Mohon tunggu...
Yudistira Pratama
Yudistira Pratama Mohon Tunggu... Sang Pemimpi(n)

Lantang tanpa suara!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Nasib Birokrat, Terombang-ambing Gelombang Politik

13 November 2020   06:46 Diperbarui: 16 April 2025   14:31 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi birokrat. (sumber: KOMPAS/HERYUNANTO)

Tidak sedikit PNS yang memiliki kedekatan emosional maupun hubungan keluarga dengan calon kepala daerah. Faktor kedekatan ini menimbulkan beban moral untuk memberikan dukungan, meskipun hal tersebut melanggar prinsip netralitas.

Urgensi Independensi Birokrasi

Berbagai pihak telah menawarkan solusi untuk mengatasi persoalan ini, salah satunya adalah mencabut hak politik ASN seperti halnya TNI dan Polri. Namun, solusi tersebut belum menyentuh akar persoalan. Pencabutan hak suara PNS hanya mengurangi satu suara, tetapi tidak menghentikan praktik mobilisasi birokrasi oleh calon kepala daerah, terutama petahana.

Dalam praktiknya, petahana masih bisa menyisipkan pesan-pesan politis melalui program dan kegiatan yang dijalankan birokrasi. Hal ini menjadi pintu masuk utama terjadinya ketidaknetralan.

Akar persoalan sesungguhnya terletak pada luasnya kewenangan kepala daerah dalam manajemen ASN di daerahnya. Kepala daerah memiliki kewenangan strategis dalam melakukan mutasi, promosi, dan bahkan demosi terhadap pejabat birokrasi. Sayangnya, kewenangan tersebut kerap digunakan pasca-Pilkada untuk "membersihkan" birokrat yang dianggap tidak loyal atau tidak mendukung secara politik, meskipun secara kinerja mereka mungkin baik. Ini berpotensi menciptakan disfungsi birokrasi dan budaya kerja yang tidak sehat.

Solusi: Pengalihan Wewenang Manajemen ASN

Untuk menciptakan birokrasi yang profesional dan netral, sudah saatnya mempertimbangkan pengalihan kewenangan manajemen ASN dari kepala daerah kepada pejabat karier tertinggi, yakni Sekretaris Daerah (Sekda). Sekda, sebagai PNS tertinggi di daerah, idealnya tidak terlibat dalam kontestasi politik dan dapat menjadi penjaga profesionalisme birokrasi.

Dengan wewenang promosi, mutasi, dan demosi berada di tangan Sekda (atau lembaga teknis independen), maka birokrasi akan memiliki posisi yang lebih netral dan seimbang dalam menghadapi dinamika politik daerah. Birokrat tidak lagi berada dalam tekanan untuk mengikuti arahan kepala daerah yang “nakal” demi menyelamatkan kariernya. Mereka dapat bekerja secara profesional, melayani masyarakat dengan fokus, tanpa khawatir akan menjadi korban politisasi.

Lebih jauh, birokrasi yang kuat dan independen justru dapat menjadi penyeimbang kekuasaan kepala daerah. Ketika keputusan strategis dalam tubuh birokrasi tidak sepenuhnya dikendalikan oleh kepala daerah, maka potensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan—termasuk korupsi—dapat diminimalkan. Dengan demikian, birokrasi tidak hanya sebagai pelaksana kebijakan, tapi juga sebagai pengontrol moral dan sistemik terhadap jalannya pemerintahan daerah

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun