Mohon tunggu...
Yuhana Kusumaningrum
Yuhana Kusumaningrum Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Tamu di Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misi Langit Hijau

20 Februari 2020   09:00 Diperbarui: 20 Februari 2020   09:23 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ibu, langit itu warnanya hijau, ya?" Ari kecil bertanya pada ibunya.

 "Bukan, Nak," jawab Ibu, "langit itu berwarna biru." 

"Tapi kok Ari lihat warnanya hijau, Bu?"

"Itu karena kita tinggal di hutan, Anakku. Jadi saat kita melihat ke atas, pandangan kita tertutup oleh pohon-pohon tinggi dengan dedaunan yang tumbuh lebat. Tetapi nanti kalau kamu sudah besar dan pergi bersekolah diluar desa, kamu akan lihat bahwa langit itu berwarna biru."

 "Tapi, Ari lebih suka langit yang berwarna hijau, Bu." 

      ~o0o~

Ari  menghentikan langkah sejenak di pinggir jalan tanah menuju desa. Sinar matahari telah bergeser ke ufuk barat. Ia menengadah memandang langit biru cerah berhiaskan gumpalan-gumpalan awan putih. 

"Sedang apa, Nak?" seseorang bertanya.

Ari menoleh. Seorang bapak tua tersenyum dari balik pagar tinggi bercat putih yang mengitari sebuah rumah mewah yang selalu dilewati Ari selama lima tahun bersekolah di kota. 

"Sedang melihat langit yang berwarna biru, Pak," jawab Ari.

Bapak Tua merasa heran dengan jawaban Ari yang sedikit kurang lazim. "Bukankah dimana-mana langit memang berwarna biru?"

"Tapi, langit di rumah saya berwarna hijau, Pak."

"Hmm ..." Bapak Tua mengerutkan kening, berusaha memahami jawaban Ari. Selama bertahun-tahun hanya sekedar menyapa 'selamat pagi' atau 'selamat siang', baru kali ini ia mengetahui ternyata ada yang berbeda dengan cara berbicara anak laki-laki kurus di hadapannya itu.

"Maaf, Pak, hari sudah siang. Saya pamit pulang dulu. Permisi." Ari membungkuk hormat dan beranjak pergi.

     ~o0o~

"Ari! Ari!" Kak Agus - tetangga sebelah rumah; dengan masih mengenakan seragam SMPnya berlari-lari menghampiri.

"Ada apa, Kak?"

"Kamu sudah dengar berita itu?"

"Berita apa?"

"Hutan kita mau diratakan!"

"Apa?"

"Pak Kepala Desa tadi mengumumkannya kepada semua warga. Desa kita akan dipindahkan ke tempat lain, karena disini akan dijadikan arena permainan modern berteknologi canggih!"

Ari terhenyak.  Desanya? Hutannya? Akan diratakan? 

Ari terduduk lemas diatas rerumputan. Serangga-serangga bersayap beterbangan di atas kepalanya. Suara berbagai jenis binatang kecil bersahutan dari  balik semak-semak, juga dari atas ranting-ranting pepohonan yang tinggi. 

Angin sejuk berhembus disela dedaunan; meniup lembut, mengantarkan wangi daun dan tanah yang disukainya. Aroma yang selalu membangkitkan semangat dalam diri Ari.  Semangat yang saat ini rasanya nyaris padam oleh kesedihan.

Benarkah semua ini akan hilang begitu saja? Memangnya apa hak mereka menjadikan hutan ini sebagai arena permainan modern? Belum cukupkah dengan semua gedung tinggi yang mereka bangun di kota-kota besar sampai harus merampas area hutan ini juga? Apa mereka tak memikirkan nasib kami, yang terlanjur mencintai hutan ini?  Nasib binatang-binatang di dalamnya? Pohon-pohonnya? Tak tahukah mereka bahwa kami merasa sangat bahagia tinggal disini?

"Tak dapatkah kita melakukan sesuatu, Bu?" tanya Ari saat ia tiba di rumah.

Ibu menggeleng pelan. "Sudah berkali-kali kami mencoba menolak. Tetapi proyek itu akan tetap dilaksanakan." 

"Tapi, Bu ..."

"Tempat tinggal baru untuk kita sudah disiapkan, Nak. Sebulan lagi kita harus pergi dari sini."

"Ari tidak mau pergi dari desa ini, Bu," Ari berkeras. 

"Tak ada lagi yang dapat kita lakukan, Ari ..."

"Ibu, Ari pasti akan berbuat sesuatu," ucap Ari penuh tekad. "Ari berjanji. Karena Ari sangat menyukai langit hijau kita."

Ari melangkah pelan menyusuri jalan desa. Sembari berjalan, otaknya berpikir keras mencari solusi yang tepat untuk menyelamatkan langit hijaunya.  Langit hijau yang mereka cintai.

     ~o0o~

Ari mengerutkan kening menatap jalan aspal di di bawah kakinya. Dua hari lagi para pekerja akan datang dan mulai mengukur tanah. 

Saat ini semua warga desa telah menyiapkan barang-barang mereka, siap pergi meninggalkan kampung halaman. Meskipun misi yang dilakukannya hampir selesai, tetapi Ari masih merasa ragu dan sedih membayangkan apa yang akan terjadi jika rencananya tidak berhasil.

 "Kenapa kau melamun, Nak?" Bapak Tua menyapanya seperti biasa, namun diselingi suara batuk-batuk yang tidak biasa.

 "Oh," Ari menoleh dan mendekati pagar bercat putih itu. "Bapak sedang sakit?"

 "Sedikit," Bapak Tua terbatuk lagi.

 "Bapak sudah pergi ke dokter?"

 "Sudah, Nak. Kemarin."

 "Lalu apa kata dokter, Pak?"

 "Bapak disuruh istirahat saja. Dan menghirup udara segar."

"Hmm ..." Ari terdiam sesaat kemudian bertanya. "Apakah ada orang yang dapat mengantarkan Bapak bepergian?" 

"Bepergian kemana?" 

"Saya ingin mengajak Bapak melihat Misi Langit Hijau kami."

 "Misi Langit Hijau?" Bapak Tua bertanya tak mengerti.

 "Ya, Pak." Ari mengangguk. "Yang sedang saya lamunkan sambil berjalan tadi. Saya ingin Bapak datang untuk melihatnya."

Dengan diantarkan oleh seorang sopir, Ari dan Bapak Tua melanjutkan perjalanan menuju desa. Sesampainya di ujung desa, Bapak Tua dengan dibantu oleh sopirnya, berjalan memasuki hutan bersama Ari.

Sesampainya di dalam hutan, Bapak Tua terkesima. 

Di hadapannya, di antara hijaunya hutan dan lebatnya pepohonan, terhampar sebuah arena permainan alam yang sangat indah. 

Pondok-pondok kecil yang dibangun dari dahan dan ranting pohon serta daun kering sebagai atapnya, ayunan dari sulur pohon yang menjuntai dari setiap batang pohon-pohon terbesar, juga jembatan-jembatan rendah yang menghubungkan dua batang pohon yang terbuat dari anyaman akar-akar pohon. 

Dan yang paling menarik adalah sebuah lingkaran besar yang dibatasi oleh batu-batuan yang disusun rapi memutar, dengan deretan alas duduk disekitarnya yang juga ditata melingkar; layaknya sebuah panggung amphiteater kecil di tengah hutan.

 "Siapa yang telah membuat semua ini?" tanya Bapak Tua.

 "Kami, Pak. Saya dan teman-teman."

 "Maksudmu, anak-anak penduduk desa ini?"

 "Benar, Pak."

 "Untuk apa kalian membuat semua ini?"

"Hutan kami akan diratakan dengan tanah, Pak," Ari mulai bercerita, "hendak dijadikan arena permainan modern berteknologi canggih. Mungkin mereka tidak tahu bahwa hutan ini adalah tempat bermain kami; tempat tinggal kami. Para orang tua mengatakan bahwa kita tak dapat berbuat apa-apa lagi. Tetapi saya dan teman-teman tak mau menyerah begitu saja, Pak. Maka dari itu, sejak sebulan lalu, setiap hari sepulang sekolah, kami menyempatkan diri untuk membangun arena permainan alam ini. Kami sangat berharap, mereka akan membatalkan rencana pembangunan itu saat melihat betapa indah dan menyenangkannya hutan ini. Tempat paling nyaman, sejuk dan sehat; dimana langit di atas kepala kita berwarna hijau. Inilah Misi Langit Hijau; harapan terakhir kami."

"Misi Langit Hijau..."  gumam Bapak Tua sembari menatap Ari takzim.

Ari mengangguk dan tersenyum. "Nah, selagi hutan ini masih ada, mari kita nikmati segarnya udara tanpa polusi di hutan ini, Pak. Supaya Bapak lekas sehat kembali."

     ~o0o~

 "Halo, selamat pagi, Pak? Ada yang bisa saya bantu?"

 "Ya, pagi. Saya ingin membatalkan proyek itu."

 "Ap... apa, Pak? Tapi, Pak, besok kami sudah akan berangkat kesana untuk..."

 "Tidak perlu lagi. Batalkan saja proyek itu. Terimakasih."

 Air mata penyesalan sekaligus haru menetes di pipi Sang Bapak Tua; membayangkan bagaimana binar-binar kebahagiaan akan terpancar di wajah Ari dan teman-temannya esok hari, saat menerima kabar gembira ini.

 Kabar bahwa hutan mereka akan tetap menjadi milik mereka.

    ~o0o~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun