Mohon tunggu...
Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Jurnalisme dan Teknologi

Lahir, besar, dan tinggal di Bandung. Senang mendengarkan cerita dan menuliskannya. Ngeblog di yudhaps.home.blog.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Apau Kayan, Denyut Peradaban Sungai di Halaman Terdepan Indonesia

20 Maret 2017   16:12 Diperbarui: 21 Maret 2017   08:00 1835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Perjuangan Kemerdekaan RI di Desa Long Nawang. Di belakang tugu ini dahulunya merupakan tempat pemakaman bangsa Eropa yang mendiami Long Nawang. (Foto: Yudha PS)

Masyarakat Long Nawang merupakan keturunan Dayak Kenyah. Seperti pada umumnya suku Dayak, masyarakat Long Nawang memiliki kulit putih, mata sipit, dan berambut lurus. Ciri-ciri fisik ini sangat mirip dengan orang-orang Tionghoa. Besar kemungkinan masyarakat Dayak memang migran dari Asia Timur pada masa lalu, sehingga memiliki ciri-ciri fisik yang hampir sama dengan orang-orang Tionghoa modern.

Adapun kata “Long” berarti “Percabangan dua sungai” dalam bahasa setempat. Sedangkan “Nawang” merupakan nama sungai yang bertemu dengan Sungai Kayan. Pertemuan kedua sungai tersebut tepat berada di wilayah Desa Long Nawang kini.

Masyarakat Long Nawang merupakan contoh masyarakat yang tinggal di pesisir sungai Kalimatan. Selain memanfaatkannya sebagai sarana transportasi, masyarakat jenis ini juga memanfaatkan sungai sebagai sumber kehidupan, khususnya dalam hal ketersediaan air bersih untuk minum dan ikan sebagai sumber protein hewani.

Karena tinggal di tengah-tengah hutan hujan tropis Kalimantan, masyarakat Long Nawang banyak memanfaatkan kayu untuk mendukung kehidupan mereka, termasuk bahan baku rumah. Hanya saja, masa pemakaian kayu untuk rumah ini maksimal 20 tahun. Selebihnya, idealnya pemilik harus merenovasi rumahnya dengan kayu-kayu baru.

Kondisi ini disebabkan oleh jenis kayu yang banyak tersedia di hutan sekitar Long Nawang berjenis Meranti. Di Bandung, kayu ini terkenal kuat dan memiliki kualitas prima, sekitar satu tingkat di bawah Kayu Jati. Namun, ketika kayu ini berhadapan dengan air dan tanah, Meranti akan keropos dan hancur.

Untuk bahan baku rumah, masyarakat Dayak di Kalimantan lebih menyukai jenis Kayu Ulin. Masyarakat Jawa umumnya mengenal kayu tersebut sebagai Kayu Besi. Pasalnya, kayu ini mampu bertahan di air dan tanah, bahkan hingga ratusan tahun lamanya. Sayangnya, di Long Nawang, harga Kayu Ulin per kubiknya sangat mahal, hingga mencapai 10 juta Rupiah. “Harganya bisa lebih mahal tujuh sampai delapan kali lipat dibandingkan harga Kayu Meranti,” ungkap Juni, tuan rumah tempat saya menginap, ketika bercerita tentang rumah di Long Nawang.


Meskipun demikian, masyarakat Long Nawang enggan memilih rumah beton. Pasalnya, harga semen di sini cukup mahal, yaitu sekitar 300 sampai 500 ribu Rupiah per sak. Harga ini hampir sepuluh kali lipat dibandingkan harga semen di Bandung yang hanya berkisar 60 ribu Rupiah per sak. Belum lagi, tukang bangunan beton lebih banyak berada di kota. Tentunya, menghadirkan tukang bangunan beton ke Long Nawang bisa menambah tinggi biaya pembuatan rumah.

Suasana Desa Long Nawang. Foto Atas: Jalan sudah di buat lebar dan beraspal. Foto Kiri: Balai warga tampak dari depan-serong-kanan. Foto Kanan: Pembangkit listrik tenaga surya yang selesai, tetapi belum dioperasikan untuk kebutuhan masyarakat. (Foto: Yudha PS)
Suasana Desa Long Nawang. Foto Atas: Jalan sudah di buat lebar dan beraspal. Foto Kiri: Balai warga tampak dari depan-serong-kanan. Foto Kanan: Pembangkit listrik tenaga surya yang selesai, tetapi belum dioperasikan untuk kebutuhan masyarakat. (Foto: Yudha PS)

Kehidupan masyarakat Long Nawang jauh dari kesan primitif dan terbelakang. Di sini, sebagian besar masyarakatnya sudah hidup secara modern. Mereka sudah hidup dengan peralatan listrik, seperti: lemari pendingin, mesin cuci, penanak nasi otomatis, pemanas air otomatis, televisi, dan komputer. Padahal, listrik baru menyala selama 12 jam dalam sehari.

Transportasi pun sudah tidak lagi meniti sungai dengan mendayung perahu. Mereka sudah menggunakan pesawat dan mobil untuk bepergian dari dan ke Long Nawang. Bila pun harus melewati sungai, itu pun sudah menggunakan perahu bermesin. Umumnya, perahu ini digunakan oleh nelayan untuk mencari ikan hingga ke hilir sungai.

Dari segi keyakinan, masyarakat Long Nawang umumnya memeluk Kristen Protestan. Bila pun ada yang masih memeluk keyakinan lokal, umumnya mereka ini adalah orang tua yang sudah lanjut usia. Jumlah mereka pun sudah sangat sedikit sekali, bahkan di wilayah Apau Kayan sekali pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun