Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Raut Muka Politik dan Negosiasi Wajah

6 November 2018   04:28 Diperbarui: 6 November 2018   09:55 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang salah dengan muka dari suatu daerah tertentu? Jelas tidak ada salahnya. Tetapi kini menghangat perbincangan tentang bagaimana wajah kedaerahan itu dimaknai sebagai pelecehan terhadap suatu identitas tertentu. 

Politik kita memang gaduh, ada saja berita yang membuat sensasi setiap waktu. Tidak berhenti disitu, gugat menggugat dijalur hukum pun terjadi karena pernyataan dan statement yang dianggap "bermasalah". Bila tidak dihentikan, justru hal seperti ini, akan memperburuk "wajah" kita bersama.

Kampanye politik memang kerap beririsan dengan kontroversi. Juga termasuk tentang persoalan wajah alias muka kali ini. Maka mari kita bahas tentang "wajah kita, wajah Indonesia". 

Dalam keragaman multietnik, kita sesungguhnya memiliki potensi modal sosial yang besar, jejaring sosial dalam tata nilai dan budaya menjadi satu kekuatan. Namun, kerapkali perbedaan dieksploitasi untuk kepentingan jangka pendek, pemenangan suara politik, hal yang justru menimbulkan bibit konflik,

Bagaimana dengan muka kedaerahan itu? Dalam gaya yang khas, alm Benyamin -seniman Betawi pernah menyitir, "muke kampong, rejeki kota" bersoal keberuntungan. Jadi muka memang bukan ukuran nasib. 

Tetapi kita melihat aspek yang lebih luas, bahwa wajah kita sebagai bangsa memang tengah coreng-moreng, menghitam legam karena para aktor dan elit politik yang diberikan mandat publik justru berkhianat dengan melakukan korupsi. Hitunglah berapa banyak wajah politikus yang telah tertangkap?.

Pada ruang kampanye, maka "wajah polos" publik bertemu dengan "seribu wajah" politisi. Janji kemudian ditebar, menjawab kehausan publik akan harapan kebahagiaan dan kesejahteraan. 

Lagi-lagi "wajah kampong" yang jujur itu hanya menjadi angka dalam hitungan serta kalkulasi atas jumlah suara politik. Lalu dimana janji kampanye? Hilang lenyap ditelan angin lalu hiruk-pikuk kampanye pada periode selanjutnya. Siklus ini berulang dan berlaku seperti itu dari waktu ke waktu.

Tidakkah para pembesar negeri dan politisi melihat air muka dan raut wajah para pemilik kedaulatan bangsa ini, sebagai hal yang ada dalam pundak tanggung jawab mereka? Atau para elit memang sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, berpikir tentang mempertahankan, merebut dan menyusun struktur kekuasaan? Pertanyaan filosofisnya, mengapa negara dibentuk bila wajah buram nan kusam penduduk negeri dibiarkan nelangsa berkalang hujan batu ditanah air nan kaya?

Dalam wajah-wajah penuh harap warga bangsa ini, seharusnya terdapat kemampuan mencerahkan dan membebaskan yang dibawa melalui jalur politik beserta para elit, bukan sebaliknya justru membawa dan menambah kekisruhan baru. Polesan wajah politisi yang tebal, menutupi tampilan dasarnya, mudah beralih rupa, bahkan juga bermain peran.

Topeng Wajah yang Bernegosiasi

Wajah memang dapat menjadi impresi awal, bisa pula dimaknai sebagai alat ukur penilaian. Tetapi percayalah, hal tersebut kerap menipu. Wajah politisi yang hangat bersahabat dalam periode kampanye, kerapkali menjadi sangat tidak peka dan acuh pada persoalan publik ketika kemudian terpilih kemudian. Selubung topeng pembungkus selalu dimainkan dalam gelaran kampanye, sehingga jangan mudah terpedaya.

Ditahun politik, wajah penduduk negeri ini sebagai pemilik kedaulatan sedang bernegosiasi dengan wajah para politisi. Dalam sebuah negosiasi, ada titik kompromi dengan aspek penekanan pada kepentingan publik yang meluas sebagai patokan ukuran. Jika tidak, maka harapan yang hilang tersebut akan berlangsung bersamaan dengan tumbuhnya rasa ketidakpercayaan.

Lantas siapa yang dapat dipercaya? Perlu kehati-hatian dalam membaca wajah-wajah yang ada dalam surat suara kali ini. Perhatikan dengan cermat apa yang hendak ditawarkan dan dikerjakannya? Lalu apakah wajah Anda dapat beresonansi tergetar secara positif dengan wajah yang akan Anda pilih?.

Sekali lagi tentang "wajah kita, wajah Indonesia", maka seharusnya para pemimpin bertanya dan bertekad untuk bersungguh-sungguh menghadirkan arti keberadaan negara dalam upaya membawa seuntai senyum di wajah penghuni negeri ini. Jika tidak, maka mereka harusnya bertanya, "mau ditaruh dimana wajahku ini?". Semoga saja masih ada tekad tulus dalam wajah berselubung topeng itu, yang mengaburkan batas makna antara kepalsuan dan kebenaran. Kita tentu berharap demikian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun