Mohon tunggu...
Yoss Prabu
Yoss Prabu Mohon Tunggu... Novelis

Bukan siapa-siapa. Hanya seseorang yang hobby menulis tapi tak pernah dipublikasikan. Aktivis teater, tapi jarang-jarang kumpul dengan insan teater. Agak aneh, memang. Ya, begitu. Biarkan saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kang Juhi dan Kemerdekaan yang Gosong di Wajan

17 Agustus 2025   17:48 Diperbarui: 17 Agustus 2025   19:14 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar

 

Kang Juhi, pedagang gorengan. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran Jakarta. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan.

Namanya juga dongeng. 

*

Kang Juhi dan Kemerdekaan yang Gosong di Wajan 

Oleh: Yoss Prabu

Kang Juhi sedang menatap wajan penuh minyak yang mendidih, sambil menimbang apakah tempe goreng itu sudah kuning keemasan atau sekadar kuning ketipu lampu bohlam 10 watt, yang menggantung murung di gerobak kesayangannnya. Hidup, pikirnya, mirip gorengan. Kadang kriuk di luar, tapi dalamnya masih setengah matang. Kadang hangus di luar, dan dalamnya kosong.

"Begitulah bangsa ini," gumamnya sambil meniup asap rokok murahan. "Meriah di upacara, tapi belepotan di keseharian. Merdeka katanya, tapi cicilan tetap mencekik leher."

Kontrakan Kang Juhi terletak di pinggiran Jakarta, tapi pikirannya bisa ke mana-mana. Ke Monas yang sombong menjulang, ke desa-desa yang listriknya sering putus. Bahkan ke langit, ke tempat para pahlawan, yang barangkali sedang nonton kita dengan tawa getir.

Ia ingat masa kecilnya. Setiap 17 Agustus, ia lomba makan kerupuk. Dulu, kerupuk itu putih, renyah, murah. Kini, kerupuk sudah jadi cemilan nostalgia, sementara orang-orang lebih sibuk lomba siapa paling cepat bayar tagihan listrik lewat aplikasi. "Dulu merdeka berarti bebas dari penjajah," pikir Kang Juhi, "sekarang merdeka berarti punya kuota internet."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun