Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), birokrat adalah seseorang yang menjadi anggota birokrasi. Dalam banyak literatur, istilah birokrat sering diidentikkan dengan pegawai pemerintah yang menjalankan tugas-tugas administratif. Di Indonesia, birokrat dikenal sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang merupakan bagian dari Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Pada masa-masa politik seperti saat ini, terutama menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), isu netralitas birokrat menjadi sorotan utama di banyak daerah. Birokrat yang secara konstitusional diwajibkan untuk bersikap netral, justru kerap kali diduga terlibat dalam dukung-mendukung calon kepala daerah tertentu, baik secara terbuka maupun terselubung.
Dilansir dari okezone.com (7 Oktober 2020), Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mencatat bahwa pada pelaksanaan Pilkada Serentak tahun 2020, terdapat 694 ASN yang diduga melanggar prinsip netralitas. Dari jumlah tersebut, sebanyak 492 orang telah diberikan rekomendasi sanksi, dan 256 di antaranya telah ditindaklanjuti oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) masing-masing. Sanksi yang dijatuhkan beragam, mulai dari penundaan kenaikan gaji berkala, penurunan pangkat, hingga pemberhentian.
Mengapa PNS Berani Tidak Netral?
Fenomena ketidaknetralan PNS dalam Pilkada mengundang pertanyaan: mengapa seorang pegawai yang telah memiliki penghasilan tetap dan kehidupan yang stabil berani mengambil risiko besar, bahkan hingga terancam kehilangan pekerjaannya?
Berdasarkan hasil observasi dan diskusi dengan sejumlah narasumber, terdapat beberapa faktor yang mendorong PNS untuk bersikap tidak netral:
1. Keterpaksaan
Fenomena ini kerap terjadi di daerah di mana calon petahana kembali mencalonkan diri. Petahana memiliki kekuasaan dan jaringan birokrasi yang bisa dimobilisasi untuk kepentingan elektoral. Tak jarang, para PNS mendapatkan tekanan secara langsung maupun tidak langsung untuk membantu kampanye terselubung. Kekhawatiran akan dimutasi ke tempat yang tidak diinginkan menjadi alasan utama para PNS “patuh” pada perintah yang sebenarnya melanggar prinsip netralitas.
2. Kepentingan Jabatan
Selain mutasi, kepala daerah juga memiliki kewenangan dalam promosi jabatan. Dalam banyak kasus, loyalitas terhadap calon kepala daerah dinilai bisa menjadi “modal” untuk memperoleh jabatan strategis pasca-Pilkada. Dorongan untuk meraih posisi tertentu mendorong sebagian PNS untuk mengambil sikap partisan.
3. Kedekatan Personal