Korupsi: Masalah Lama yang Tak Kunjung Usai
Korupsi masih menjadi luka lama yang terus menggerogoti bangsa Indonesia. Meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan berbagai operasi tangkap tangan (OTT), praktik suap, gratifikasi, dan penyalahgunaan wewenang tetap saja muncul dalam berbagai lapisan pemerintahan.
Pertanyaannya, mengapa penegakan hukum terhadap korupsi belum memberikan efek jera yang nyata?
Hukum Sudah Tegas, Tapi Tidak Tegak
Secara normatif, tindak pidana korupsi sudah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sanksinya berat: pidana penjara, denda besar, bahkan perampasan aset hasil korupsi. Namun dalam praktik, hukum sering kali tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Kasus-kasus besar memperlihatkan bahwa koruptor bisa mendapatkan remisi, bahkan menikmati fasilitas mewah di lembaga pemasyarakatan. Fenomena ini bertentangan dengan asas equality before the law (persamaan di hadapan hukum) yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Ketika hukum bisa dinegosiasikan, keadilan menjadi formalitas belaka.
Antara Keadilan dan Kepentingan Politik
Tidak bisa dipungkiri, ada banyak kepentingan politik yang mengiringi proses penegakan hukum korupsi. Intervensi kekuasaan, lemahnya integritas aparat, serta tarik-menarik kepentingan antar lembaga hukum sering membuat proses hukum berjalan setengah hati.
Penegakan hukum seharusnya bebas dari pengaruh politik. Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Karena itu, setiap langkah pemberantasan korupsi harus berorientasi pada keadilan substantif, bukan kepentingan sesaat.
Reformasi Moral dan Institusional