Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita tentang Rindu

21 April 2021   09:23 Diperbarui: 21 April 2021   09:32 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: cloob.com

Mentari bulan Ramadhan bersinar terik.  Sholat duhur baru saja diakhiri.  Sesudah wirid dan doa lelaki tua itu masih berlama-lama duduk terpekur di sajadahnya. Dikirimkannya doa untuk anak-anaknya yang sudah berada di kota lain.  Ah,  ia tak perlu tergesa-gesa bukan?  Di rumahnya yang pas berhadapan dengan langgar hanya ada dia.  Hari ini tepat dua tahun isterinya pergi untuk selamanya.

Dengan langkah sunyi ia mulai meninggalkan langgar.  Jamaah sudah sepi.  Mungkin orang-orang melanjutkan aktivitas atau melanjutkan tidur sebagai ganti jatah tidur yang diambil oleh makan sahur.

Laki-laki itu duduk di kursi rotan.  Ya,  kursi rotan itu masih setia di sana.  Di bawah jendela ruang tamu tepatnya. Ada dua kursi rotan dan sebuah meja bundar di tengahnya . Secara berkala dulu meja itu diganti taplak dan ada pot bunga kecil di atasnya. Di situ ia biasa duduk bersama isterinya sambil melihat ketiga anak laki-lakinya bermain di halaman.  Sesekali kelucuan-kelucuan timbul dan membuat mereka berdua tertawa.

"Pak...,  Mas mengambil kelerengku, "

"Buk..,  Adik  mbeling,  tidak mau memberikan umbulnya..,"

Rengekan-rengekan itu selalu dilayani dengan sabar oleh keduanya.  Ya,  ketiga anak kecil itu adalah buah cinta yang membuat hidup lebih semarak. 

Sesekali ada keluhan dari sang isteri.  Mengasuh tiga anak kecil dengan beda usia yang tak terpaut jauh sungguh melelahkan.  Bertengkar,  berebut mainan,  rebutan makanan adalah hal yang biasa terjadi sehari-hari.

"Duh,  anak-anak tingkahnya agak nakal hari ini.. Lihat,  mainan berserakan di mana-mana.. Kata isterinya sambil menyajikan kopi sore sepulang suaminya dari kantor.  Laki-laki itu cuma tersenyum.

"Sabar Bu,  percayalah,  kita nikmati saja semuanya,  nanti kita pasti akan merindukan saat-saat seperti ini, " katanya kemudian.

Biasanya sesudah mendapatkan jawaban itu isterinya akan diam.  Entah ada perlawanan atau tidak dalam hatinya. Tapi laki-laki itu tahu,  isterinya tidak pernah menentangnya secara frontal.  Cukup diam,  dan itu sebenarnya sering membuat hatinya merasa bersalah.  Ia merasa menjadi orang yang egois dengan membiarkan isterinya berkutat dalam pekerjaan rumah tangga dan mengurus tiga anak laki-laki sendirian tanpa seorang pembantu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun