Mohon tunggu...
Yuliani Tiara
Yuliani Tiara Mohon Tunggu... Mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Traveling

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pertarungan Batin dan Harga Diri Seorang Bako

15 Mei 2025   21:18 Diperbarui: 15 Mei 2025   21:30 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bako dan Rumah Gadang, Sumber Dari editan Canva dan Ai

                                                    

                                                                 Yuliani Tiara


(Mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)

Novel Bako yang ditulis oleh Darman Moenir adalah sebuah gambaran kritis mengenai kehidupan masyarakat Minangkabau yang sangat menghargai sistem kekerabatan matrilineal. Dalam tatanan adat ini, perempuan, khususnya yang disebut sebagai "bako" (ibu dari pihak perempuan), memiliki kedudukan penting sebagai pelindung garis keturunan. Namun, karya ini mengungkapkan sisikelam dari kehormatan tersebut ketika adat bertentangan dengan kenyataan sosial yang tidak adil.

Nah di dalam novel ini menceritakan, sebagaimana seorang anak yang diasuh oleh keluarga ayahnya ( disebut sebagai bako ) oleh orang Minang. Di dalam novel ini penulis berusaha agar pembaca memahami apa yang telah dituliskan. Adat istiadat di Minangkabau merupakan tonggak dari segala aturan. Di Minangkabau orang harus menikah dengan orang kampungnya, kalau tidak maka orang itu disebut pemberontak. Zaman dahulu orang orang di Minangkabau selalu dijodohkan agar tidak ada yang menikah dengan satu suku. Di Dalam novel bako ini terjadilah perjodohan dengan janda yang memiliki beberapa anak, tetapi hanya satu anak yang menjadi tokoh utamanya yaitu Man. Man anak yang tidak memiliki tubuh seperti anak umumnya, melainkan ada kekurangan di dalam tubuhnya. Tapi Man tidak sedih, ia berusaha melihatkan kepada orang orang kalau dirinya bahagia dengan ke kurangnya itu. Hidup Man tidaklah mudah, tinggal dirumah Bako, dengan keadaan keluarga ibu dan ayahnya berantakan. Man diasuh oleh Bakonya sampai Dewasa. 

Banyak lika liku yang dihadapi Man mulai dari Ibu yang punya sakit jiwa, Ayah yang berjuang demi mencukupi kebutuhan hidup keluarga, Umi yang sudah dua kali menikah tetapi tidak punya anak, maka umi dengan lapang dada mengurus anak pisangnya. Baktuo yang bekerja sebagai kepala sekolah di sekolah Man waktu Sr atau Sd, candu bermain koa dan berjudi sepanjang hidupnya tanpa memikirkan masa depan anaknya. Man  mendapatkan kasih sayang seorang ibu dari Umi, bukan dari Ibu kandungnya sendiri. Ibu kandungnya Man tidak memperdulikan  Man, mungkin karena ibunya Man mempunyai gangguan kejiwaan, ia lebih senang mengerjakan pekerjaan dapur seperti pagi pagi pergi ke pancuran untuk mengambil air dan mencuci piring, habis itu ia akan jalan jalan ke sawah. Entah mengapa tetapi itulah kegiatan ibu Man. Kalau mau pergi kemana saja ia akan pergi tanpa berpamitan.

 Dengan sikap ibu Man seperti itu, Umi hanya bisa memaklumi dan bersabar saja. Umilah yang menyokong pendidikan Man sampai lulus. Umi rela menggadaikan harta pusakanya untuk anak pisangnya, agar berguna jadi orang. Umi sangat memperdulikan dan menanamkan  keagamaan kepada seluruh anggota keluarganya. Dengan sadar diri Man mencari uang tambahan untuk memenuhi kehidupannya, dengan suka menulis Man menjadi salah satu seorang penulis yang terkenal. Dengan menulis itu ia mendapatkan uang tambahan. 

Melalui karakter-karakter seperti Ayah, Ibu, Kakek, Nenek, Umi, Baktuo, dan saudara-saudara yang lebih muda, Darman Moenir menunjukkan bagaimana sebuah keluarga kecil yang miskin dan tak berdaya harus menghadapi ketidakadilan yang diakui oleh sistem adat. Umi, sebagai tokoh utama, merasakan tekanan dari masyarakat, dilema tentang identitasnya, serta konflik batin akibat posisinya sebagai bako yang tidak mendapat dukungan ekonomi dan sosial dari lingkungan di sekelilingnya.

Pertikaian yang diangkat dalam novel ini tidak hanya bersifat individu, melainkan juga mencerminkan krisis kemanusiaan yang muncul dari kesenjangan sosial dalam kerangka adat. Bako tidak sekadar menyampaikan penderitaan para perempuan, tetapi juga mengecam sistem yang mengekang suara-suara lemah atas nama tradisi. Dengan alur yang menyentuh hati dan penggunaan bahasa yang kuat, Darman Moenir menyajikan sebuah narasi yang tajam mengenai ketegangan antara adat, kemiskinan, dan perjuangan hidup perempuan di tengah masyarakat patriarkis yang berciri matrilineal.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun