Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Uuk Paramahita dan Seni Rupa Kontemplasi

31 Mei 2016   14:46 Diperbarui: 31 Mei 2016   14:48 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
UUK PARAMAHITA, Kontemplasi, 2010, 140 x 140 cm, mixed media on canvas

ADA banyak tentara, arteleri medan berat, keadaraan tempur anti ranjau, kapal laut, dan kapal selam. Semua pada posisi siap tempur, begitulah kira-kira sepintas melihat satu focus pada karya yang berukuran 140 x 140 Cm, mixed media on canvas, Uuk Paramahita. Ada adegan ketegangan yang diperankan serta dilukiskan secara naif oleh perupanya. Karya itu berjudul “Kontemplasi”.

Senja sandikala, saya mencoba berkunjung ke studio Uuk Paramahita (38) seniman muda yang mulai menapakkan namanya dalam peta seni rupa Indonesia. Studio dua lantai terletak di samping Puri Satria Denpasar. Di studio inilah Uuk bekerja, melakukan rutinitasnya dalam laku rupa. Lampu studio yang sudah dinyalakan sebelum saya datang, ternyata menunggu saya untuk memasuki dan melihat karya-karyanya.

Layaknya pembukaan pameran senirupa, saya diajak si perupanya untuk menyaksikan karya-karya yang digantung lebih dekat dengan mata. Jajaran karya di studio Uuk Paramahita sangat jelas mewakili idealisme dari sang perupa. “ Mari mas kita bincang di lantai atas”, sautya.

Petang dengan gerimis sisa hujan yang mengguyur seharian kota Denpasar, mengantarkan suasana sejuk menaiki tangga lantai dua. Satu demi satu karya Uuk mulai mengajak mata saya berbicara. Figure-figur naif, orang-orang kecil dengan segala aktivitasnya seolah mewakili sosialita sebuah tempat dan masa dimana ia berada. Ada rumah-rumah, kebun, sawah, sungai, lautan, kota dan gunung-gunung. Lansekap sebuah gambaran sosial manusia yang lengkap, secara runut diterjemahkan dengan penuh perhitungan. Seni memang tidak bisa dilepaskan dari realita sosial, baik pada kerangka masa lalu, kini dan akan datang. Hal inilah yang membuat saya pertama kali masuk dalam membaca karya Uuk Paramahita.

Setelah mengelilingi dinding lantai dua tiba-tiba mata saya tertuju pada lukisan yang dipajang tepat di dinding utara, lukisan itu memisahkan dinding timur dan barat. Kutunjukkan jariku pada karya itu, dan Uuk menjawab itu karya berjudul “Kontemplasi”. Lebih lenjut Uuk menjelaskan karya itu pernah ia hadirkan di Beijing Bienale 2012 yang lalu. Sebuah keputusan cepat dan menarik untuk kupilih sebagai karya yang akan saya baca.

MEMPERTANYAKAN KONTEMPLASI


Kontemplasi pada apa dan untuk apa, sebuah pertanyaan mendasar yang saya tanyakan kepada Uuk begitu memulai pembicaraan. Kontemplasi adalah perenungan, Uuk memulai pembicaraan. Ketika dunia sudah menghambakan materi menjadi Tuhan maka disana tidak akan terjadi kedamaian. Perang dimana-mana memperebutkan pundi-pundi kekayaan suatu bangsa. Minyak jadi rebutan, ideology jadi persaingan, agamapun jadi kendaraan yang menghancurkan ketentraman. Minyak, emas, uang dan aneka hasil tambang menjadi incaran kejahatan kemanusiaan. Rasanya mulai padang cara memandangku saat ini kenapa para tentara siap pada posisi berperang di karya Uuk.

Uuk melanjutkan pembicaraannya. Lihatlah kemajuan teknologi dengan Hi-Technya apakah berpihak pada kemanusiaan, semua justru telah diarahkan menjadi senjata pamungkas baik secara cepat maupun pelan-pelan untuk melawan kedamaian, ketentraman dan kemanusiaan. Kembali saya mengamini dan jelas terlihat dalam gugusan peralatan canggih yang dikelola secara naif oleh Uuk dalam karyanya.

Tapi semua itu bisa diredam bila setiap orang mampu merenung, berkontemplasi untuk mencari jalan damai, berdamai dengan dirinya untuk menciptakan kehidupan yang baik dan seimbang. Teknologi boleh maju tapi kalau digunakan bagi kepentingan kemanusiaan tanpa menghancurkan kenapa tidak, Uuk menambahkan. Saya tidak mau menanyakan apakah ini ada hubungannya dengan satu figure tunggal yang lebih besar dari figure-figure yang ada, yaitu terlihat sunyi dan sangat meditative. Inikah kontemplasinya?. Uuk melanjutkan penjelasan dari karyanya, saya menampilkan sebuah pesan kesimbangan hidup utuk lebih baik, tidak lebih dari itu.

Mulai hangat rasanya perbincangan kami berdua, dan tiba pada pertanyaan saya, kenapa anda mengkritisi dunia bukan bangsa atau pulau tempat anda sendiri berada. Uuk menjawab, sebetulnya sudah ada dalam periode karya-karya saya, cuman harus melihat kembali untuk dibaca, seperti karya itu (Uuk menjelaskan satu karya di didinding yang berlawanan arah dari karya Kontemplasi). Karya itu menjelaskan bagaimana evolusi tergerusnya kebudayaan Bali.

Langsung saya alihkan kembali pembicaraan ke karya Kontemplasi, dan ternyata Uuk memang mengkritisi sosialita dimana saja. Maka pahamlah sekarang bahwa Uuk membawa karya Kontemplasi ke Beijing Bienalle 2012 mewakili pembicaraan dunia gobal sesuai dengan tema yang diusung Bienalle itu yaitu Future and Reality.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun