Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tong Kosong Mengumbar Hak Angket DPR

23 Februari 2017   11:35 Diperbarui: 24 Februari 2017   14:29 2236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon (http://nasional.kompas.com/)

Ketiga, kalaupun ke-222 anggota Fraksi PAN, Demokrat, Gerindra, dan PKS di DPR RI hadir pada rapat pleno, tetap saja belum memenuhi ketentuan ayat (3) Pasal 169 yang mengharuskan hadir minimal 50% + 1 atau 281 orang dari 560 anggota DPR RI. Ini artinya empat fraksi ini perlu berjuang keras menghadirkan minimal 59 anggota dari fraksi lain. Gampang? He he masing-masing punya kepentingan politik yang tidak mudah ditekuk.

Untuk sekedar menghibur, anggota fraksi PDIP, Golkar dan lainnya bisa saja hadir agar rapat pleno terlaksana. Tapi ketika keputusan hendak diambil, tunggu dulu! Perdebatan sengit dari sisi hukum dan politik sudah pasti tak mulus. Syukur-syukur tidak ada yang banting meja atau kursi, atau saling pukul karena ada misalnya yang bilang bahwa pengajuan hak angket tak perlu. Hanya bikin gaduh. Mengganggu kinerja pemerintah dan DPR RI sendiri. Keadaan inilah yang bisa melahirkan anggota DPR kura-kura.

Diolok-olok Rakyat

Perlu dicatat dengan sering berulangnya kegaduhan di DPR, rakyat yang selama ini tampak diam, namun terus mengawasi gerak-gerik anggota DPR, bisa Saja marah dan akan berteriak: “Jangan ganggu pekerjaan Jokowi! Kami butuh pelayanan Presiden untuk kepentingan nyata kami. Kami tidak butuh kegaduhan, kebisingan dan omongan”, dan sebagainya.

Jika teriakan ini terus menggaung, bisa dipastikan DPR akan jadi bahan olok-olok karena dinilai hanya menghabis-habiskan uang rakyat untuk membicarakan hal-hal yang tidak mendesak. Coba saja hitung pemborosan berdasarkan pengaturan Surat Edaran Setjen DPR RI No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 tentang Gaji Pokok dan Tunjangan Anggota DPR.DPR RI. Pada poin A angka 4 disebutkan uang sidang/paket = Rp 2.000.000,- per anggota DPR. Bila dikalikan dengan 560 aggota DPR, maka dana rakyat yang dipakai sebesar Rp 1.120.000.000,- (satu miliar seratus dua puluh juta rupiah).

Kecil? Bisa saja ya bagi pengusaha besar atau koruptor kakap. Tapi, bagi rakyat, tidak demikian. Rakyat memiliki perbandingan-perbandingan menurut kebutuhan penting dan mendesak.


Ambil contoh biaya pembangunan ruang kelas baru (RKB) SD menurut Peraturan Dirjen Pendidikan Dasar No 144/C/KP/2015 tentang Juklak DAK Tahun 2015 miisalnya. Biaya konstruksi fisik dengan biaya satuan bangunan Rp 2.266.562/m2 dan ukuran 64 m2 di Kabupaten Simelue, Aceh misalnya diperlukan biaya sebesar Rp145.059.968,- Ini artinya, biaya sekali rapat DPR RI bisa membangun hampir delapan RKB yang bisa dipakai oleh hampir 300 murid SD selama bertahun-tahun.

Desakan kebutuhan yang lebih penting itulah yang bisa membuat rakyat marah. Pasalnya, rakyat tahu dari pemberitaan TV begitu banyak bangunan SD yang hampir ambruk, tapi tidak bisa diperbaiki karena ketiadaan biaya. Begitu banyak rakyat miskin yang hanya makan seadanya karena ketiadaan penghasilan. Begitu banyak rumah yang belum dialiri listrik karena kemiskinan. Di sisi lain, DPR malahan omong melulu tentang kepeduliannya kepada rakyat. Namun, ketika pemerintah bertindak, malahan DPR bikin gaduh, mengganggu. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun