Mohon tunggu...
Yosea Permana
Yosea Permana Mohon Tunggu... Seniman - pegawai swasta

Gemar melukis, menggambar dan fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Merasakan India di Howrah Bridge #IndiaTravelJournal Part 7

5 Desember 2015   07:58 Diperbarui: 29 Maret 2016   22:56 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wajah asli India masih benar-benar baru bagiku. Dua hari berada di Kolkata mengubah segala persepsi awalku tentang India. Bagiku Kolkata terlalu indah bila dikatakan sebagai kota yang kumuh apalagi menakutkan. Kota yang dipenuhi dengan ornamen klasik ala British ini membius mataku, segala keeksotisan yang terpancar dari gedung-gedung tua di kota ini sempat membuat aku bertanya-tanya, di mana aku? Apakah ini India? Mana ini-itu yang orang lain bilang tentang India?

Aku ingin mengingatkan kembali tentang kesan pertamaku ketika pertama menjejakkan kaki di Kolkata. Lorong Waktu, ya kala itu aku pernah berucap bahwa melihat sisi kota Kolkata seakan masuk ke dalam lorong waktu yang membawaku masuk ke dalam film 70-an. Nuansa gedung-gedung tua, taksi kuning serta bus-bus tua yang masih saja mengangkut penumpang menjadi kesatuan yang apik dalam membentuk sebuah memoar dari film tua. Aku hanya menerka-nerka apa mungkin ini adalah gambaran Inggris entah pada beberapa ratus tahun silam? Mengingat Inggris cukup lama juga berduduk manis di negeri ini. Sama halnya dengan Belanda yang berupaya membuat Batavia menjadi duplikasi kecil dari Netherland pada era kolonialnya di Indonesia, tak menutup kemungkinan juga keaadaan serupa terjadi pada hubungan Inggris dengan India.

Mataku mulai sedikit terbuka ketika mulai berjalan di tengah kerumunan ribuan orang yang berlalu-lalang di atas Jembatan Howrah. Jembatan ini terbagi menjadi tiga ruas, ruas kiri dan kanan dikhususkan untuk para pejalan kaki, sedangkan ruas tengah digunakan untuk kendaraan bermotor. Nyaris tak ada ruang untuk berhenti dan menikmati pemandangan Sungai Hoogly yang membentang panjang di bawah jembatan kantilever ini, desakan dari para pejalan kaki yang berasal dari kiri, kanan, depan, dan belakang memaksa kami semua untuk terus bergerak.

Bukan berlebihan bila pada kalimat awal aku mengatakan ribuan manusia berlalu-lalang di atas jembatan ini, bahkan bukan hanya manusia, hewan ternak, sampai anjing-anjing liar pun turut berpartisipasi meramaikan kericuhan yang terjadi di atas jembatan ini. Satu lagi, klakson! Namun, itu saja rasanya belum cukup untuk menggambarkan kericuhan di atas jembatan ini. Di sisi-sisi jembatan ini juga aku masih menjumpai para pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya di atas terpal, juga pedagang asongan yang mengangkut lapak dagangannya di atas batok kepala mereka sambil berteriak-teriak menawarkan dagangannya, dan masih juga ada para pengemis. Jembatan ini sungguh sibuk tiada dua, karena sesungguhnya ini adalah yang pertama. Bisa dikatakan bahwa jembatan ini hidup selama 24 jam sehari, tak pernah kosong. Pagi, siang, dan malam sama saja ramainya.

[caption caption="Hiruk Pikuk di Howrah Bridge"][/caption]

Aku tepat berada di titik tengah jembatan ini yang ditandai dengan berdirinya pos jaga polisi. Di sini aku menyisi sebentar ke pinggir jembatan untuk sekadar menikmati pemandangan yang tersaji dari atas sini. Di sisi barat aku melihat matahari sedang menurun mendekati permukaan Sungai Hoogly. Warna cahayanya yang keemasan terpantul dari permukaan air sungai yang cokelat, merefleksikan lampu-lampu jalan dan gedung yang sudah mulai menyala satu per satu, sedangkan sisi-sisi lainnya adalah keriuhan manusia. Melihat pemandangan yang tidak biasa ini tak rela juga rasanya untuk tidak mengabadikannya dalam sebuah gambar dengan kameraku. Aku ingin mengabadikan segala yang aku lihat di atas jembatan ini, mulai dari pemandangan matahari tenggelam, hiruk-pikuk manusia dan juga bentuk dari jembatan ini sendiri. Aku mengeluarkan kamera yang sudah aku gendong seharian di dalam ransel. Aku mulai membidik ke segala arah, mencoba menemukan sudut terbaik untuk diabadikan.

Rasanya baru dua kali jepretan, tetiba seseorang menaruh tangannya di atas bahuku, lantas aku menoleh dan melihat seorang polisi masih menempatkan tangannya di atas bahuku. Aku gugup menghadapinya, segala pikiran negatif pun mulai keluar secara tak beraturan dari benakku. Aku berpikir dan membayangkan bagaimana bila aku dibawa ke kantor polisi? Bagaimana bila aku diperas oleh polisi ini? Padahal aku sendiri belum tahu apa kesalahanku sampai-sampai aku dihampiri oleh seorang polisi. “Dilarang memotret di sini” ucapnya tegas dalam bahasa Inggris yang terbata-bata. Tanpa pikir panjang aku mematikan kameraku dan langsung memasukkannya kembali ke tas. “Hanya boleh memotret sisi sungai saja, sisi jembatan tidak boleh,” lanjutnya.

Namun aku sudah terlanjur memasukkan kameraku ke tas dan tak ingin mengeluarkannya kembali. Aku hanya menjawab “oke” saja kepadanya. Pria itu tidak lantas pergi, aku cukup kikuk dan mencari akal agar bisa keluar dari rasa gugup yang menaungiku. Aku melihatnya sedang menggenggam sesuatu pada tangan kanannya. “Apa itu?” tanyaku kepada polisi tersebut sambil menunjuk ke arah benda yang ada di tangannya. “Kamu mau coba? Ini snack India, kacang!” Tanpa aku minta dia menarik tangan kananku dan menumpahkan sebagian kacang yang digenggamnya ke dalam genggamanku. “Makanlah, itu enak sekali” ucapnya. “Terima kasih,” jawabku sambil tersenyum. “Mengapa aku tidak boleh memotret jembatan ini?” tanyaku kepada polisi tersebut. “Aku tidak tahu, aku hanya menjalankan tugas di sini,” jawabnya. Ternyata polisi ini sangatlah ramah, jauh dari prasangka burukku. Mungkin di awal aku merasa terintimidasi karena polisi ini menggunakan seragam lengkap dengan senjata laras panjangnya.

Sampai saat ini aku masih belum tahu apa menyebabkan aku tak diizinkan memotret jembatan tersebut. Dan bukan hanya aku, ternyata semua orang. Pemerintah Kolkata rela mengerahkan penjagaan khusus selama 24 jam di atas jembatan ini. Aku hanya asal menebak saja mungkin pemerintah India tidak ingin konstruksi jembatan ini ditiru, atau mungkin juga agar tidak mengganggu lalu lintas di atas jembatan ini, atau mungkin karena alasan budaya, atau mungkin karena alasan keagamaan atau mungkin, atau mungkin dan atau mungkin yang lainnya, aku tidak tahu pasti. Namun yang jelas hal ini pastilah demi sebuah keamanan.

Hari sudah semakin gelap, namun manusia masih belum saja berkurang debitnya di atas jembaan ini. Aku melanjutkan berjalan ke sisi Kolkata karena sebelumnya aku berjalan dari arah Howrah. Di depan aku melihat sebuah kericuhan di tengah sebuah keriuhan. Bayangkan kericuhan di tengah keriuhan. Semua orang berteriak, mengangkat tangan sambil menunjuk-nunjuk ke satu arah. Aku penasaran dan lantas menghampirinya, aku masuk ke dalam kerumunan orang itu. Di tengah Aku melihat seorang remaja laki-laki sedang didorong-dorong sambil diselingi dengan beberapa tamparan oleh seorang perempuan paruh baya. Semua orang yang ada di sisinya berteriak sambil mengerumuninya, seakan memberikan semangat kepada si perempuan untuk terus melakukan hal yang lebih kasar kepada si remaja tersebut. Aku bingung, ada apa ini. Lantas aku bertanya kepada seseorang yang ada di dekatku, “Kenapa anak itu ditampar?” tanyaku, “Anak itu ketahuan mencopet,” jawabnya.

Aku sempat berpikir cukup beruntung juga remaja tersebut bahwasanya tidak ada orang lain yang ikut mendorong ataupun menamparnya. Bayangkan bila semua orang ikut melakukan hal itu. Mungkin dalam hitungan kurang dari satu menit remaja tersebut bisa saja sudah tak bernyawa mengingat jumlah oang yang ada di sini sudah tak bisa dihitung lagi jumlahnya. Tak banyak yang bisa aku lakukan saat itu. Rasa iba selalu ada, namun aku tidak mau ikut campur dalam urusan beginian. Apalagi saat ini aku sedang berada di negara orang, terlalu berisiko apabila aku ikut campur dengan urusan seperti ini. Aku pun melanjutkan perjalananku yang sempat terhenti beberapa menit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun