Mohon tunggu...
Yudaningsih
Yudaningsih Mohon Tunggu... Pemerhati Bidang Sosial Budaya, Pendidikan, Politik dan Keterbukaan Informasi Publik

Akademisi dan aktivis keterbukaan informasi publik. Tenaga Ahli Komisi Informasi (KI) Prov Jabar, mantan Komisioner KPU Kab Bandung dan KI Prov Jabar. Alumni IAIN Bandung dan S2 IKom Unpad ini juga seorang mediator bersertifikat, legal drafter dan penulis di media lokal dan nasional. Aktif di ICMI, Muhammadiyah, dan 'Aisyiyah Jabar. Aktifis Persma "Suaka" 1993-1999. Kini sedang menempuh S3 SAA Prodi Media dan Agama di UIN SGD Bandung. Menulis sebagai bentuk advokasi literasi kritis terhadap amnesia sosial, kontrol publik, dan komitmen terhadap transparansi, partisipasi publik, dan demokrasi yang substantif.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Ketika Keterbukaan Informasi Jadi Dagelan Digital

23 Juni 2025   09:30 Diperbarui: 23 Juni 2025   09:18 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hak Anda Untuk Tahu (Sumber: https://www.pa-unaaha.go.id/)

"Yang penting publik tahu!"
"Oh, tapi datanya jangan ya, itu sensitif."
"Lha terus? Bukannya udah dipublish kemarin di medsos?"
"Ooops, itu kan cuma buat laporan kinerja..."

Beginilah percakapan fiktif yang sayangnya seringkali terlalu dekat dengan kenyataan. Dalam era digital yang katanya serba transparan ini, justru kita melihat ironi: data publik jadi milik pribadi, data pribadi malah dipamerkan seperti brosur diskon akhir tahun.

Lucu? Tidak. Tragis? Sangat.

Mari kita buka babak kisah ini dengan satu pertanyaan: Apakah data publik masih publik, dan data pribadi benar-benar pribadi?

Ada pejabat yang marah saat ditanya soal anggaran, padahal itu data publik. Tapi di waktu yang sama, instansi yang sama justru mengunggah data pegawai, lengkap dengan NIK dan alamat rumahnya, di situs resmi. Ironi ini bukan hanya membingungkan, tapi juga membahayakan.

Publik pun dibuat linglung. Mana yang seharusnya bisa diakses? Mana yang seharusnya dilindungi? Dan kenapa pula ketika permohonan informasi diajukan secara resmi, jawabannya "tidak tahu", "belum tersedia", atau "datang saja minggu depan, kami rapat internal".

Dan ya, seperti yang ditulis oleh Kak Eko Adri Wahyudiono dalam komentarnya saat tayang artikel penulis Ketika Data Publik Tak Lagi Publik: Potensi Maladministrasi Hingga Korupsi Akan Selalu Mengintai Baca: https://www.kompasiana.com/yudaningsih/68529c72ed64157dce5adfe2/ketika-data-publik-tak-lagi-publik-potensi-maladministrasi-hingga-korupsi-akan-selalu-mengintai

"Luar biasa permohonan informasi publik dan banyak yang mangkir dalam sidang."

"Apa karena tidak adanya sanksi pidana kurungan ya, jadi dianggap remeh."

Tepat sekali. Sebab tanpa gigi hukum, keterbukaan hanya jadi jargon yang loyo. Tanpa sanksi, keengganan berubah jadi kebiasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun