Di era kekinian, kesehatan mental menjadi satu hal yang cukup banyak disorot dan dibahas. Banyak juga seruan untuk berempati dan bereaksi pada penderita maupun penyintas.
Pada batas tertentu, empati dan reaksi adalah satu paket tindakan yang bisa menolong. Tapi, ketika batas itu terlewati, empati dan reaksi akan menghadirkan sebuah paradoks.
Hal ini saya jumpai dalam beberapa waktu terakhir, dalam lingkungan pertemanan. Di sini, saya menjumpai paradoks empati pada penderita depresi.
Situasi ini sebenarnya sudah saya hadapi cukup lama, dan kadang berkaitan juga dengan "reaksi trauma" lama saya, sebagai penyintas korban "bullying" di masa lalu, yang butuh waktu lama, bahkan untuk sebatas berani bercerita soal memori buruk itu. Di sini, saya merasa perlu menuangkan ke dalam tulisan, siapa tahu bisa menjadi pembelajaran bersama.
Pengalaman ini awalnya datang dari seorang teman lama. Kami kenal sejak masa remaja, dan baru 3-4 tahun belakangan berjumpa lagi.
Saat berjumpa langsung maupun bertelepon, kami berinteraksi seperti biasa, dengan porsi lumayan timpang, karena si teman lama ini terbiasa dominan satu  arah dalam obrolan. Awalnya, saya tidak merasa aneh dengan gaya ini, karena memang sudah jadi kebiasaan selama bertahun-tahun kami saling mengenal.
Tapi, ketika yang bersangkutan mulai terbuka soal masalah kesehatan mentalnya, situasi jadi terasa aneh. Sebagai teman, saya berempati, antara lain dengan cara membantu sebisanya dan jadi pendengar saat bisa mendengarkan.
Meski kelihatan remeh, empati memang dibutuhkan, dan seharusnya bisa sangat berguna. Bagaimanapun, orang depresi butuh ruang untuk didengar.
Masalahnya, empati ini lalu seperti berubah jadi bumerang buat diri saya sendiri, karena menghadirkan suasana tidak sehat. Terlalu banyak obrolan panjang dengan alur ruwet, interaksi cenderung satu arah, dan "overthinking" yang seperti bergerak liar, dengan cepat menguras energi saya, yang pada dasarnya sudah terbatas.
Suasana tidak sehat ini bahkan mengarah ke toksik, karena yang bersangkutan juga menjadikan kelemahan bersosialnya, sebagai sebuah hal untuk terus dimaklumi.