Mohon tunggu...
Yudi Irawan
Yudi Irawan Mohon Tunggu... Administrasi - Bukan Seorang Penulis

Seseorang yang baru saja belajar menulis di usia senja :-)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lembar Tiket Terakhir (Bagian 3)

7 Maret 2018   13:14 Diperbarui: 23 Desember 2018   20:39 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tokyo, ya Tokyo. Ibu kota negara Jepang ini akhirnya menyapa Ardan kembali untuk yang kedua kalinya. Kereta akhirnya tiba di Tokyo setelah menempuh perjalanan lebih dari dua jam. Bersama penumpang lain, Ardan turun dan terus menyusuri tangga sampai keluar dari Stasiun. Tas ranselnya masih terus bersandar dipunggungnya. Ardan melihat sekeliling stasiun. DIa belum memutuskan untuk lanjut ke bandara Narita Tokyo. Dia masih ingin menikmati kota itu barang sejenak. Mengupas kembali ingatannya akan hari-hari yang pernah dia jalani bersama Nuning. 

Persis hampir dua tahun lalu, Nuning juga yang mengantarnya ke bandara untuk kembali pulang. Namun sehari sebelumnya, Nuning mengajaknya berkeliling Tokyo. Negara yang mendapat predikat sebagai negara teraman sedunia ini begitu bersahabat. Tertib, bersih dan teratur juga menjadi pemandangan yang biasa. Sangat berbeda dengan Indonesia. Bahkan di  gunungpun masih ditemukan banyak sampah menumpuk. Padahal para pendaki itu mengaku diri mereka sebagai pecinta alam. Tapi apa kelakuannya? Nol besar. Ah seandainya kesadaran warga negara Indonesia sama dengan penduduk jepang, Ardan yakin tempat wisata di negara ini pasti akan semakin dipenuhi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.

Seperti pagi tadi, dia kembali memasuki sebuah restoran kecil tidak jauh dari Bandara. Memesan secangkir susu coklat hangat. Matanya juga tertuju pada hamparan sushi yang dipajang. Di sudut kaca etalase, ada tulisan food for muslim. Ini pasti halal bathinnya. Dan segera diapun memesan sepiring kecil sushi halal itu. Ardan kemudian memilih tempat di pojok dekat jendela. Dia baru sadar bahwa dia belum tahu arah ke bandara. Naik taksi bisa, tapi dia lebih ingin memilih bus. Masih sore, sehingga dia masih punya cukup waktu dan tidak harus terburu-buru. 

Hatinya menggerutu. Tadi kenapa dia tidak tanya Alit tentang bus? Ah sudahlah, sudah terlambat. Mungkin memang harus naik taksi. Seorang pelayan wanita datang menghampirnya sambil menyerahkan pesanannya. Sementara diluar gerimis turun perlahan membahasi setiap jengkal tanah yang ada. Bismillah.. dia susu coklat hangat yang sudah tersedia itu untuk membantu menghangatkan badannya. Sementara sushi yang ada didepannya sementara masih enggan dia sentuh. Entah kenapa dia tidak merasa lapar sama sekali. Mungkin fikirannya yang terus menggerogoti selera makannya seharian ini.

Kembali Ardan melemparkan pandangannya keluar. Dilihatnya seorang ibu dengan payung transparan berjalan sambil menggandeng tangan anak perempuannya yang menggunakan Yukata, atau baju khas Jepang. Sementara dipunggungnya ada sebuah ransel kotak yang mirip sekali dengan apa yang dilihatnya di film Doraemon, yaitu tas ransel kota yang sering dipakai Nobita pergi ke sekolahnya. 

Nuning pernah bilang kepadanya kalau tas seperti itu merupakan tas standar ala anak-anak sekolah di Jepang. Didalamnya ada sebuah GPS yang memungkinkan para orang tua memantau keberadaan anak-anaknya. Entah dari mana Nuning tahu semua itu. Ardan hanya terbengong-bengong saja ketika mendengar penjelasan Nuning. Ah, kenapa semua seolah mengingatkan dia kepada Nuning? Dan tentang Yukata, Nuning pernah memaksanya untuk mengenakannya dengan alasan untuk sesi foto kenang-kenangan. Bagus juga sih, dan Ardan rupanya menyukai. Foto berdua Nuning yang dia pajang di kamarnya. 

     Juga tentang payung bening. Payung yang senantiasa dibawa Nuning saat menemani Ardan melihat-lihat kota Tokyo. Mulai dari menyusuri sungai Sumidagawa, membeli oleh-oleh di Asasuka Temple, berjalan-jalan di pusat belanja dan keramaian seperti Shibuya, Ginza dan Akibhara, sampai naik ke Tokyo Sky Tree yang merupakan menara tertinggi di dunia. Masih segar juga dalam ingatannya bagaimana Nuning "hilang" di menara yang tingginya mencapai 634 meter yang bisa ditempuh hanya dalam waktu 50 detik saja. Rupanya Nuning turun satu lantai untuk memesan minuman tanpa memberi tahu Ardan. Ardan yang saat itu sedang menikmati keindahan kota Tokyo dari ketinggian, terkejut ketika mendapati kekasihnya itu tidak ada disampingnya. DIa berlari berkeliling menara yang lantainya melingkar itu. 

Setengah berteriak dia terus mencari Nuning. Rupanya Ardan tidak tahu kalau masih ada satu lantai yang bisa dituruni menggunakan tangga. Sampai akhirnya Nuning muncul dengan membawa dua gelas minuman. Nuning kaget melihat raut wajah Ardan yang terlihat galau dan nafas tersengal-sengal. Kurang lebih tiga menit Ardan menyusuri bangunan lantai itu. Nuning hanya tertawa melihat kekasihnya itu. Kemudian dia serahkan satu gelas minuman ke Ardan. Ardan tidak meresponnya. Malah matanya melotot sambil memberi isyarat pertanyaan dari mana saja Nuning menghilang. 

Wanita pujaannya itu bukannya prihatin malah memainkan kerling satu matanya. Ardan semakin jengkel. Rasanya ingin dia acak-acak kepala Nuning sebagai tanda protesnya. Akan tetapi tetap saja dia tidak bisa melakukan hal itu. Rasa sayangnya lebih besar dari rasa jengkelnya. Sementara Nuning semakin suka melihat Ardan wajah panik Ardan. Tertawanya semakin keras. Namun dalam hatinya dia begitu bahagia bahwa rasa cinta Ardan tetap tidak pernah berkurang sedikitpun. Bahkan Nuning merasakan rasa itu semakin besar ditunjukkan Ardan kepadanya. Dalam tawanya sebetulnya Nuning berupaya sentengah mati untuk menahan buliran air matanya agar tidak jatuh dihadapan Ardan.

     Payung bening itupula yang menjadi saksi bagaimana Nuning menjadi pelindungnya ketika berada di Jepang, khususnya Tokyo. Hujan ringan dan lebat yang datang silih berganti itu terus memaksa Nuning membentangkan payungnya. Terkadang Ardan yang memegang gagang payung itu. Walau sebenarnya lebih banyak Nuning yang memayungi Ardan. Agak terlihat konyol memang. Tapi Nuning menyukai hal itu. Karena katanya, orang baru jangan sok tahu, nanti malah bikin repot. Entah apa maksudnya, tapi Ardan juga tidak protes. Seperti bagaimana Nuning memayungi Ardan ketika difoto di patung anjing Hachiko yang ikonik yang kisahnya sudah sangat mendunia sampai hari ini. Juga bagaimana Nuning memayunginya ketika berada di tengah-tengah hilir mudik orang di Shibuya ketika lampu hijau menyala, tanda orang boleh menyeberang. Tangan Ardan dipenuhi tas berisi oleh-oleh. Bagaimana mungkin dia juga memegang payung? Syukurlah ada Nuning saat itu.

     Sudah hampir jam 5. Saatnya Ardan harus berangkat menuju Bandara Narita Tokyo. Sushi yang ada dihadapannya tidak dia sentuh sama sekali. Bergegas keluar dan mencari taksi. Sejurus kemudian membelah jalanan kota Tokyo yang basah untuk langsung menuju Bandara. Setibanya disana, Ardan langsung mencari tempat penjualan tiket menuju tanah air. Dia tidak kesulitan karena masih ada tulisan dalam bahasa Inggris yang dia cukup mengerti sebagai petunjuknya. Setelah berjalan menyusuri lorong utama bandara, dia dapati tempat penjualan tiket tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun