Pengantar
Â
Kang Juhi, pedagang gorengan. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran Jakarta. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan.
Namanya juga dongeng.Â
*
Kang Juhi dan Kemerdekaan yang Gosong di WajanÂ
Oleh: Yoss Prabu
Kang Juhi sedang menatap wajan penuh minyak yang mendidih, sambil menimbang apakah tempe goreng itu sudah kuning keemasan atau sekadar kuning ketipu lampu bohlam 10 watt, yang menggantung murung di gerobak kesayangannnya. Hidup, pikirnya, mirip gorengan. Kadang kriuk di luar, tapi dalamnya masih setengah matang. Kadang hangus di luar, dan dalamnya kosong.
"Begitulah bangsa ini," gumamnya sambil meniup asap rokok murahan. "Meriah di upacara, tapi belepotan di keseharian. Merdeka katanya, tapi cicilan tetap mencekik leher."
Kontrakan Kang Juhi terletak di pinggiran Jakarta, tapi pikirannya bisa ke mana-mana. Ke Monas yang sombong menjulang, ke desa-desa yang listriknya sering putus. Bahkan ke langit, ke tempat para pahlawan, yang barangkali sedang nonton kita dengan tawa getir.
Ia ingat masa kecilnya. Setiap 17 Agustus, ia lomba makan kerupuk. Dulu, kerupuk itu putih, renyah, murah. Kini, kerupuk sudah jadi cemilan nostalgia, sementara orang-orang lebih sibuk lomba siapa paling cepat bayar tagihan listrik lewat aplikasi. "Dulu merdeka berarti bebas dari penjajah," pikir Kang Juhi, "sekarang merdeka berarti punya kuota internet."