5. Pengalaman Praktis (Kasus Nyata)
Sebagai praktisi perpajakan, saya pernah mendampingi klien yang mengalami penagihan karena utang PPN atas jasa konstruksi. Klien merasa sudah membayar, tetapi ternyata terjadi kesalahan input oleh bendahara proyek sehingga tidak terlapor dalam SPT Masa. Akibatnya, muncul SKPKB dan STP yang menjadi dasar surat paksa.
Setelah menerima surat teguran dan paksa, klien panik dan mendekati saya. Saya menganalisis dokumen dan menemukan bahwa ada pembayaran yang tidak terkoneksi ke billing system. Setelah mengajukan permohonan klarifikasi dan melakukan pembayaran selisih yang tertunda, proses penyitaan berhasil dihentikan. Pengalaman ini menunjukkan pentingnya keterbukaan informasi, manajemen dokumen yang baik, serta pendekatan komunikasi antara wajib pajak dan fiskus.
Analisis Kritis dan Etika Penagihan
Dalam pelaksanaan penagihan utang pajak, penting untuk tidak hanya melihat sisi legal formal semata, tetapi juga meninjau dimensi moral dan etika yang menyertainya. Penagihan yang tidak disertai dengan prinsip kehati-hatian dan keadilan berpotensi menimbulkan keresahan sosial, penurunan kepercayaan publik, hingga resistensi wajib pajak terhadap sistem perpajakan itu sendiri. Oleh karena itu, analisis kritis terhadap praktik penagihan pajak sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa proses ini tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga etis secara sosial.
1. Minimnya Empati Fiskus
Salah satu kritik utama dalam praktik penagihan pajak di lapangan adalah rendahnya tingkat empati dari fiskus terhadap kondisi ekonomi riil wajib pajak. Dalam banyak kasus, tindakan penagihan dilakukan secara kaku, mekanistik, dan agresif tanpa adanya pendekatan dialogis atau analisis mendalam terhadap kemampuan finansial wajib pajak. Terlebih pasca pandemi COVID-19 atau saat terjadi guncangan ekonomi global, banyak pelaku usaha kecil dan menengah yang mengalami penurunan pendapatan signifikan dan berada pada titik kritis dalam mempertahankan kelangsungan usahanya. Jika penagihan dilakukan secara paksa dalam kondisi seperti itu, bukan hanya membebani wajib pajak secara psikologis dan finansial, tetapi juga dapat mematikan usaha yang sebenarnya masih potensial untuk pulih. Dalam konteks ini, absennya pendekatan humanis dari fiskus mencerminkan kekurangan dalam sistem manajemen pajak yang responsif terhadap realitas ekonomi masyarakat.
2. Kurangnya Transparansi dalam Prosedur
Kritik kedua yang sering muncul adalah kurangnya transparansi dalam prosedur penetapan dan penagihan utang pajak. Tidak sedikit wajib pajak yang mengaku menerima surat paksa atau pemberitahuan penagihan tanpa pemahaman yang cukup tentang dasar perhitungannya. Proses akumulasi bunga keterlambatan, pengenaan denda, hingga penghitungan pokok utang seringkali tidak disertai dengan penjelasan rinci yang mudah dipahami. Hal ini menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan terhadap integritas lembaga pajak. Ketika wajib pajak merasa "dihukum" atas dasar yang tidak sepenuhnya dipahami, maka resistensi terhadap kepatuhan akan semakin meningkat. Padahal, dalam prinsip administrasi publik yang baik, transparansi adalah salah satu pilar utama untuk menciptakan legitimasi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan kebijakan fiskal.
3. Penerapan Kekuasaan yang Berlebihan
Isu berikutnya adalah penerapan kewenangan otoritas pajak yang sering kali dinilai berlebihan. Praktik seperti penyitaan barang atau pelelangan aset wajib pajak sering dilakukan terlalu cepat---bahkan sebelum proses keberatan atau banding selesai diproses secara tuntas. Padahal, sistem perpajakan memberikan ruang legal bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan atas ketetapan pajak dalam jangka waktu tertentu. Ketika hak tersebut diabaikan dan tindakan eksekusi dipaksakan, maka hal ini melanggar asas due process of law dan mencederai prinsip proporsionalitas dalam hukum administrasi pajak. Akibatnya, banyak wajib pajak yang merasa diperlakukan tidak adil, bahkan terintimidasi oleh pendekatan koersif yang digunakan. Bila kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan tercipta iklim perpajakan yang menakutkan dan menjauhkan wajib pajak dari prinsip voluntary compliance yang diidamkan.