Gelap langit ini sekalipun disapu cahaya beberapa lampu, tak menyurutkan rasaku yang kehilangan kamu.
Ada bekas langkah yang tertinggal, sekalipun sudah terinjak beribu tapak kaki dan roda ratusan kali.
Selalu kembali sosokmu, wangi badan, helaan nafas, tawa renyah, atau hanya senyum di ujung bibir seperti enggan berkata
Di sini kita pernah bersua, dan di sini pula kita berpisah. Di tengah sinar setengah terang dan sapuan angin dari rerimbun beringin yang berserak dimana-mana, kuterima rasa sukamu, sekaligus pada suatu masa berikutnya kau ambil kembali rasa itu.
Entah kenapa, harus aku ada di sini lagi. Sendiri mengitari tanah luas berumput hijau, dengan keraton tua berada di sebelah ujung. Terkuak lagi percapakan terakhir kita, Â menyatu dengan jerit riang anak-anak, gelak tawa remaja dan cengkerama orang-orang menuju ujung malam.
"Kupikir kita harus berpisah. Ini hari terakhir kita berdua, bersama. Esok hari mungkin kamu atau aku sudah dengan yang lain." katamu datar, "Maafkan aku." lanjutmu.
Selembar tisu putih di tanganku sudah basah karena air mata. Ingin rasanya untuk tidak menunjukkan kesedihan, tapi aku tak setegar yang aku kira.
"Dulu aku mencintaimu dengan tanpa alasan. Berkali-kali kamu tanya kenapan aku memilih kamu, berulang kali aku tidak bisa menjawabnya. Aku tidak pernah tahu, sampai...." kalimatmu terhenti.Â
Sehelai daun tua jatuh menimpa rambutmu. Aku ingin mengambilnya tetapi lebih dulu kau menepisnya. Tanganmu halus, lebih halus dari tanganku. Jari-jarimu lentik, lebih lentik dari milikku. Â Wajahmu bersih, halus. Ya Tuhan, kamu tampan sekali di mataku. Aku tak bisa kehilangan kamu.Â
"Sampai apa?" tanyaku.
"Sampai aku menyadari bahwa aku tak punya alasan apapun untuk memiliki kamu. AKu hanya seperti sebutir debu yang diterbangkan angin. Melayang entah kemana, bahkan tidak terlihat dan tak dicari siapapun."
"Cintamu adalah alasan memiliki aku." kataku. Walaupun ini seperti kalimat romantis dalam film-film remaja atau novel-novel drama.
"Bahkan, aku tidak tahu lagi, apakah aku mencintai kamu, " pelan sekali kalimat itu terdengar, terucap darimu, "Maafkan, aku harus jujur."Â