Kembali ke setelan pabrik. Begitulah kesimpulan yang bisa didapat, dari performa Timnas Indonesia U-23, setelah tumbang 0-1 dari Vietnam di final Piala AFF U-23, Selasa (29/7) lalu.
Meski secara statistik unggul dalam penguasaan bola, Garuda Muda benar-benar dibuat buntu di sepertiga akhir lapangan. Jangankan membuat peluang dan mencetak gol, menembus lini tengah saja kesulitan.
Pada prosesnya, tim asuhan Gerald Vanenburg ini sudah mulai terbiasa membangun serangan dari bawah, tapi ketika situasi buntu, kembali ke versi "setelan pabrik" Timnas Indonesia seperti menjadi sisa pilihan satu-satunya.
Tidak ada kreativitas di lini tengah, yang seharusnya jadi sektor dapur serangan, karena sektor sayap jadi tumpuan satu-satunya. Umpan pendek kombinasi satu-dua sentuhan pun seolah hanya mitos, karena umpan panjang dan umpan silang lebih banyak digunakan.
Kalau akurasinya oke, umpan silang dan umpan panjang memang berbahaya. Celakanya, akurasi umpan Kadek Arel dkk, terutama di sepertiga akhir lapangan, tidak cukup bagus.
Ketika cara ini gagal, menggunakan kemampuan individu jadi cara paling umum yang banyak dipakai. Tapi, kemampuan itu tidak banyak membantu, karena para pemain Timnas U-23 masih belum lepas dari kebiasaan membawa bola terlalu lama.
Alhasil, momentum serangan sering patah. Penyerang yang membutuhkan dukungan umpan matang seperti Jens Raven pun terlihat seperti layang-layang putus, karena  tak pernah mendapat cukup umpan matang.
Ketika strategi umpan panjang dan gocek bola sampai mentok tak berfungsi, lemparan jauh Robi Darwis jadi opsi tersisa. Hanya inilah satu-satunya aspek yang jadi fitur "upgrade" dari versi setelan pabrik khas Timnas Indonesia yang dulu kita kenal.
Dengan strategi yang minim variasi, lawan tak perlu pusing membuat taktik khusus. Mereka hanya perlu mencetak gol lalu bertahan serapat mungkin, sambil memperlambat tempo permainan.
Jika dilihat lagi, memaksakan strategi yang tidak efektif, hanya satu cara buang-buang waktu dan tenaga dengan kesadaran penuh. Terbukti, stamina para pemain tampak kendor, terutama di setengah jam terakhir pertandingan.
Celakanya, kelemahan ini juga menunjukkan, sebagian besar pemain Timnas U-23 belum cukup cerdas secara taktis, karena rawan kena provokasi lawan.
Jadi, ketika Vietnam bermain nakal dengan mengulur waktu, ini adalah kontrastrategi paling masuk akal. Meski tidak banyak memegang bola, tim asuhan Kim Sang Sik mampu mengendalikan situasi, khususnya setelah mencetak gol.
Di sini, bukan berarti saya membenarkan strategi nakal Tim Bintang Emas di Stadion Gelora Bung Karno, tapi inilah cara paling umum yang bisa dilakukan. Kalau Indonesia berada di posisi unggul, strategi nakal yang sama pasti akan dilihat secara berbeda.
Dengan kualitas aktual seperti ini, ditambah ekspektasi tinggi publik sepak bola nasional, wajar kalau PSSI belakangan masih getol mencari pemain diaspora di luar negeri, yang sudah terbukti cukup membantu di level Asia.
Hanya saja, langkah realistis PSSI ini juga menjadi sebuah sinyal lampu kuning. Jika pemain diaspora Indonesia sampai sebegitu dibutuhkan, bahkan di level Asia Tenggara, hanya untuk menaikkan kualitas tim dan tetap kompetitif, ada satu pertanyaan yang mungkin terdengar kejam, tapi perlu ditanyakan.
Apa kualitas aktual pembinaan pemain, dan pemain lokal yang dihasilkan sudah segawat itu?
Hanya PSSI dan pihak-pihak terkait cukup tahu dan bisa menjelaskan, setidaknya untuk saat ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI