Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dua Kali Tigabelas

14 September 2018   23:16 Diperbarui: 14 September 2018   23:31 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Huffington Post

Tapi, intensitas kerja yang luar biasa disana, malah membuatku tumbang. Tujuh hari kerja, dua belas jam sehari, dari yang awalnya delapan jam sehari. Luar biasa. Pada akhirnya, aku harus mengakui, berapapun upah lembur yang kudapat, itu tak banyak berguna saat aku tumbang. Apalagi, saat itu tubuhku berkata dengan tegas: "Pilih salah satu: kamu atau aku yang berhenti.". Aku sendiri akhirnya memilih mundur, dan tumbang selama tiga hari akibat terkena demam tinggi. Akhir yang sangat mengenaskan.

Hal mengenaskan lainnya, aku sempat kehilangan hampir seluruh uangku. Awalnya, setelah mundur dari hotel, aku berniat mencoba untuk merintis usaha kecil-kecilan, karena aku melihat ada peluang di sana. Apalagi, Bang Toyib memang mengajakku. "Ayo kita berwirausaha bareng, sekarang kan 'jaman now', lebih bebas." , Katanya meyakinkanku. Bang Toyib memang punya bisnis kecil-kecilan sejak mulai kuliah. Saking asyiknya berbisnis, kuliahnya terbengkalai. Saat aku lulus, ia masih berkutat di mata kuliah tingkat dasar.

Aku sendiri memilih percaya pada Bang Toyib, karena dia adalah salah satu dari sekian banyak kakak senior, yang membantuku beradaptasi di tahun awal masa kuliah. Saat aku lulus, Bang Toyib menjadi satu dari sedikit seniorku yang masih tersisa. Jadi, aku menganggap ajakan berbisnis dari Bang Toyib ini, sebagai satu kesempatan baik untuk balas budi.

Tapi, ternyata ajakan berbisnis itu tak lebih dari satu modus tipu-tipu. Uangku dia bawa kabur, segera setelah kuberikan. Parahnya, Bang Toyib lalu memblokir nomor teleponku. Seakan belum puas, ia juga mengadukan aku ke mantan bosku saat bekerja di hotel dulu, atas pelanggaran yang sebenarnya tak pernah kulakukan. Gilanya, belakangan aku tahu Bang Toyib dan Bang Jali sengaja berkomplot, karena akibat aku resign, mereka kehilangan uang komisi rekrutmen karyawan dari mantan bosku.

Saking niatnya, mereka sampai membuat skenario pertemuan, mulai dari tempat, waktu, bahkan kata-katanya, semua sudah diatur Bang Jali sedemikian rupa. Bahkan, aku disuruh membawa kitab suci, di hari H pertemuan. "Kamu jangan lupa bawa kitab sucimu. Supaya kamu bisa bersumpah di atas kitab suci waktu bicara ke mantan bosmu. Semua orang bakal jadi saksinya", Perintah Bang Jali meyakinkanku.

Di sini, aku mulai merasa janggal. Jujur, aku memang bukan seorang penganut Kristen yang taat. Bahkan, aku sangat takut membaca kitab suci sendirian, demi menghindari penafsiran sepihak yang ngawur. Bukannya malas, aku sudah sering melihat, banyak ketegangan yang muncul, hanya karena penafsiran sepihak macam ini. Alih-alih mendamaikan, isi kitab suci justru memanaskan. Hal ini terjadi, karena kebenaran yang terkandung dalam kitab suci, sudah terlanjur direkayasa menjadi pembenaran.

Perintah Bang Jali itu, sempat membuatku bimbang. Aku akhirnya mengambil keputusan, untuk datang sendiri menemui mantan bosku, hanya dengan modal nekat. Aku ingat betul, di hari H pertemuan, semua terjadi di luar skenario awal Bang Jali. Awalnya, aku berencana mampir dulu ke toko buku, sebelum berangkat ke tempat pertemuan itu. Maklum, jaraknya cukup jauh dari rumahku, waktunya pun masih cukup lama. Jadi, aku bisa mampir-mampir dulu.

Aku sendiri, dengan nekatnya memutuskan tak membawa kitab suci. Aku tak peduli, bakal semarah apa Bang Jali nanti. Buatku, kemarahan-Nya akan jauh lebih mengerikan, jika aku sampai berani menjadikan kitab suci sebagai alat, untuk memuluskan satu skenario (yang sebenarnya) manipulatif.

Di luar dugaan, kenekatanku ternyata tepat. Hari itu, aku batal mampir ke toko buku, akibat lalu lintas kota mendadak macet. Aku dengar, ada karnaval budaya, dan tamu penting yang datang ke kota. Tanpa pikir panjang, aku langsung berangkat naik bus ke tempat pertemuan, dan tiba tepat tengah hari, lima jam lebih awal, dari jadwal yang ditentukan. Aku menunggu ditemani rasa lapar dan sebotol air mineral.

Aku sempat terkatung-katung di sana, karena ternyata tak ada yang tahu, kalau hari itu akan ada pertemuan. Bahkan, semua orang terlihat kebingungan melihatku datang sendirian. Aku diam saja, menunggu seperti anak hilang. Aku mulai merasa ada yang janggal.

Setelah satu jam menunggu, akhirnya aku bisa bertemu dengan mantan bos besar, yang tak lain adalah orang tua mantan bosku. Tentu saja ini diluar dugaanku, karena aku malah berhadapan langsung dengan 'bosnya si bos' sendirian. Hari itu, aku benar-benar kaget, begitu juga dengan mantan bos besarku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun