Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ibu, Madrasah Anak yang Pertama

4 April 2021   21:32 Diperbarui: 9 April 2021   04:31 1398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi ibu dan anak. (sumber: pixabay.com/ArmyAmber)

Mentari pagi menyapa dengan begitu hangat. Suasana di depan madrasah sudah demikian ramai. Saat itu adalah tahun kedua saya mengajar di sebuah madrasah putri yang lokasinya tidak begitu jauh dari rumah. 

Madrasah Putri , sesuai namanya semua siswanya putri. Madrasah kami mempunyai siswa yang lumayan banyak. Untuk tingkat TK ada dua kelas, tingkat SD masing-masing jenjang terdiri atas kelas A, B dan C sehingga total ada 18 kelas. 

Mengajar di madrasah putri adalah hal yang sangat mengesankan. Ternyata siswa yang homogen tidak kalah ramainya dengan siswa yang heterogen. 

Dalam satu kelas meskipun putri juga ada yang nakal dan selalu nenjadi biang kerusuhan. Karena sesama putri ,mereka juga lebih bebas mengekspresikan isi hati pada teman atau guru.

Saat menjelang masuk, suasana di halaman depan madrasah sangat ramai, tumplek blek antara siswa juga pengantar . Maklumlah, madrasah ini terletak di tepi jalan besar.

Anak yang kecil (kelas 1-3) dan TK sebagian besar diantar. Untuk siswa TK biasanya selama pembelajaran ibu-ibu mereka menunggu di halaman, sebagai antisipasi jika anaknya rewel.

Ada yang istimewa di sini. Mayoritas ibu-ibu pengantar ini masih begitu muda. Bahkan beberapa di antara mereka selalu salim pada guru-guru SD.

"Yang mengantar itu kakaknya ya? " tanya saya pada teman yang baru saja disalimi .

Teman saya tertawa. "Bukan, itu anaknya, dia murid saya dulu. "

Saya agak terkejut. Semuda itu dia sudah punya anak TK, berarti menikahnya pasti di usia yang begitu dini. Dan ternyata benar, dari informasi yang saya dapat dia menikah selepas lulus SMP. 

Wah, sebuah fenomena baru bagi saya. Tiba-tiba saja saya jadi tertarik untuk melihat ibu-ibu yang lain. Kesimpulan saya mereka masih muda-muda dan sepantaran.

Buktinya saat menunggu anaknya belajar mereka bisa bergurau akrab di halaman sekolah. Barangkali bernostalgia semasa mereka sekolah di madrasah putri dulu. 

Secara garis besar respon siswa madrasah terhadap mata pelajaran matematika dan IPA yang saya ajarkan ada dua macam. Ada yang acuh, menganggap itu kurang perlu karena 'bukan ilmu akherat', tapi ada juga yang sangat antusias. Untuk golongan kedua ini biasanya yang punya keinginan untuk melanjutkan ke SMP umum.

Mereka merasa bahwa pelajaran umum yang mereka terima masih kalah dibandingkan SD, sehingga mereka harus berusaha lebih keras memahami mata pelajaran umum. Bahkan beberapa minta tambahan belajar/les. 

Saat itu saya masih bisa memberikan les privat dari rumah ke rumah. Nah, melalui les ini saya bisa tahu lebih dekat keseharian siswa di rumah dan latar belakang keluarganya.

Banyak di antara siswa saya yang orang tuanya terutama ibunya tidak bersekolah tinggi. Ini menurut cerita ibu mereka sendiri saat kami ngobrol sesudah les. Ibu-ibu ini mayoritas menikah sesudah SD atauSMP. Biasanya perjodohan sudah diatur orang tua dan mereka tinggal menjalani.

Bagaimana jika punya anak? Pembantu harus punya. Bayangkan seusia lulusan SMP sudah punya anak. Pasti ribet sekali. Solusinya satu anak satu pembantu, jadi tiap punya anak tambah satu pembantu. Itu bagi yang mapan secara ekonomi. Jika dari keluarga biasa-biasa saja, orang tua (nenek) yang ikut membantu.

Kepada anak perempuan biasanya mereka tidak begitu menuntut prestasi yang bagus di sekolah. Bagus syukur, tidak bagus tak apalah. Tugas perempuan nanti kan 'hanya' membesarkan anak-anak dan melayani suami.

Pernah saya memberi les pada anak laki-laki dari pemilik yayasan. Setiap kali saya datang ke rumah, yang menyiapkan dan meladeni kepentingan anak ini adalah kakak perempuannya yang nota bene tidak sekolah karena sudah lulus SMP. 

Hal tersebut seperti biasa saja.Tugas anak perempuan di belakang dan laki laki harus sekolah karena nantinya mengurus usaha keluarga.

Akhir tahun pelajaran adalah saat yang sering membuat saya 'patah hati'. Betapa tidak, selalu saja ada siswa saya yang tidak bisa meneruskan sekolah karena tidak boleh.

Dengan alasan jodohnya sudah menunggu, lamaran sudah diterima orang tuanya atau dalam keluarga mereka anak perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Apalagi yang bukan ilmu agama. 

Seiring berjalannya waktu saya harus pindah ke sekolah lain. Suatu saat adik sepupu saya pindahan rumah dan mengundang jamaah sholawatan yang terdiri atas ibu-ibu dari kelompok pengajiannya. 

Saya turut datang sebagai keluarga. Ketika saya keluar menyajikan minuman di luar dugaan beberapa ibu anggota jamaah salim dan mencium tangan saya.

"Bu, masih ingat saya?" tanya seorang ibu muda dan cantik. Wajahnya dipoles dengan make up yang agak berat menurut saya. 

"Bu .., saya selalu ingat pelajaran Ibu.. Tentang perbandingan..," tanya yang lain. 

Subhanallah, saya begitu terharu. Mereka adalah murid-murid madrasah saya. Cukup pandai tapi setamat SMP langsung menikah dan punya anak.

Kamipun saling bercerita dan tertawa-tawa mengingat kembali ketika mereka belajar di madrasah putri. Ketika saya bertanya mengapa sekolah cuma sampai SMP? Padahal mereka pintar?

Dengan senyum getir mereka menjawab, adat di keluarga mereka, anak perempuan sekolah SMP saja sudah bagus. Lagipula kalau sekolah tinggi-tinggi jodohnya susah. 

Ah, alasan apa pula ini..

Melihat anak anak kecil di pangkuan mereka saya tiba tiba teringat ungkapan Al Ummu Madrasatil Ula yang artinya ibu adalah madrasah anak yang pertama. Masa depan anak-anak kecil itu sekarang ada pada mereka. 

Akankah mereka bisa membuat anak-anak itu tumbuh menjadi generasi yang pintar ke depannya? Atau kembali melestarikan budaya turun-temurun yang mengkerdilkan kualitas perempuan di lingkungan mereka? 

Ah, semoga saja tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun