Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dokter dan Media Sosialnya

5 Mei 2021   09:53 Diperbarui: 7 Mei 2021   08:31 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: SHUTTERSTOCK/smolaw via Kompas.com

Diatur! Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah merilis fatwa bermedia sosial bagi profesi dokter. Terdapat tiga belas poin yang menjadi panduan bagi profesi dokter dalam menggunakan media sosialnya.

Beberapa kejadian di dunia maya yang terkait dengan tingkah laku dokter di media sosial menjadi perhatian dari dikeluarkannya fatwa tersebut dalam Surat Keputusan Nomor 029/PB/K/MKEK/04/2021 bertanggal 30 April 2021.

Fokus utamanya terletak pada butir pertama, bahwa harus terdapat kesadaran penuh bagi seorang dokter bila media sosial memiliki konsekuensi baik dan buruk, dan dalam hal tersebut maka dalam ranah profesi dokter perlu menjunjung nilai integritas, profesionalisme serta etik ketika berada di ruang digital.

Peran dokter sebagai tenaga kesehatan menjadi vital dan penting, terlebih di era pandemi yang diharapkan membantu mendorong edukasi serta mencerahkan publik terkait dengan berbagai diskusi di bidang kesehatan itu sendiri. MKEK IDI rupanya mencermati potensi berkebalikan dari tujuan tersebut.

Lihat saja perdebatan terkait dengan pandemi pada periode awal, dalam sengkarut apakah penyakit Covid-19 menular dan berbahaya dibandingkan berbagai penyakit lain yang sudah ada sebelumnya? Atau lihat perbincangan hangat tentang vaksin nusantara, siapa yang benar diantara kedua kubu dokter yang kukuh dalam mempertahankan sudut pandangnya? Bias informasi terjadi di publik.

Bukan hanya itu, bahkan dalam lingkup gegap-gempita politik seperti terjadi pada Pilpres lalu, terlihat bagaimana para dokter ikut dalam gelora percakapan politik secara hangat. Panduan etik bukan bermakna tidak memberi ruang ekspresi bagi dokter, tetapi mengelolanya agar terkendali.

Publik menjadi khalayak yang mencermati gerik laku dokter. Terlebih, karena profesi ini memiliki posisi sosial yang tinggi di dalam masyarakat, oleh karena itu seorang dokter perlu memainkan peran signifikan dalam membantu mendukung literasi dan edukasi publik.

Sebelumnya, empat tahun lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga membuat pedoman bermuamalah di media sosial. Hal inti dalam pengaturan MUI terkait bentuk tanggung jawab bermedia sosial, berkenaan dengan menyebarkan hal baik, serta mencegah keburukan serta menguatkan persaudaraan.

Apa yang dibentuk oleh MKEK IDI ini menjadi panduan spesifik dalam bidang pekerjaan tertentu. Rekomendasi yang diajukan untuk mengatasi tumpang tindih peran sebagai individu dan profesi dokter diajukan membuat akun secara terpisah sesuai dengan peruntukan masing-masing.

Dalam hal ini seorang dokter dapat adalah membuat akun privat untuk kepentingan individu yang terbatas, serta membuat akun publik yang terbuka untuk pembahasan terkait bidang profesi pekerjaan.

Sebagai pengguna media sosial, sang dokter harus mampu melihat posisi pertemanan di media sosial dalam format relasinya sebagai pasien, publik dan sejawat dokter maupun tenaga kesehatan lainnya. Dengan identifikasi terpisah itu, terdapat cara berkomunikasi yang berbeda pada tipe audiens tersebut.

Ilusi Media Sosial

Sebagaimana Jason Lanier, Ilusi Media Sosial: Sepuluh Argumen tentang Paradoks Medsos, 2019, harus mampu dipahami bila media sosial dalam kerangka yang pesimistik membawa dampak negatif yang bisa jadi tidak terbayangkan sebelumnya. Kebebasan di media sosial berpeluang menjadi ancaman.

Keberadaan media sosial tidak dapat lagi dinilai tanpa kepentingan dengan hanya menguatkan fungsi sosialnya, pada kenyataannya media sosial juga memiliki peran sebagai sarana kepentingan yang berpotensi menciptakan ruang konflik dan disintegrasi yang bersifat merusak.

Lalu bisakah kita memainkan peran ganda sebagai seorang individu dan menjadi profesi yang spesifik secara bersamaan? Arahan MKEK IDI perlu direnungkan sebagai alternatif solusi dalam mengatasi potensi distorsi yang terjadi di era online dengan keberlimpahan informasi namun minim verifikasi.

Pada Jurnal Etika Kedokteran, 2017, Pukovisa & Nurfanida menurunkan hasil kajian tentang Tinjauan Etika Penggunaan Media Sosial oleh Dokter, selaras dengan dihimpun melalui fatwa MKEK IDI, bahwa media sosial adalah bagian dari keniscayaan perkembangan teknologi, untuk itu media sosial bagi profesi dokter harus diperuntukan bagi upaya memberi kebermanfaatan bagi publik secara meluas.

Fatwa MKEK IDI diharapkan menjadi peta jalan dalam bermedia sosial bagi seorang dokter, untuk tetap dalam koridor yang sesuai. Hal ini pula yang ditemukan dalam penelitian Apnizar & Sri, 2019, Geliat Interaksi Sosial Dokter Masa Kini melalui Media Sosial Instagram, terdapat pola edukasi dan promosi yang masih saling terkait, seharusnya dipisahkan dalam proses interaksi sosial dokter di media sosial.

Pertanyaannya, profesi dokter pada akhirnya juga manusia biasa, yang bisa jadi terbawa dan larut dalam suasana serta konteks yang berkembang pada berbagai bidang, jika demikian maka yang paling penting adalah kesadaran dalam bersosial media dengan prinsip think before share terkait aspek dampak yang akan dihasilkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun