Tangan-tangan gelap bermain di ruang yang sempit, bahkan saat pandemi, memanfaatkan celah terbuka atas nama kedaruratan.
Publik yang seharusnya menjadi target sasaran utama dari seluruh arus utama pengambilan kebijakan, menjadi bagian yang tercecer.Â
Lokus populasi yang terkucil dan terpinggirkan serta luput dari kebijakan publik dinamai sebagai homo sacer.
Poin penting yang menjadi kelemahan dalam aspek demokrasi kita adalah hilangnya ruh serta semangat oposisi.Â
Para aktor politik formal berada dalam gerbong yang sama secara mayoritas, dibalik punggung kekuasaan. Sisanya, hanyalah elemen minor.
Pemeran kontrol sosial kini sepenuhnya terletak pada komponen sipil, termasuk: akademisi, media lembaga swadaya hingga organisasi massa di luar struktur jenjang kekuasaan.
Demokrasi sejatinya menyoal pemerintahan yang menjawab kebutuhan publik. Pada penelitian Edward Aspinall, 2014 menjelaskan bila ruang demokratisasi membawa agenda kesejahteraan, di dalamnya program kesehatan termuat.
Saat ini, indeks demokrasi Indonesia menurut lansiran The Economic Intelligence Unit (Detik, 4/2) sebagai yang terburuk dalam kurun 14 tahun terakhir, meski tetap di peringkat 64 dari 167 negara, nilainya melorot menjadi 6.3 dari 6.48.
Kecenderungan untuk lari dari situasi demokrasi, menghasilkan demokrasi yang catat. Hal tersebut perlu dicermati lebih jauh, seiring kecenderungan pembentukan regulasi yang mengabaikan aspirasi publik.
Beringsutnya demokrasi, dan tendensi pengambilan kebijakan secara otoriter di era pandemi berpotensi mengesampingkan isu kesehatan pasca pandemi nantinya.
Kesehatan menjadi sektor krusial guna menjaga eksistensi manusia. Pada akhirnya, politik dan demokrasi harus ditujukan bagi sebesar-besarnya kepentingan publik secara menyeluruh.