Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Depresi dan Paradoks Empati

5 September 2025   20:21 Diperbarui: 6 September 2025   00:02 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi depresi (Shutterstock/Aonprom Photo)

Padahal, kelemahan seperti ini bukan sesuatu yang bisa terus dimaklumi, karena bagi sebagian orang, ini cukup merepotkan. Ketika sudah melewati batas, niat baik sekalipun bisa jadi awal masalah.

Terbukti, ketika saya mencoba memberi batasan, untuk menjaga kesehatan mental pribadi, justru muncul satu sisi cukup gelap dari depresi: sebuah egoisme vulgar, yang membuat si penderita seperti punya alasan kuat untuk tetap mendominasi, memegang kendali, dan selalu merasa paling benar.

Akibatnya, sekalipun saya sudah menetapkan batasan tegas, teman saya ini selalu bisa "menabrak" batas itu, atas nama "keadaan darurat" atau semacamnya. Padahal, sebagian besar hal yang disebut "darurat" itu, berasal dari "overthinking" dan keengganan membaca dan memilah informasi yang begitu banyak di internet.

Ini menjadi sebuah ironi, karena teman lama saya ini termasuk jenius secara intelektual, berpendidikan tinggi, tapi terbiasa menempatkan diri lebih tinggi dari orang lain, termasuk saat berinteraksi. Ternyata, "genius is pain" bukan sebatas frasa kosong.

Situasi serba absurd ini baru reda belakangan, setelah kondisi fisik saya sempat drop karena burnout, dan disambung sejumlah pekerjaan, segera setelah pulih.

Bisa dibilang, pengalaman ini cukup keras buat saya secara fisik dan mental, karena dua aspek ini seperti kompak memberi peringatan:

"Lain kali, berhentilah sebelum kami yang menghentikan."

Meski keras, pengalaman ini memberi satu pelajaran mahal, soal perlunya membatasi kadar empati atau keterlibatan, dengan orang yang sedang depresi. Teguran lewat kata cenderung tidak efektif, karena cenderung diabaikan. 

Pada pengalaman saya, ini sempat terjadi ketika saya sempat menyebut gaya interaksi si teman lama sebagai "gaya Soviet". Ketika teguran itu dipertegas dalam bentuk sikap diam atau jaga jarak pun, hasilnya tetap sama, karena ia akan kembali mengabaikan, seperti tidak terjadi apa-apa. 

Mau tak mau, kita sendirilah yang harus tegas pada diri sendiri. Bukan karena tak peduli, tapi lebih karena orang dalam kondisi ini menuntut energi dan perhatian ekstra, yang hanya bisa diberikan secara maksimal oleh tenaga ahli.

Bukan berarti kita tak boleh peduli, kita hanya perlu menetapkan batasan tegas. Jika tidak, kita akan tumbang akibat empati dan pikiran yang terkuras sia-sia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun