Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest Kompasiana Awards 2022 - People Choice Kompasiana Awards 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pendidikan: Seni Menyeimbangkan Akademis dan Karakter

19 Mei 2024   17:29 Diperbarui: 21 Mei 2024   17:56 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi artikel melalui Kompas.com (Dok: Pintek via kompas.com)

Seorang kawan guru pendidikan dasar berkisah mengenai siswanya yang berada di jenjang kelas satu. Beliau mengatakan tidak mudah mengarahkan siswa-siswi di jenjang tersebut saat ini. Banyak kasus-kasus yang tak biasa terjadi, seperti perkelahian antar siswa (bukan hanya siswa dengan siswa, tetapi siswa dengan siswi di kelas tersebut).

"Soalnya dia menjatuhkan mejaku," seorang anak siswi berusaha menjelaskan duduk perkara yang terjadi dengan temannya, kemudian yang seorang lagi, siswa berinisial L berusaha menjelaskan mengapa dia menjatuhkan meja kawannya tersebut.

"Ya, soalnya dia gak mau ngerjain tugas, malah mainan, jadi aku jengkel, dan kujatuhkan mejanya."

Seorang siswa kelas satu sudah bisa memberikan respon kemarahan yang sedemikian rupa pada kawannya dengan level emosi demikian. Mungkin kita yang dewasa berpikir, kenapa harus dengan menjatuhkan meja? Ada apakah ini?

Banyak diskusi antara saya dengan kawan tersebut mengenai fenomena ini. Kami (saya dan kawan guru tersebut) mengasumsikan alasan-alasan yang bisa terjadi di balik hal tersebut. 

Yang pertama, mungkin saja mereka mengalami pengabaian dari orangtua yang sibuk bekerja, kemudian yang kedua, mereka yang tidak mengalami sekolah pra SD dengan 'normal' sehingga mereka melewatkan 'latihan-latihan menghadapi masalah dengan kawan dengan tidak semestinya, lalu yang ketiga kehidupan mereka yang sangat lekat dengan gadget, sehingga ada perilaku-perilaku yang dicontoh.


Asumsi yang selanjutnya, kesibukan wali kelas terkait pelatihan-pelatihan program guru penggerak yang (maaf) seringkali HARUS lebih memrioritaskan rentetan aktivitas program guru penggerak. Dan yang terakhir, ada adegan-adegan kekerasan yang biasa mereka lihat dalam keluarga.

Seorang individu memiliki tiga komponen dalam dirinya, kognisi, yaitu pikiran, kemudian konasi, yaitu perilaku, dan yang terakhir adalah afeksi, yaitu perasaan. Anak-anak pun memiliki tiga komponen tersebut. Ketiganya ada di dalam diri anak-anak. Sosialisasi diperlukan untuk kemudian bisa melatih ketiganya untuk beradaptasi dengan lingkungan.

Sedini mungkin anak-anak dikenalkan dengan dunia di luar keluarga kemungkinan anak-anak melakukan penyesuaian pun menjadi besar. Pertukaran nilai-nilai dalam keluarga dengan lingkungan bisa terjadi, termasuk mekanisme merespon terhadap perilaku individu lain.

Betapa besar tantangan guru dalam dunia pendidikan kini. Guru bukan hanya mengajar tetapi juga mendidik. Guru mengajar aksara, berhitung, tetapi guru pun mendidik bagaimana siswa satu dengan yang lain bisa saling menghargai. Guru pun diharapkan bisa mendidik anak-anak yang berasal dari beragam latar belakang keluarga yang juga beragam sifat dan karakter, dan ini bukan hal mudah.

Mungkin kita bisa belajar dari simbah Google mengenai beragam pengetahuan, tetapi lebih dari itu kita harus mengalami dan belajar dari pengalaman diri dan orang lain yang kemudian menjadi sebuah pembelajaran hidup bagi diri. Pembelajaran semacam ini berlangsung sepanjang hayat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun