Mohon tunggu...
Yoyo
Yoyo Mohon Tunggu... Buruh - Lorem ipsum dan lain-lain seperti seharusnya

Tour leader. Pengamat buku, kutu buku, penggila buku dan segala hal yang berbau buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sedikit tentang Hari Waisak

11 Mei 2017   10:45 Diperbarui: 11 Mei 2017   11:28 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 “Besok kamu mau ke mana, Yo?” tanya Fuad yang sedang berkunjung ke rumah kami.

“Ke Vihara . Besok adalah Hari Raya Waisak.”

“Oh iya, betul. Selamat Hari Raya Waisak ya, Yo,” kata Fuad sambil menjulurkan tangan mengajak salaman.

Saya menyambut tangannya tapi di luar dugaan Fuad menarik lalu mencium kedua pipi saya. Sebetulnya malu rasanya dicium seperti itu, soalnya kami belum berpacaran tapi saya tidak protes apa-apa. Dan Fuad juga terlihat biasa saja. Gayanya seakan itu adalah kegiatan yang sangat biasa terjadi di antara kami.

Dari lubuk hati yang paling dalam, saya yakin bahwa Fuad suka sama saya dan tinggal nunggu waktu saja untuk menyatakannya.

Kami belum lama berkenalan tapi mungkin karena umur kami sebaya sehingga apapun yang kami bicarakan langsung nyambung. Ketika dua sungai kecil bertemu di satu titik, sungai itu menjadi membesar dan mengalir lebih deras dari sebelumnya. Begitulah percakapan kami yang terus mengalir tanpa berhenti.

Fuad adalah pembicara yang sangat menyenangkan. Secara keseluruhan, dia adalah pribadi yang sangat menarik. Orangnya lucu, kulitnya putih kebule-bulean, belakangan saya baru mengetahui bahwa ayahnya Fuad adalah orang Amerika dan ibunya orang Padang Rambutnya berwarna coklat muda, ikal gondrong dan diikat gaya ekor kuda. Hobinya musik terutama bermain piano dan biola. Dan agamanya Islam. Hmmm… Fuad Islam dan saya Budha.

“Sebetulnya Waisak itu hari raya apa sih, Yo?” tanya Fuad lagi.

“Waisak adalah hari suci buat Umat Budha. Di hari itu, kami memperingati 3 peristiwa penting sekaligus.”

“Peristiwa apa aja tuh, Yo?” tanya Fuad lagi.

 “Pertama lahirnya Sang Budha. Kedua, mengenang saat Sang Budha mendapat pencerahan sempurna. Dan ketiga, wafatnya Sang Budha,” jawab saya.

“Oh, begitu.  Kenapa kamu nggak pergi ke klenteng? Klenteng itu juga untuk Umat Budha, kan?”

“Iya betul.”

“Lalu apa bedanya klenteng dan vihara?” Dari nada suaranya, Fuad terdengar serius.

“Vihara adalah tempat peribadatan Umat Budha yang arsitekturnya bergaya India. Kalau masuk ke dalam vihara, kamu hanya akan menemukan patung Sang Budha. Kalaupun ada patung lain, itu biasanya patung dua muridnya yang mengapit di kiri dan kanannya.”

“Kalau klenteng?”

“Klenteng mempunyai arsitektur Tiongkok dan biasanya dicat warna-warni dengan dominasi warna merah yang mencolok. Klenteng tidak hanya menjadi tempat peribadatan tapi juga tempat orang-orang Cina menjaga dan memelihara budayanya.”

“Oh, begitu. Tapi tempat peribadatannya sama?”

“Beda sedikit.”

“Apa bedanya?”

“Di dalam klenteng, kamu akan menemukan beberapa patung. Ada patung Budha, Kong Hu Chu, Kwan Im, patung Lao Tse dari aliran Taois dan masih banyak lagi. Jadi Klenteng dibangun untuk Kaum Cina Perantauan supaya semua aliran agama Budha bisa beribadat di sana.”

“Oh, I see,” kata Fuad mengangguk-angguk lalu bertanya lagi, “ Kata ‘Sang Budha” itu sendiri artinya Tuhan, ya?”

“Bukan! Kata ‘Budha’ maknanya adalah seseorang yang telah sadar.”

“Sadar? Maksudnya insyaf karena sebelumnya telah melakukan perbuatan buruk?”

“Hihihi…bukan! Sadar yang dimaksud adalah dalam konteks seseorang telah mencapai pencerahan sempurna. Karena telah mengerti segala makna hidup maka dia berhak menjadi guru sekaligus berkewajiban untuk membagi pencerahan yang diperolehnya pada orang lain. Itu sebabnya banyak aliran Budha yang tumbuh sesuai dengan ajaran guru yang masing-masing mereka percayai.”

“Wah! Jangan-jangan di dalam klenteng, saya bisa ngeliat patung Judge Bao dong, ya? Hahahahahaha….” Fuad tertawa terbahak-bahak.

Saya sendiri sama sekali tidak tertawa sementara Fuad masih terkekeh-kekeh panjang. Buat dia hal itu suatu hal yang sangat lucu karena referensi dia tentang Judge Bao hanya diperoleh dari film di televisi.

“Judge Bao memang salah satu guru yang dihormati Umat Budha,” kata saya dengan suara dingin.

“Oups…maaf Yo. Saya nggak tau. Maaf ya?”

“Dan di beberapa klenteng tertentu, kamu memang bisa menemukan patung Judge Bao.”

“Sekali lagi, maaf, Yo.” Fuad terus mengulang maafnya.

“Tapi penampilannya tentu saja tidak sama dengan yang kamu lihat di televisi.”

“Sorry, Yo. It’s not a good joke. I am so stupid.”

Melihat dia salah tingkah seperti itu, saya jadi kasihan padanya. Dan entah karena apa, saya merangkul leher Fuad dan mencium pipinya, “It’s okay. Saya nggak marah kok.”

“Thanks, Yo. Besok saya anter kamu ke vihara, ya?”

“Kamu kan islam masa pergi ke vihara?” tanya saya heran dengan ajakannya.

“Memang saya islam, lantas kenapa kalo saya pergi ke vihara sama kamu?

“Emang kamu nggak takut dibilang munafik atau dibilang kafir sama orang lain?”

“Stop! Kita nggak usah bahas itu. Cuma Tuhan yang berhak memunafikkan dan mengkafirkan manusia. Okay besok kamu saya jemput. Kita ke vihara bareng-bareng.”

“Thanks, Fuad.” kata saya tersenyum.

“Selamat Hari Raya Waisak, Yoyo.” kata Fuad juga sambil tersenyum manis sekali.

Selamat Hari Raya Waisak juga buat seluruh teman-teman yang merayakan. Budha bless you.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun