Mohon tunggu...
Yosep Kellen
Yosep Kellen Mohon Tunggu... mahasiswa -

be believe

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ironi Negeri Sim Salabim

31 Oktober 2015   01:47 Diperbarui: 31 Oktober 2015   02:05 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Memang sangatlah tidak adil ketika kita menilai kemenangan sebuah “mobil balap” pada awal start. Brangkat dari kalangan masyararakat yang bukan militer atau cendikiawan hebat, sosok Joko Widodo perlahan menjelma menjadi seorang sosok harapan masyarakat Indonesia terlebih masyarakat kelas bawah. Masih segar di ingatan kita semua bagaimana sosok Joko Widodo hadir dalam setiap bagian dari suatu tatanan masyarakat yang sebelumnya tidak pernah dilakukan para pemimpin yang berkuasa.

Suatu revolusi mental dengan semangat kerja yang “tak hanya tau bersih” melainkan “turun ke Lapangan dan dekat dengan masyarakat” perlahan membuat masyarakat mampu menangkap pesan verbal yang seolah mau mengatakan bahwa “inilah pemimpin rakyat yang seusungguhnya. Suatu cara komunikasi yang perlahan memancing api cemburu dari para saingan politiknya yang kemudian menilai itu adalah pencitraan. Terlepas dari maslah pencitraan atau bukan, masyarakat kini mampu menilai “who is the real leader or who is the real liar”.

Kemudian, setelah melalui suatu proses pemilihan umum yang penuh ketegangan antara kedua kubu akhirnya Jokowi terpilih dan dilantik  sebagai presiden RI ke 7. Menggandeng H M Yusuf Kala dari anggota partai seberang untuk bekerjasama mensejahterahkan Indonesia lewat berbagai program antara lain program swasembada pangan, kebijakan kemaritiman, kebijakan perhubungan, pembangunan waduk, pembangunan tol laut, serta kebijakan pembangunan lain di Indonesia Timur dan masih banyak kebijakan lain yang menjadi proyek besar Kabinet kerja.

Para penghuni jajaran Kabinet pun dituntut untuk “lari” sejak menit pertama pelantikan. Sebut saja menteri Susi dengan kebijakan pemberantasan illegal Fishing melalui drama pembakaran kapal-kapal nelayan asing yang sering ditayangkan oleh media-media yang ada, Menteri Pemuda dan Olahraga sejak awal di serahi tugas untuk mengurus dunia Olahraga Negara ini baik dari sepak bola dengan kisruh ISL yang sampai saat ini masih menunggu kepastian di bulan November mendatang, maupun prestasi olahraga Indonesia yang terkesan semakin suram walupun masih ada yang masih mencoba bersinar mengharumkan merah putih.

Banyak peristiwa yang terjadi pada awal kepemimpinan Joko Widodo seringkali memantik aksi protes yang lebih banyak anarkis. Sebut saja kebijakan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang ”naik-turun” dikarenakan  pengaruh dari harga minyak dunia. Demo di beberapa daerah yang menuntut harga BBM diturunkan lebih banyak memberi kesan anarkhi dari pada tawarkan solusi bersamaan dengan itu berbagai kasus korupsi yang mengulang kembali drama lama perseteruan “Cicak dan Buaya”.

Tidak cukup pada persoalan itu saja kondisi politik yang memanas pun seolah mengkebiri beberapa media massa yang sejatinya harus “Independen”. Gengsi politik yang telah merasuk kedalam media massa perlahan membentuk dua kubu besar yang saling beradu pengaruh dalam pewartaannya.

Dari bidang pendidikan pun sempat diwarnai persoalan Ujian Akhir Nasional  (UAS) yang kemudian menuntut revisi kurikulum 2013.  Tak jauh dari itu bebagai persoalan serius yang turut menghantui anak-anak Indonesia seperti kasus pedophilia serta kekerasan terhadap anak  lain yang  belakangan makin bermunculan. Misalnya kasus yang merenggut nyawa  seorang anak perempuan di Bali yang pada waktu itu menyita perhatian semua orang baik dari dalam maupun luar negeri dan masih banyak lagi kasus kekerasan tehadap anak-anak yang belakangan marak terjadi bagai sebuah wabah social sayangnya pelaku kekerasan itu tidak lain adalah orang terdekat korban.

Dari beberapa permasalahan bangsa yang terrtulis di atas terdapat “masih banyak lagi” persoalan bangsa yang menuntut pemerintahan Jokowi-JK untuk selalu sigap bagai seorang super hero yang dengan cepat harus menyelesaikannya. Persoalan TKI, persoalan pemberantasan Narkoba, badai El Nino yang sampai saat ini masih melanda hingga menyebabkan kasus kebakaran hutan yang terus memproduksi asap hingga menyebabkan banyak masyarakat menderita di beberapaa belahan Nusantara ini bahkan sampai ke Negara tetangga.

Bisa dikatakan bahwa semua permasalahan yang bermunculan di atas perlahan “mengaburkan” pandangan masyarakat luas akan prestasi yang sudah dicapai Jokowi-JK dalam kurun waktu satu tahun belakangan ini. Dalam kondisi perlambatan ekonomi yang mengakibatkan nilai tukar rupiah yang mencapai hampir Rp. 15.000, rupiah Indonesia telah mampu mempertahankan cadangan devisanya sebesar $ 101,7 milyar, dimana dengan kondisis ini Indonesia telah keluar dari kondisi FRAGILE FIVE menurut Stanley Morgan (18/3/2015. Selain itu banyak pembangunan telah mulai bejalan seperti pembangunan bendungan besar di beberapa daerah, pembangunan jalan tol, termasuk mega proyek tol laut yang di canangkan sebalumnya. Selain itu pembangunan pembangkit listrik, serta renegosiasi kontrak Freeport serta prestasi lain seperti pemberantasan Illegal Fishing, pemberantasn Narkoba, seta penambahan alusista TNI dan beberapa kemajuan lain yang berdampak cukup positiv ke masyarakat Indonesia.

 

Dengan kondisi politik dan sosial yang seperti ini, pantaskah kita berdiri sebagai hakim dan mengadili sebuah pemerintahan yang baru berjalan setahun? Kita semua pasti mungkin setuju kalau Indonesia bukan negeri deongeng yang dengan “sim salabim” saja semua bisa berjalan sesuai keinginan kita. “be believe”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun