Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80, langit merah putih mulai berkibar di berbagai penjuru negeri. Namun, di balik gegap gempita perayaan kemerdekaan, ada sebuah ironi yang menggelayut di dunia pendidikan tinggi: ribuan dosen di Indonesia belum benar-benar "merdeka" dalam mengembangkan keilmuannya. Biaya pendidikan program doktoral (S3) yang tinggi dan proses seleksi beasiswa yang dinilai tidak transparan membuat sebagian besar dosen harus menunda mimpi akademiknya.
Di saat semangat bangsa menggaungkan "Indonesia Maju" dan Presiden Prabowo menempatkan penguatan kualitas sumber daya manusia dalam Asta Cita-nya, realitas di lapangan justru menunjukkan tantangan serius: dari sekitar 303.000 dosen, hanya 25% yang bergelar doktor. Artinya, tiga dari empat dosen di negeri ini masih tertahan di jenjang magister---bukan karena kurangnya niat, melainkan karena pintu menuju studi doktoral masih terhalang tembok tebal biaya dan kebijakan.
Data Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) yang dirilis Menteri Brian Yuliarto menyebutkan:
-
Dari 335.000 dosen, hanya 84.618 orang (sekitar 25%) yang bergelar doktor.
Sisanya, 75% masih bergelar magister, dengan keterbatasan riset dan jejaring akademik yang mempengaruhi mutu pendidikan tinggi secara nasional.
Kesenjangan ini berdampak sistemik: kualitas riset melambat, inovasi akademik terhambat, dan daya saing perguruan tinggi Indonesia di kancah global tertinggal. Perguruan tinggi di daerah semakin tertinggal dari kampus besar di kota-kota metropolitan.
PDDI 2025: Antara Harapan dan Kenyataan
Program Doktor untuk Dosen Indonesia (PDDI) yang diluncurkan tahun ini awalnya dianggap sebagai terobosan. Targetnya jelas: mempercepat lahirnya 5.000 doktor baru. Antusiasme membuncah---6.768 dosen mendaftar, 4.993 lolos seleksi administrasi.
Namun, di balik angka-angka itu, muncul suara kekecewaan. Banyak dosen yang telah menghabiskan waktu dan biaya mempersiapkan proposal, menghubungi promotor, bahkan membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) lebih dulu, akhirnya tersisih tanpa kejelasan alasan. Beberapa masalah yang teridentifikasi: