Di satu sisi, memang ada usaha tim marketing (atau apapun namanya) yang harus dihargai, tapi kalau mereka sudah lebih dulu tidak menghargai kenyamanan di ruang publik, seharusnya mereka tahu, apa konsekuensinya.
Lagipula, beriklan (apalagi secara berlebihan) di kolom komentar justru memperlihatkan satu ketidakberesan. Dengan usaha seperti itu, kita patut menduga, jangan-jangan anggaran iklan mereka seret, bahkan tidak ada sama sekali.
Jadi mereka memakai kolom komentar di media sosial sebagai solusi gratis. Satu kombinasi antara ingin praktis dan tidak ada modal.
Padahal, anggaran untuk promosi itu sangat penting untuk menghasilkan medium promosi berkualitas. Kalau dari iklannya saja sudah meragukan, jangan harap konsumen mau datang.
Belakangan, memang ada pendapatan dari komentar "iklan" di platform medsos seperti Twitter, tapi tetap ada syarat yang harus dipenuhi, seperti punya akun centang biru berbayar, punya banyak followers dan interaksi organik. Jadi jelas, tidak bisa sembarangan.
Dengan demikian, sudah seharusnya kampanye marketing seperti iklan memperhatikan semua aspek dengan baik. Mulai dari target audiens sampai etika dan estetika, semuanya akan lebih tepat sasaran jika sejak awal diperhatikan dan terukur secara efektif.
Di sisi lain, promosi iklan di kolom komentar ini menunjukkan, satu usaha keras bisa jadi bumerang, kalau asal dilakukan dan berlebihan. Lebih baik wajar tapi tepat sasaran, daripada terlihat "berusaha keras" tapi tak ada yang kena sasaran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI