Di media sosial, kolom komentar menjadi satu warna unik, karena menghadirkan ragam reaksi dan ekspresi audiens terhadap satu konten atau topik bahasan tertentu.Â
Kadang, kolom komentar juga biasa jadi tempat mencari isi artikel, khususnya saat orang malas membaca isi artikel atau sedang hemat kuota data.
Lebih jauh, ragam reaksi ini kadang lebih seru untuk dinikmati ketimbang sajian konten utama, karena mewakili reaksi audiens secara natural. Dalam perjalanannya, banyak komentar yang jadi bahan berita atau bahan konten baru, entah karena lucu, unik, atau bahkan keras.
Ini adalah satu paket hiburan menarik, yang sekaligus menghadirkan satu keseimbangan posisi, bahkan interaksi langsung, antara media atau kreator konten dengan audiens.
Tapi, tren yang belakangan berkembang, khususnya di Indonesia memperlihatkan, ada peran lain yang muncul dari kolom komentar, yakni sebagai lapak promosi, entah barang, jasa, atau link konten.
Pada batas tertentu, ini wajar, karena merupakan satu bentuk strategi penasaran digital, tapi menjadi tidak wajar ketika jumlahnya terlalu banyak dan tidak kenal batasan.
Dalam banyak kesempatan, kita banyak disuguhi berbagai tulisan iklan obat  saat membaca kolom komentar di Instagram. Di Twitter, tulisan itu kadang berpadu dengan  gambar atau link lapak toko online produk.
Alhasil, meskipun ada banyak komentar beredar, itu belum tentu alami. Terlalu banyak komentar iklan membuat sisi interaktif jadi kurang hidup, karena ada terlalu banyak sampah visual.
Promosi memang tidak dilarang, tapi tidak baik juga kalau kelewat batas. Di ruang publik seperti kolom komentar, seharusnya komentar-lah yang mendominasi, bukan iklan.
Namanya juga kolom komentar, bukan kolom iklan. Jadi, jangan kaget kalau respon audiens cenderung tidak bagus.