Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tong Kosong Mengumbar Hak Angket DPR

23 Februari 2017   11:35 Diperbarui: 24 Februari 2017   14:29 2236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon (http://nasional.kompas.com/)

Kembalinya Ahok bekerja setelah cuti kampanye ternyata banyak yang gemetaran, ketakutan. Bukannya gembira karena bisa melaksanakan tugasnya dengan disiplin tinggi untuk melayani rakyat, malahan mereka sibuk bersekutu mencegah agar Ahok jangan bekerja.

Alasannya memang masuk akal, menegakkan hukum. Pasalnya, Ahok tengah menjadi terdakwa atas kasus dugaan penistaan agama hasil kreasi mereka sendiri lewat kecerdasan Buni Yani. Mereka tidak mau ambil pusing bahwa pasal 83 ayat (1) UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tidak bisa menjerat Ahok. Perdebatan antara Mahfud MD dan Refly Harun memberi sinyal bahwa pasal itu tidak bisa dipaksakan untuk memenuhi hasrat sesaat..

Anehnya, mereka tetap ngotot. Mereka seolah melihat dunia hanya hitam putih. Frase “pokoknya Ahok harus diberhentikan sementara” sudah dijadikan dalil. Mereka tidak sadar bahwa sikap seperti sekaligus menjelaskan bahwa mereka tidak sedang menegakkan hukum. Mereka hanya menegakkan nafsu politik mereka sendiri atas Ahok.

Karena kebelet, empat fraksi di DPR RI, Empat fraksi di DPR yakni PAN, Demokrat, Gerindra, dan PKS begitu antusias mengakomodasi keinginan semua orang yang menghendaki pemberhentian Ahok. Empat fraksi ini telah menyerahkan draf usulan hak angket kepada Pimpinan DPR. Juga telah diterima oleh pimpinan yang diwakili Fahri Hamzah, Fadli Zon, dan Agus Hermanto di Ruang Kerja Fadli Zon. Ditandatangani oleh 22 anggota Gerindra, 42 anggota Demokrat, 10 anggota PAN, dan 6 Anggota Fraksi PKS. (Kompas.com 13/2/17).

Harapan mereka usul tersebut akan diterima sehingga menjadi hak angket DPR RI. Lucunya, Fahri Hamzah sendiri pernah menyarankan agar tidak menggunakan hak angket, tapi hak interepelasi. Kali ini Fahri tampak bijak. Semestinya memang begitu. Minta penjelasan pemerintah dulu lewat hak interpelasi. Jangan langsung lompat ke penyelidikan, hak angket. Namun, saran tersebut tak digubris.

Pertanyaannya, apakah hak angket ini berhasil menjegal Ahok atau Presiden Jokowi?


Menghasilkan Polusi

Berdasarkan pengalaman di kasus bank Century, yang telah memboros-boroskan waktu, tenaga dan dana yang tak sedikit, hampir bisa dipastikan bahwa hak angket ini akan menjadi tong kosong. Bunyinya memang nyaring, tapi hanya menghasilkan kegaduhan, polusi suara, polusi pendapat, polusi kerja DPR dan pemerintah. Kalau sudah tidak tahan, satu persatu mungkin siuman, sadar diri, kemudian menarik diri diam-diam seperti kura-kura.

Mengapa begitu? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, dari segi hukum memang tidak memenuhi syarat. Tiga hak DPR RI yang dicatat dalam Pasal 79 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3 dan Pasal 169-183 Peraturan DPR RI No 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR RI bukanlah hal yang gampang diumbar. Syarat utamanya DPR harus membuktikan bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Jika tidak, maka pemakaian hak itu jadi omong kosong.

Kedua, proses penggalangan suara pendukung untuk memakai salah satu hak itu  juga tidak gampang. Bukan saja soal setuju-tidaknya atas substansi yang dipersoalkan dan argumentasi hukumnya yang harus diuraikan rinci dan lengkap pada dokumen sebagai lampiran usul ke DPR. Untuk memenuhi syarat kehadiran saja pasti tidak mudah. Mungkin mulut para pengusul harus berbusa-busa untuk meyakinkan sesama anggota DPR agar mau hadir.

Jumlah pengusul dan syarat lebih dari satu fraksi memang terpenuhi (Psl 169 Tatib DPR). Namun, pada jumlah yang hadir pada rapat pleno serta jumlah yang setuju ketika keputusan diambil jelas tidak segampang omong di media. Jangankan anggota fraksi lain, di internal fraksi pengusul sendiri banyak yang tak setuju, bukan?

Ketiga, kalaupun ke-222 anggota Fraksi PAN, Demokrat, Gerindra, dan PKS di DPR RI hadir pada rapat pleno, tetap saja belum memenuhi ketentuan ayat (3) Pasal 169 yang mengharuskan hadir minimal 50% + 1 atau 281 orang dari 560 anggota DPR RI. Ini artinya empat fraksi ini perlu berjuang keras menghadirkan minimal 59 anggota dari fraksi lain. Gampang? He he masing-masing punya kepentingan politik yang tidak mudah ditekuk.

Untuk sekedar menghibur, anggota fraksi PDIP, Golkar dan lainnya bisa saja hadir agar rapat pleno terlaksana. Tapi ketika keputusan hendak diambil, tunggu dulu! Perdebatan sengit dari sisi hukum dan politik sudah pasti tak mulus. Syukur-syukur tidak ada yang banting meja atau kursi, atau saling pukul karena ada misalnya yang bilang bahwa pengajuan hak angket tak perlu. Hanya bikin gaduh. Mengganggu kinerja pemerintah dan DPR RI sendiri. Keadaan inilah yang bisa melahirkan anggota DPR kura-kura.

Diolok-olok Rakyat

Perlu dicatat dengan sering berulangnya kegaduhan di DPR, rakyat yang selama ini tampak diam, namun terus mengawasi gerak-gerik anggota DPR, bisa Saja marah dan akan berteriak: “Jangan ganggu pekerjaan Jokowi! Kami butuh pelayanan Presiden untuk kepentingan nyata kami. Kami tidak butuh kegaduhan, kebisingan dan omongan”, dan sebagainya.

Jika teriakan ini terus menggaung, bisa dipastikan DPR akan jadi bahan olok-olok karena dinilai hanya menghabis-habiskan uang rakyat untuk membicarakan hal-hal yang tidak mendesak. Coba saja hitung pemborosan berdasarkan pengaturan Surat Edaran Setjen DPR RI No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 tentang Gaji Pokok dan Tunjangan Anggota DPR.DPR RI. Pada poin A angka 4 disebutkan uang sidang/paket = Rp 2.000.000,- per anggota DPR. Bila dikalikan dengan 560 aggota DPR, maka dana rakyat yang dipakai sebesar Rp 1.120.000.000,- (satu miliar seratus dua puluh juta rupiah).

Kecil? Bisa saja ya bagi pengusaha besar atau koruptor kakap. Tapi, bagi rakyat, tidak demikian. Rakyat memiliki perbandingan-perbandingan menurut kebutuhan penting dan mendesak.

Ambil contoh biaya pembangunan ruang kelas baru (RKB) SD menurut Peraturan Dirjen Pendidikan Dasar No 144/C/KP/2015 tentang Juklak DAK Tahun 2015 miisalnya. Biaya konstruksi fisik dengan biaya satuan bangunan Rp 2.266.562/m2 dan ukuran 64 m2 di Kabupaten Simelue, Aceh misalnya diperlukan biaya sebesar Rp145.059.968,- Ini artinya, biaya sekali rapat DPR RI bisa membangun hampir delapan RKB yang bisa dipakai oleh hampir 300 murid SD selama bertahun-tahun.

Desakan kebutuhan yang lebih penting itulah yang bisa membuat rakyat marah. Pasalnya, rakyat tahu dari pemberitaan TV begitu banyak bangunan SD yang hampir ambruk, tapi tidak bisa diperbaiki karena ketiadaan biaya. Begitu banyak rakyat miskin yang hanya makan seadanya karena ketiadaan penghasilan. Begitu banyak rumah yang belum dialiri listrik karena kemiskinan. Di sisi lain, DPR malahan omong melulu tentang kepeduliannya kepada rakyat. Namun, ketika pemerintah bertindak, malahan DPR bikin gaduh, mengganggu. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun