Mohon tunggu...
Yoyo Setiawan
Yoyo Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Melengkapi hidup dengan membaca dan menulis; membaca untuk menghayati betapa ruginya hidup tanpa ilmu, menulis untuk meninggalkan jejak bahwa kehidupan ini begitu berwarna.

Tenaga pendidik dunia difabel yang sunyi di pedalaman kabupaten Malang. Tempat bersahaja masih di tengah kemewahan wilayah lain. Tengok penulis kala sibuk dengan anak istimewa, selanjutnya kamu bisa menikmati pantai Ngliyep nan memesona! Temani penulis di IG: @yoyo_setiawan_79

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Jam Dinding Masjid, Mati"

20 November 2021   17:00 Diperbarui: 20 November 2021   17:01 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen Yoyo Goyol (@yoyo_setiawan_79)

Jalanan yang terasa sangat panas di bulan Agustus. Ditambah kondisi jalan yang berlubang di sana-sini, membuat Budi cepat lelah menempuh perjalanan pulang dari tugas mengajar. Terlebih sayup terdengar azan Duhur dari sebuah masjid.

Berhenti dulu, mampir salat Duhur di masjid sini saja, pikirnya. Toh, sayang mengerjakan salat sendiri di rumah, mumpung masih baru azan, banyak waktu buat istirahat sebentar sebelum dimulai salat berjamaah.

Setelah melibas tikungan dengan lubang jalan yang menganga, Budi menyalakan lampu sign belok kiri, pelankan kendaraan dan berhenti di parkiran masjid.

Masih terlihat sepi, padahal masjid lain tadi sudah mengumandangkan azan. Apa di sini belum ada yang azan? Niat duduk sebentar buat istirahat diurungkan, tergerak hatinya untuk masuk, melihat ada tidaknya muadzin.

Bergegas Budi melepas helm, tas dari punggungnya, melepas jaket dan melepaskan sepatunya. Ia ganti sepatu dengan sandal bakiyak, sandal inventaris masjid.

Ia tersenyum, ada ide terlintas, Budi berkeinginan untuk membelikan sandal yang sama untuk masjid di perumahan tempat tinggalnya. Boleh jadi, angka kehilangan sandal di masjid turun!

Klutak...klutak...klutak, ada irama tersendiri dari benturan sandal yang terbuat dari kayu itu dengan lantai. Pasti awet sandal ini, kecuali ada yang mencuri.

Budi kaget melihat ada seorang tua keluar dari dalam masjid dengan tergopoh. Ia terlihat kebingungan.

"Dek, dek, maaf ini sudah jam berapa, jam di dalam mati!", kata pak Tua terburu-buru.

Aku kaget dan penasaran, ini orang bingung ya? Kok nanya jam berapa? Berarti belum azan masjid ini?

Budi cepat mengambil telepon genggamnya dari kantong baju, diaktifkan, terlihat jam digital menunjukkan pukul 11:35. Berarti waktu salat Duhur sudah masuk 5 menit yang lalu.

"Ini pak, di jam saya sekarang pukul 11:35 berarti sudah masuk waktu Duhur 5 menit yang lalu, pak!" jawab Budi.

"Oh, sudah masuk waktu Duhur ya? Aku mau azan takut belum masuk waktu, bingung dek. Lihat jam dinding di atas tempat imam!", pak tua menunjuk jam yang dimaksud dengan telunjuk tangan kanan.

Tapi Budi justru tertarik dengan jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. Ia tersenyum, ini orang bingung apa linglung?

"Maaf, pak. Boleh berkenalan, bapak namanya siapa?", Budi menyalami dia sembari meminta berkenalan. Yang diajak bersalaman meraih tangan Budi erat, hangat, tersenyum.

"Aku, Tar, lengkapnya Tarmuji", jawabnya ramah. Kembali setelah momen berkenalan, pak Tarmuji tampak bingung.

"Lah, pak Tarmuji itu pakai jam tangan? Apa juga beda jamnya?", tanyaku menggoda. Orangnya hanya tertawa kecil dan tersenyum dengan gigi hitamnya.

"Ehm, takut salah kalau hanya lihat jam tangan. Ini waktunya sekarang jam 11:45!", jawab pak Tar ragu.

"Jadi, patokannya jam dinding di depan itu, pak?", selidikku. Ia mengangguk, tapi dari air mukanya terlihat seperti orang bingung!

Tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke masjid, berbaju Koko putih, bersorban, tangan kanan menenteng untaian biji tasbih. Sepertinya ia imam masjid, pikirku.

"Assalamu'alaikum pak Tar. Ini masjid belum azan pak?", tanya beliau sambil menyodorkan tangan kanan mengajak bersalaman ke pak Tar dan Budi.

"Iya pak, ini pak Tar sedang bingung, jam patokan azannya rusak, itu baru pukul 09:30!", jawab Budi membantu pak Tarmuji yang masih bingung.

"Oh, baterai jamnya sudah habis barangkali? Ya sudah, nanti setelah salat kita cek jam dindingnya. Pak Tar, ayo azan sekarang!", kata pak imam. Budi belum tahu namanya.

"Ya, pak", jawab pak Tar singkat. Tanpa banyak bertanya, ia menghampiri mikropon, mengaktifkan dan melantunkan azan. Sedikit terlambat, tapi masih lebih baik daripada tidak ada azan sama sekali!

Allahuakbar... Allahuakbar! Suara pak Tar terdengar serak, parau. Aduhai, di manakah para anak muda yang semestinya aktif memakmurkan masjid, semestinya terlantun nada merdu generasi muda yang bertaqwa!

Selesai azan, muadzin tua ini, tak lupa segera menunaikan salat sunnah qabliyah Duhur. Salut Budi melihat pak Tar setua itu masih semangat beribadah! Kalau seumuran Budi atau pak imam, sudah hal biasa.

Selepas salat, pak imam menghampiri pak Tar, duduk di sebelahnya.

"Pak Tar, nanti selesai salat Duhur, tolong belikan baterai jam, ya?", kata pak Imam meminta. Yang diajak bicara hanya mengangguk dan tersenyum. Lagi-lagi, Budi penasaran belum berkenalan dengan pak imam ini.

"Maaf, pak kyai, saya belum berkenalan dengan bapak?", kata Budi mendekat ke orang yang berjanggut lebat itu, tangan kanan ia sodorkan untuk menjabat tangan pak kyai.

"Ya lupa, kenalkan saya, pak Sukri", jawab pak kyai. Yang diajak berjabat tangan meraih tangan kanan Budi erat dan tersenyum.

"Kenalkan saya, Budi Santoso!", jawab Budi tak kalah semangat.

"Nanti mas Budi tolong pak Tar diantar ke toko kelontong, saya minta dibelikan baterai jam", kata pak Sukri meminta Budi .

"Ya, dengan senang hati, pak kyai!", jawabku spontan.

"Ayo pak Tar, iqamah dulu, kita salat Dhuhur sekarang!", pinta pak kyai.

Pak Tar bangkit dari duduknya, diraihnya kembali mikropon, ia lantunkan iqamah dengan suara beratnya.

Sebenarnya di kanan-kiri masjid, banyak rumah berderet. Selayaknya orang-orang ramai hadir salat berjamaah memakmurkan masjid. Tapi tidak kali ini, salat berjamaah hanya dengan tiga orang saja!

Empat rakaat telah ditunaikan, selebihnya bermunajat dengan hikmat, melangitkan harap hanya kepada Yang Maha Memberi.

Budi sempurnakan salat lima waktu ini dengan salat ba'diah Duhur. Sementara menunggu pak kyai dan pak Tar selesai, ia bersiap mengantar membeli baterai. Budi keluar dari masjid, memakai sandal bakiyak yang tadi ia pakai buat wudu.

Budi segera mempersiapkan sepeda motornya, menunggu pak Tar di atas jok sepeda. Terlihat pak tua yang setia dengan masjid ini, keluar dari masjid. Tahu bahwa dirinya ditunggu, bergegas ia menghampiri Budi.

"Ayo dek, cepat beli biar cepat diganti. Ntar azan Asar aku nggak bingung lagi!", kata pak Tar sambil senyum, terlihat gigi taring kanan-kiri ompong.

"Ayo dong pak, naik, hati-hati!", aku perhatikan pak Tar agak kesusahan mengangkat kaki kanannya untuk mengangkangi jok belakang, tempat duduknya.

Setelah Budi melihat pak Tar sudah duduk sempurna, ia tarik gas sepeda motor matiknya perlahan, jalan pelan. Pak Tar menunjukkan ke toko mana ia harus beli.

Cukup dua menit, Budi telah sampai di toko yang dimaksud. Hanya baterai jam dinding yang dibeli? Ya, walau sepele kadang terlupakan. Kata pak Tar, biasanya masjid punya stok barang kecil ini di lemari peralatan, entah mengapa hari ini dicek tidak ada!

Setelah barang yang dicari dibayar lunas, segera Budi meluncur kembali ke masjid.

"Dek Budi, terimakasih ya telah membantu kami mengurus jam dinding masjid!", kata pak Tar terharu sesaat sebelum turun dari sepeda.

"Sama-sama pak, kebetulan saja saya sedang di sini, jadi sekalian saya bantu, semoga bermanfaat ya pak? Ada yang bisa dibantu lagi? Yang biasa pasang baterai jam siapa?", tanyaku penasaran.

"Saya dek, cuma tinggal tarik mimbar yang ada di tempat imam ke depan sedikit, terus naik di atasnya, selesai deh!", pak Tar mantap menjelaskan.

"Hati-hati pak, atau saya saja yang naik, saya bantu pasang baterainya sekarang?", Budi menawarkan diri.

"Ah, jangan dek. Adik badannya besar, takut mimbarnya ga kuat, jebol!", kata pak Tar sambil tersenyum. Aku tertawa mendengarnya, ternyata obrolan singkat dengan pak tua ini bisa mengalir juga.

"Ya sudah, saya bantu geser dan pegang dari bawah mimbarnya, pak", kata Budi mengalah.

Akhirnya deal, pak Tar naik bagian ambil jam dinding, lepas baterai lama, ganti dengan baterai yang baru dan pasang kembali jam dinding. Masalah menepatkan waktunya, Budi membimbing pak Tar dari bawah, sembari kedua tangannya memegangi mimbar.

Alhamdulillah, selesai juga mengganti baterai jam dindingnya! Giliran pak Tar turun. Entah kenapa kaki pak Tar tiba-tiba terjerumus ke dalam mimbar, krek... gubrak!

Rupanya kaki muadzin itu tidak sengaja menginjak permukaan mimbar yang sudah lapuk, badan sampai kakinya terjepit di tengah mimbar, kaki mimbar patah. Kejadian begitu cepat, Budi tidak bisa berbuat apa-apa, hanya detik saat wajah pak Tar membentur tembok. Duk! Terasa bergetar tembok di depannya.

"Masyaallah pak, bangun pelan-pelan saja, ada yang terasa sakit di mana?", tanya Budi, ikut gemetaran.

Pak Tar meringis kesakitan, terlihat darah keluar dari sela-sela bibirnya, aduhai apa gerangan yang terjadi? Ia membuka mulutnya, dua gigi depan ternyata patah!

"Nggak apa-apa, dek. Tapi kaki kanan kok sakit, perih!", kata pak Tar. Aku tengok ke bawah, masyaallah, dari lutut hingga atas mata kaki kulitnya sobek, darah mulai menetes...!

"Masyaallah pak, tolong...!", teriak Budi kaget, kasihan atas kecelakaan ini. Cepat Budi papah tubuh orang tua gemuk ini, berat juga pikirnya.

Pak kyai ikut membantu, membawanya keluar masjid dan meminta Budi mengantar langsung ke klinik Bu Bidan Desa yang tak jauh dari lokasi. Jadilah mereka bonceng bertiga, diantar untuk mendapatkan pertolongan pertama.

Alhamdulillah, siang itu juga Bu Bidan telah pulang dari rapat, jadi di tempat lebih awal, takdir Allah! Luka di mulut cukup dibersihkan kumur air. Dan luka kakinya, harus dijahit agar lekas sembuh.

"Nak Budi, saya mewakili pak Tar mengucapkan terimakasih atas bantuannya, coba tidak ada nak Budi, jadi apa ini?", kata pak Sukri setelah pengobatan selesai. Budi tersenyum.

"Sama-sama pak kyai, semua telah ditetapkan Allah, qadarullah. Semoga pak Tar lekas sembuh ya, masjid siapa yang azan kalau bapak lama istirahat tidak ke masjid?", kata Budi.

"Ya, mudah-mudahan Allah menggerakkan hati pemuda di sini, masa kalah sama pak tua ini. Seharusnya masjid di pinggir jalan raya ramai dimakmurkan remaja masjid!", kata pak kyai lirih.

Pak kyai mengangguk-anggukkan kepala, entah apa yang ada dipikirannya. Semoga akan ada, muadzin-muadzin baru, pemuda yang cinta masjid. Pemuda yang dicintai surga!

(Selesai)

______________________________________

Pagak-Malang, 03-10-2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun