yang beratnya tak selalu bulat dalam satuan Kg dengan harga gabah yang juga tak selalu bulat dalam satuan Ratusan rupiah. Sampai sekarang aku masih belum bisa menirukan cara berhitung si Emak ini. Aku juga belum bisa menyaingi kecepatan berhitungnya. Emak ini hanya pedagang gabah kecil, Emak hanya bisa membeli gabah semampu modalnya dan semampu sepeda bututnya menopang berat gabah (paling banya hanya satu karung kecil). Tiap hari Emak tak bosan mengayuh sepedanya dari pasar desa satu ke desa yang lain hanya untuk mendapatkan untung beberapa ribu rupiah saja, namun tekatnya sangatlah keras. Emak selalu berkata “Cukup Emak yang sengsara, cukup Emak yang tidak sekolah, anak-anak emak harus jadi orang”. Kalimat Emak itu selalu memberiku semangat ketika aku berada pada titik nol.

Awalnya sekolahku berjalan lumayan mulus, meski aku bukan anak yang jenius,setidaknya aku tidak pernah kesulitan masuk ke sekolah negeri terbaik di kota kecilku, dan beruntungnya lagi biaya sekolah kala itu belumlah semahal sekarang, sekolahku sering membebaskan SPP dan mensubsidi buku-buku untuk siswanya yang berprestasi. Dan Aku termasuk salah satu yang diuntungkan oleh kebaikan sekolahku ini.

Dan masalah timbul ketika aku di SMA, Alangkah irinya aku anak-anak lain yang setiap jam istirahat selalu ngobrolin sehabis SMA mau kuliah kedokteran, kuliah hukum, inilah itulah. Salahkah jika aku juga ingin punya cita-cita tinggi seperti mereka? Aku tak berani bermimpi terlalu tinngi, aku bukan mereka, aku tak mungkin bisa kuliah, aku minder, aku merasa salah berada ditengah mereka sehingga aku ingin seperti mereka. Disisi lain aku merasa aku harus membuktikan diri bahwa aku bisa, dengan menabung uang jatah naik bis dan uang jajan aku diam-diam menabung untuk membeli formulir UMPTN.

Dan aku beruntung teman-temanku adalah teman-teman terbaik yang pernah kumiliki, mereka mendukungku, mereka tidak pelit membagi ilmu yang ia dapat dari BIMBELnya diluar sekolah, bahkan sering meminjamkan diktatnya untukku, itu sedikitnya membantuku untuk menambah pengetahuanku.Akhirnya aku ikut UMPTN hanya untuk pembuktian diri. Namun naas menimpaku pada saat ujian aku sakit, jangankan untuk belajar, untuk bangun dari tempat tidur saja aku tak mampu sendiri. namun teman terbaikkulah yang ada untukku, biarpun aku tak mandi aku tetap ikut ujian, dan temanku itulah yang sudi mengantarku naik bemo ke tempat ujian, memapahku sampai keruangan, barulah kemudian ia pergi naik bemo lagi menuju tempat ujiannya.

“Maafkan aku teman, aku telah gagal” itulah kata-kata yang aku siapkan untuk teman-temanku yang sudah mendukungku, aku benar-benar tidak punya harapan bisa lolos UMPTN, Namun ternyata Allah sangat berbaik hati, siang itu teman-temanku datang kerumah mengabarkan aku lolos masuk jurusan “Pendidikan Matematika UNESA” (itu jurusan yang dipilihkan teman-teman untukku). Aku tak tahu pasti perasaanku saat itu, antara tak percaya, senang dan sedih semuanya menyatu, demikian juga orang tuaku yang awalnya tak tahu aku ikut UMPTN, mereka pasti bangga anaknya lolos namu mereka pasti juga sangat sedih “Kuliah?? biaya dari mana??”.

Dari sebelum ikut ujian aku sudah tau meski nantinya aku lolos UMPTN aku tetap tak akan kuliah karena jelas orang tuaku tidak punya untuk membiayaiku Namun.Allah itu maha baik padaku, dengan memberiku orang tua yang sangat bijak, justru Bapak-Emaklah yang mendorongku untuk terus maju, meski aku tahu beban berat menghadang didepan mata, bayangkan saja Bapak hanya bekerja sesekali waktu saja jika ada pekerjaan, dan laba dari dagang gabah emak hanya cukup untuk makan sehari, sementara itu masih ada dua adikku yang butuh juga dibiayai, “berjuanglah dijalanmu, maka kami juga akan berjuang untukmu, insyaAllah ada jalan” kata Bapak kala itu. Hatiku miris mendengarnya, ini cambukan untukku, aku tak boleh mengecawakan Bapak-Emak dan adik-adikku.

Dan jadilah aku kuliah, sesekali kalau aku pulang ke rumah aku sering merasa sedih dan putus asa, aku tak tega melihat kehidupan keluargaku yang lebih parah dari sebelumnya. Tak jarang Bapak-Emak dan adik-adikku harus berpuasa agar bisa memberiku uang saku kembali ke surabaya. Makan nasi sama sambal atau hanya dengan garam juga tak jarang kami alami. Melihat kondisi keluargaku, aku sempat berfikir untuk berhenti saja, namun Emak sangat marah “iya, berhenti saja biar jadi sia-sia pengorbanan kami” ucap Emak kecewa “emang kamu anak perempuan tetaplah jadi anak perempuan ndak bisa diandelin, apa emak salah pernah berharap pada kamu?”Emak mulai menangis “Apa kamu tak percaya kalau Allah itu Maha Kaya hingga kamu takut tak bisa makan?” Sungguh aku sangat terpukul mendengarnya “tak tahukah kamu cibiran tetangga-tetangga, apalah emak ini kok pake acara nguliahin anak segala, mau dibiayain pakek apa? Jual sawah? Sawah siapa…?? Alah paling juga nanti juga putus ditengah jalan trus dikawinin, itu yang mereka katakan pada Emak, dan kalau kamu ingin mewujudkan cibiran mereka ya sudah berhenti saja kuliah….” ini begitu perih menyayat hatiku tapi Emak tentunya lebih perih lagi merasakannya dan memendamnya selama ini, terpecut kembali tekatku untuk bangkit dan meneruskan kuliahku.

Kulakukan apa saja demi kuliahku bisa berjalan, aku rela bekerja di rumah kerabatku di Surabaya demi numpang tidur dan numpang makan untuk menghemat biaya hidup di kota. Bekerja di rumah kerabatku ini tak lebih baik dari seorang pembantu, bahkan jauh lebih buruk, kulakukan pekerjaan pembantu 24 jam bahkan lebih. Dan karena kesibukanku di rumah kerabatku, aku jadi sering bolos kuliah karena kesiangan bangun, tidak bisa konsentrasi kuliah dan sering tidak mengumpulkan tugas-tugas kuliah, alhasil nilaiku pun jeblok. Dan ketika Aku pulang ke rumah, aku tak kuasa menunjukkan nilai kuliahku, apalagi melihat Bapak, Sungguh aku tak termaafkan, apa aku ini buta tak melihat betapa Bapak tak muda lagi, kerut-kerut tua dan lelah jelas tergambar diwajahnya, demi siapa? Demi aku dan aku telah menghianati kepercayaannya, aku tak sanggup menghadapi kenyataan bahwa aku telah gagal.

Aku kembali ke Surabaya, kali ini aku tak mau menerima uang saku dari Emak, kubilang ku masih punya uang padahal uangku saat itu tak lebih dari Rp 20.000,00 . Aku tak kembali kerumah kerabatku, aku numpang di kos-an temanku, dan aku mulai mencari kerja. Akhirnya aku berhasil mendapat pekerjaan sebagai sales keliling dan sesekali aku memberi bimbingan untuk anak tetangga kos-an. Kemudian aku bisa kos sendiri.Ddari menjadi sales lapangan aku bisa mengambil hikmahnya aku bisa berlatih berkomunikasi, dengan pitching istilah mereka aku belajar menghadapi orang dengan berbagai karakter dan berbagai tanggapan, ini ternyata sangat berguna sekarang saat aku menjadi guru.

Ketika aku pulang lagi ke desa ternyata Bapak sudah tau aku tak lagi tinggal dirumah kerabatku, mereka memberi tahu Bapak, tapi kubilang aku lebih nyaman dan bisa konsentrasi kuliah dengan kos saja.Bapak pun menyerah padaku. Dan akupun mulai membangun kembali masa depanku perlahan hingga aku akhirnya bisa lulus juga meski dengan tertatih dan nilaiku setidaknya tak mengecewakan sehingga aku bisa melihat senyum diwajah tua dan lelah Bapak ketika menghadiri Wisudaku.

Lulus dari kuliah tak lantas hidupku berubah menjadi mudah, kami masih serba kekurangan, dan cibiran tetangga tak juga surut “Lihatlah itu si yuli, susah payah orang tuanya menyekolahkannya jadi apa sekarang? Nganggur kan? Mending juga anakku lulus SMA merantau sekarang sudah bisa membelikan aku ini dan itu…”. Panas hati dan telingaku mendengarnya, tapi mereka benar “Apa yang sudah bisa aku berikan pada orang tuaku?? Tak ada sama sekali, bahkan kebutuhan sehari-hariku aku masih minta pada orang tua. Berangkat dari rasa malu dan pengen bisa memberi sesuatu pada Bapak-Emak dan adik-adikku aku pun mulai melamar kesekolah-sekolah, tapi ternyata tak mudah, semua sekolah negeri yang aku datangi jawabannya sama “berdasarkan keputusan Bupati setelah tahun 2005 kami tidak diperkenankan menerima GTT” dan aku lulus 2006 otomatis langkahku awalku gagal, akhirnya akupun beralih kesekolah swasta, Alhamdulillah ada yayasan kecil yang mau menerimaku, hampir genap 4 tahun aku menjadi guru diyayasan itu, aku mengajar di MTs dan SMK diyayasan yang sama.

Tiga bulan pertama bekerja aku tak dapat apa-apa bahkan satu rupiah pun, aku pun putus asa, bagaimana aku akan bisa memberi pada orang tuaku??? Tapi Emak bilang “Sabar…, itu ujian untuk kamu, ikhlas saja..”, Dan Emak benar, di bulan keempat aku mendapatkan itu, total yang ku dapat dari dua sekolah dengan jam kerja jam 07.00 s/d 12.45 dan hanya libur dihari minggu sekitar Rp 280.000,00-an, aku cukup berbangga dengan hasil jerih payahku ini. Ku berikan pada Emak, Emak hanya menangis saat menerimanya.

Selama aku mengajar di Yayasan itu banyak hal menarik, anak didikku yang nilainya mayoritas dibawah rata-rata itu sebenarnya bukan anak-anak bodoh. Aku bersyukur mengenal mereka, mereka mengajariku banyak hal. Muridku SMK semua cowok dan kebanyakan mereka adalah anak bermasalah, namun aku tak ingin ikut menyalahkan mereka, mereka hanyalah jiwa-jiwa labil yang belum menemukan jati diri, mereka perlu dikasihani dan di tolong. Sebenarnya aku cukup nyaman mengajar di sana, namun tak ada jaminan sekolah itu akan terus tetap ada karena persaingan mendapatkan murid juga tidaklah mudah. Karenya aku terus berdoa, dalam doaku “Ya Allah seandainya aku layak aku ingin suatu saat mengabdikan diri untuk negeri ini” dan rupanya Allah mendengar doaku dalam tes CPNS desember 2009 aku lulus sebagai salah satu CPNS Kabupaten Tulungagung,

Sungguh Allah Maha mengatur segalanya, Aku yang bukan siapa-siapa, jangankan untuk bermimpi jadi Guru, bayangan untuk bisa kuliah saja tidak pernah terbersit olehku. Dan kini ternyata aku telah menjadi abdi negara dengan tugas kerjaku sebagai Guru Matematka. Aku sangat bersyukur, karenanya aku tak pernah enggan menempuh 70 Km pulang pergi sekolah-rumah demi melaksanakan kewajibanku. Dan yang lebih membahagiakanku, Aku bisa bilang ke Bapak “Ini lo Pak anakmu meski perempuan tapi bisa menjadi anak sulung yang bisa menjadi contoh, meski perempuan bisa kok berhasil dan meski perempuan bisa diandalkan, bisa membantu meringankan beban di pundak Bapak”

Aku bangga setidaknya aku bisa memotivasi adik-adikku untuk tidak menyerah pada keadaan, teruslah berjuang maka jalan akan dibukakan untukmu karena Allah maha mengatur segalanya.

Dan Allah itu Maha Pemurah, Allah memberiku banyak bonus luar biasa, Aku mendapatkan Suami yang sama-sama orang Pendidikan Matematika yang senantiasa ada dibalik kesuksesanku,Aku diberikan seorang anak yang sehat dan pinter, Aku mendapatkan teman yang seperti saudara bagiku ditempat aku bekerja sekarang. Dan yang terbaru, bersamaan dengan diikutsertakannya aku dalam DIKLAT ON LINE 45 HARI insyaAllah aku ditambahkan lagi satu anugrah terindah anak yang kedua, semoga ia disehatkan dalam kandunganku dan kelak lahir selamat, sehat dan sempurna! Amin!! Trimakasih ya Allah ! Alhamdulillah !

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun