Pada akhirnya, publik kebingungan. Hoaks bertebaran karena terdapat kesenjangan informasi. Situasi ini perlu segera direformulasi, agar pemangku kebijakan dapat dipercaya publik. Hal yang terpenting, tentu saja agar nasib publik tidak terus terkatung-katung.
Berita bohong di tengah pandemi menjadi mudah dipahami, terutama karena hilangnya kredibilitas. Publik lantas mencari sendiri, apa yang diyakininya sebagai kebenaran bagi dirinya. Terdapat ruang kosong referensi kebenaran.
Perlu upaya serta peran aktif pemangku kebijakan, untuk mendorong peningkatan literasi, khususnya di situasi carut-marut informasi, yang disertai dengan histeria publik.Â
Penegakan hukum menjadi alat pendisiplinan serta efek jera. Tetapi pemenjaraan dan penghukuman, bukan menjadi kebutuhan. Kapasitas penjara kita sudah teramat penuh. Bahkan usulan terbaru adalah pembebasan narapidana, termasuk membebaskan tahanan korupsi --meski akhirya tidak jadi.
Memastikan Fokus Â
Kini kebijakan stimulus telah diluncurkan. Ditujukan dan berorientasi pada aspek kesehatan, dampak ekonomi, ketahanan sosial dan usaha kecil.Â
Dananya tidak kecil, Rp 405,1 T. Dalam situasi darurat, butuh lebih dari sekedar kebijakan baik. Harus mampu efektif mengatasi hal utama. Menghindari potensi tindakan tercela.
Kondisi pandemi menempatkan urutan prioritas kepentingan masalah, terletak pada persoalan kesehatan publik.Â
Pertentangan antara substansi kesehatan yang berujung pada penyelamatan nyawa, kini tampak hendak diperhadapkan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi dasar.
Seolah berada dalam pilihan, mati dalam kesakitan atau mati karena kelaparan? Semua pilihan berujung situasi yang sama, menjemput maut, menjejak kematian.Â
Lantas narasi berkembang, bila penutupan wilayah hanya memberi kepastian bagi kelompok menengah-atas, tetapi tidak bagi mereka yang ada di lapisan bawah. Perbandingan sembrono.