Mohon tunggu...
yoni kurnia
yoni kurnia Mohon Tunggu... Pendidik

Seorang pendidik yang bercita-cita menjadi filsuf.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Usia 25: Menyerah, atau sedang salah arah?

4 Agustus 2025   11:59 Diperbarui: 4 Agustus 2025   11:59 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Usia yang Sarat Ekspektasi

Usia 25 kerap diposisikan sebagai titik balik kehidupan. Banyak narasi sosial yang membebani usia ini dengan daftar panjang pencapaian: harus sudah bekerja, punya pasangan, mapan secara finansial, bahkan memiliki arah hidup yang jelas. Di media sosial, terutama TikTok, kita disuguhkan konten viral yang seolah-olah menetapkan standar absolut: usia 25 harus sudah bisa ini, punya itu, bahkan ada yang bercanda bahwa di usia ini kita seharusnya sudah bisa membangun candi. Absurd, tapi entah mengapa terasa nyata.

Saya menulis ini di usia 25. Belum bekerja, belum memiliki pencapaian yang bisa dibanggakan, dan baru saja mengalami patah hati. Tulisan ini bukan untuk menyudutkan siapa pun, melainkan sebagai refleksi dari pengalaman pribadi yang mungkin juga dirasakan oleh banyak orang di usia yang sama.

Quarter Life Crisis: Realita yang Terverifikasi

Sebagai seseorang yang percaya pada sains, saya mencoba membandingkan pengalaman emosional ini dengan data empiris. Penelitian menunjukkan bahwa rentang usia 18--25 merupakan fase rawan terhadap psychological distress---perasaan negatif yang muncul akibat pengalaman tidak menyenangkan, seperti kecemasan dan depresi, yang mengganggu rutinitas harian. Studi lain mengungkap bahwa individu berusia 25--33 tahun banyak yang merasa tidak yakin terhadap karier mereka, tertekan dalam hubungan, dan bingung dengan tujuan hidup.

Fenomena ini dikenal sebagai quarter life crisis, dan kecemasan adalah gejala paling dominan. Sebanyak 61% partisipan survei menyatakan bahwa mereka belum menemukan pekerjaan atau karier yang sesuai minat. Sementara 48% lainnya, terutama perempuan, merasa tertekan karena terus membandingkan diri dengan teman sebaya yang dianggap lebih sukses.

Saya pun merasakannya. Ketakutan, penyesalan, dan rasa gagal sering kali membayangi. Membandingkan diri dengan orang lain menjadi kebiasaan yang melelahkan dan membuat frustrasi. Maka, saya menulis ini bukan untuk mengeluh, tetapi untuk berbagi keresahan yang mungkin juga Anda rasakan.

1. Menikah, Bahagia, dan Patah Hati

Usia 25 sering kali digambarkan sebagai masa emas untuk membangun kehidupan bersama pasangan. Di media sosial, kita melihat teman-teman sebaya yang sudah menikah, memiliki anak, dan tampak bahagia. Foto prewedding, video gender reveal, dan unggahan keluarga kecil yang harmonis menjadi pemandangan yang akrab. Seolah-olah usia ini adalah titik wajib untuk mencapai stabilitas emosional dan romantis. Namun, di balik narasi kebahagiaan itu, ada sisi lain yang tak kalah nyata: fase life after breakup. Banyak dari kita justru sedang berada di titik terendah dalam hubungan. Bukan sedang merancang masa depan bersama, melainkan sedang belajar bangkit dari masa lalu yang menyakitkan. Patah hati di usia 25 terasa berbeda. Bukan sekadar kehilangan pasangan, tapi juga kehilangan rencana hidup yang sudah dirancang bersama. Di usia ini, kita tidak hanya kehilangan seseorang, tapi juga kehilangan arah. Rasa lelah untuk memulai hubungan baru, trauma dari hubungan sebelumnya, dan ketakutan akan kegagalan membuat banyak orang memilih untuk tidak jatuh cinta lagi. Bahkan Kita mulai mempertanyakan: apakah cinta memang layak diperjuangkan? Apakah hubungan baru akan berakhir sama? Apakah lebih baik sendiri daripada terluka lagi?

2. Mandiri Finansial: Antara Harapan dan Realita

Definisi sukses menurut masyarakat Indonesia sering kali dikaitkan dengan pekerjaan bergengsi, penghasilan besar, rumah, mobil, dan bebas dari utang. Namun realitanya, memiliki pekerjaan tetap saja sudah menjadi berkah. Ekspektasi sosial yang menekan untuk mencapai standar kesuksesan tertentu sering kali membuat kita merasa gagal dan tidak berguna ketika tidak mampu mencapainya. Padahal, setiap orang memiliki jalur dan waktu yang berbeda dalam meraih stabilitas finansial. Narasi ini begitu kuat, hingga menjadi standar sosial yang tidak tertulis namun sangat memengaruhi cara kita menilai diri sendiri dan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun