Di dunia yang semakin terobsesi dengan data, kebocoran informasi seharusnya menjadi musuh utama. Setiap perusahaan menyatakan diri “peduli pada privasi”, “berkomitmen menjaga keamanan”, dan “telah menerapkan IT Governance sesuai standar internasional.” Tapi realitasnya? Data tetap bocor. Informasi pribadi tetap dijual. Dan pelanggan, sekali lagi, menjadi korban sistem yang katanya “terlindungi.”
Pertanyaannya sederhana tapi tajam: Jika IT Governance memang sehebat itu, mengapa data masih terus bocor?
Sertifikasi Tak Sama dengan Keamanan
Kebanyakan perusahaan hari ini berlomba-lomba mendapatkan ISO 27001, menjalankan COBIT, atau mengklaim telah mengimplementasikan prinsip-prinsip ITIL. Mereka mengadakan audit tahunan, menyusun dokumen ketat, dan menunjuk Chief Information Security Officer sebagai simbol kontrol. Tapi semua itu bisa jadi hanya kosmetik.
Audit bisa diloloskan dengan persiapan setahun sekali. Dokumen bisa dibuat rapi tapi tidak dijalankan. Framework bisa dipilih karena “tampak keren”, bukan karena benar-benar cocok. Yang penting: bisa dilaporkan ke manajemen bahwa “kita sudah comply.” Padahal, compliance tanpa keberanian bertindak hanyalah pertunjukan.
Sementara itu, sistem tetap longgar. Password masih disimpan di Excel. Enkripsi masih belum aktif. Dan karyawan masih membuka file mencurigakan karena tidak pernah dilatih. Tapi semua itu tidak masuk laporan audit, jadi dianggap tidak penting.
IT Governance Terjebak Formalitas dan Birokrasi
Framework seperti COBIT memang dibuat untuk menciptakan kontrol dan akuntabilitas. Tapi dalam praktiknya, IT Governance sering kali menjelma menjadi labirin prosedur. Setiap kebijakan harus disahkan, setiap perubahan harus melalui lima lapis persetujuan, dan setiap insiden harus dilaporkan melalui jalur resmi yang kaku.
Masalahnya, serangan siber tidak menunggu persetujuan. Kebocoran data tidak menunggu notulen rapat. Dalam lingkungan seperti ini, prosedur yang terlalu panjang justru memperlambat respons. Bukannya melindungi data, governance malah membuat organisasi lumpuh dalam menghadapi ancaman.
Lebih buruk lagi, karena terlalu fokus pada struktur dan dokumentasi, banyak perusahaan tidak menyadari bahwa mereka tidak memiliki resilience. Saat sistem diretas, tidak ada rencana komunikasi krisis, tidak ada backup yang diperbarui, dan tidak ada kepemimpinan yang tahu harus bertindak seperti apa.
Budaya Takut vs Budaya Tanggap
IT Governance yang sehat seharusnya mendorong budaya responsif. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: budaya takut. Staf TI takut disalahkan jika melaporkan celah. Manajer takut mengakui kelemahan karena khawatir karier terganggu. Akibatnya? Banyak potensi kebocoran dibiarkan membusuk di dalam sistem tanpa ada yang berani bicara.
Bahkan ketika pelanggaran nyata terjadi, respons organisasi cenderung reaktif dan tertutup. Pelanggan tidak diberi informasi jelas. Regulator diberi laporan yang dimanipulasi. Dan media dicegah memberitakan.