Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | April

4 April 2020   18:52 Diperbarui: 4 April 2020   18:58 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku memilih berada di luar kelompok ini, karena gaya hidup dan sikap mereka berada di luar jangkauanku. Alhasil, aku kerap jadi pesakitan, hanya karena mengikuti perintah mereka yang biasa berubah seenak jidat, dengan berbagai alasan. Seperti biasa, aku terlihat seperti seorang pendosa, di tengah kelompok manusia yang terlihat sangat suci tanpa cela.

Semua keganjilan ini awalnya kuterima dengan tenang. Aku menyimpan semua amarah yang harusnya kukeluarkan, seperti gunung berapi menyimpan energi sebelum erupsi. Aku mencoba mengikuti saran atasanku, untuk menahan emosi, atau membayangkan aku marah-marah dalam pikiran. Apalagi, tubuhku tak cukup kuat untuk meledakkan amarah seperti orang kebanyakan.

Tapi, setelah kutahan cukup lama, akhirnya semua amarah itu meledak. Dalam tangis tanpa henti selama empat hari, aku melihat diriku sendiri begitu kelelahan menanggung semua emosi itu sendirian. Aku benar-benar merasa sakit, hanya karena terlihat berbeda dengan yang lain. Padahal, inilah aku.

Setelahnya, aku sempat bertanya kepada diriku sendiri, "Apakah aku sedang sakit, atau lingkungan ini yang sakit?". Pertanyaan ini terus menghantuiku, sampai akhirnya sang waktu mulai berbicara.

Satu persatu, orang-orang di luar lingkaran geng itu pergi. Ara Si Pendiam, pergi dengan membawa serta kemarahan dan rasa kecewa. Ia lelah karena terus diperlakukan seperti kuda, bekerja kelewat batas sampai tumbang berkali-kali, tanpa ada yang mau menghargainya, bahkan meski ia sudah lama pergi.

Sebelumnya, ada Bu In, yang pergi meski belum lama bergabung. Sama sepertiku, ia juga diperlakukan bak pesakitan, hanya karena bertugas sesuai perintah. Pengalaman kerjanya selama belasan tahun seperti tak berguna. Semua kekacauan yang ada, sukses membuatnya membawa pulang kekesalan. Memang, dengan tingkat kekacauan seperti itu, orang dengan pengalaman kerja seribu tahun di bidangnya sekalipun akan terlihat seperti seorang anak ingusan.


Situasi ini seperti penggalan lirik lagu "Hidup Hanya Sekali"

Antara bahagia sekarang dan nanti
Jurang ternganga
Hidup hanya sekali
Sekali berarti, sudah itu mati
Ada yang tak terucap sebelum akhirnya kita menyerah

Jelas, semua yang sudah kulihat itu membuat hatiku tersadar. Sang waktu seperti mengajakku melihat lagi semuanya. Benar, aku bahagia meski masih hidup sendiri di ibukota, tapi jurang tak terseberangi antara aku dan mereka membuat kebahagiaan itu tak lagi penuh.

Dari sang waktu aku sadar, pada bulan keempat di tengah masa pagebluk tahun ini, aku sedang berada di titik persimpangan. Semua rasa sakit itu memang diam membisu, tak ada sepatah katapun terucap darinya, tapi darinyalah aku merasakan, waktuku untuk pergi sudah dekat.

Mungkin ini akan terdengar agak mengejutkan, tapi beginilah hidup. Ada yang datang dan pergi, setelah datang suatu saat akan pergi. Jika saatnya tiba nanti, aku hanya perlu melepas semua rasa sakit dan beban ini, untuk membebaskan diri supaya bisa lebih berkembang, tanpa membawa serta rasa sakit atau kecewa terlalu banyak, seperti yang dilantunkan penggalan lirik lagu "Butiran Angin":

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun