Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

MK Harus Tolak Gugatan Ahok

31 Agustus 2016   17:40 Diperbarui: 3 September 2016   17:56 2101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, saat berkunjung ke Redaksi Harian Kompas untuk bersilaturahim sekaligus menyampaikan sosialisasi program kerja Kantor Harian Kompas di Palmerah, Jakarta, Jumat (10/5/2013). | KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Poin utama gugatan petahana Basuki Tjahaja Purnama adalah pelanggaran terhadap hak konstitusionalnya jika dirinya “dipaksa cuti” saat mengikuti tahapan pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Ahok- sapaan akrabnya, mendalilkan dirinya dipilih secara demokratis untuk masa jabatan lima tahun setelah pelantikkan. Jika mengikuti ketentuan pasal 70 ayat 3 UU Nomor 10 Tahun 2016, Ahok merasa dirinya kehilangan hak konstitusionalnya selama tiga bulan, bahkan enam bulan andai pilkada berlangsung dua putaran.

Dalam sidang uji materi (judicial review) terhadap pasal 70 ayat 3 UU No 10/2016 di Mahkamah Konstitusi (MK) yang digelar hari ini setelah Ahok merevisi materi gugatannya, Ahok mendalilkan dirinya selaku pribadi dan juga Gubernur DKI sebagaimana sebelumnya pernah dilakukan oleh Gubernur Lampung Sjachroedin ZP saat mengajukan JR ke MK terkait keharusan petahana mundur, tahun 2008 lalu.

Benarkah hak konstitusional Ahok dilanggar jika ketentuan pasal cuti bagi petahana diberlakukan? Bagaimana dengan hak konstitusional anggota DPR, DPD, dan DPRD yang harus mundur jika mengikuti pilkada? Bukankah mereka juga dilantik untuk masa jabatan (periode) lima tahun?

Hak konstitusional (constitutional right) adalah hak setiap warga negara untuk mendapat perlindungan hukum (undang-undang). Dalam kaitannya dengan gugatan Ahok, maka yang dipersoalkan adalah perlindungan hukum atas masa jabatannya sebagai gubernur sebagaimana termaktub pada pasal 60 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur masa jabatan kepala daerah, termasuk gubernur, di mana masa jabatannya selama lima tahun terhitung sejak pelantikan.

Untuk memperkuat gugatannya, Ahok berpandangan kampanye merupakan hak, bukan kewajiban sehingga seorang calon kepala daerah tidak bisa dipaksakan untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan kampanye.

Dari dua argumen tersebut terlihat Ahok kedodoran. Hak setiap warga negara dibatasi oleh hak orang lain. Contohnya, hak seseorang untuk bernyanyi di malam hari, bahkan dengan menggunakan alat pengeras suara. Namun jika hal itu dilakukan maka orang tersebut dianggap telah melanggar hak orang lain untuk mendapatkan ketenangan.

Jika kampanye adalah hak, maka Ahok mestinya memahami bahwa cuti bagi petahana selama masa kampanye sebagai kewajiban. Di situ batasannya. Ahok harus cuti namun tidak harus mengadakan kampanye. Cuti di sini dimaksudkan agar Ahok tidak melanggar hak warga untuk mendapatkan pelayanan yang memadai, tidak terganggu oleh kepentingan pribadi kepala daerah yang ingin mempertahankan kekuasaan. Cuti bagi petahana juga dimaksudkan untuk menjamin tercapainya penyelenggaraan pilkada yang fair dalam kedudukan yang sama dengan calon lainnya.

Keinginan Ahok tidak cuti karena dirinya tidak akan melakukan kampanye, tidak sertamerta menggugurkan kewajibannya untuk menanggalkan segala atribut kedinasan. Apakah itu melanggar hak konstitusional?

Mari kita bandingkan dengan kewajiban mengundurkan diri bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD, sesuai ketentuan pasal 7 ayat 2 huruf (s) UU 10/2016. Padahal sebagaimana jabatan kepala daerah, masa jabatan anggota dewan juga lima tahun. Dalam amar putusannya terhadap pengajuan JR terkait Pasal 7 huruf (s) UU Pilkada 2015 lalu, MK mengatakan telah berlaku diskriminatif, karena tidak mengharuskan anggota DPR, DPD dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk berhenti dari jabatannya, melainkan cukup hanya memberitahukan pencalonannya kepada pimpinan masing-masing.

Artinya MK menilai jika anggota dewan hanya izin (cuti) untuk mengikuti pilkada maka akan terjadi diskriminasi. MK mengesampingkan fakta jika dengan keharusan mundur berarti menghilangkan hak konstitusional anggota dewan karena dipaksa berhenti sebelum masa baktinya berakhir. Dengan penalaran lain, hak konstitusional dalam hal masa jabatan seseorang tidaklah dilanggar dengan keharusan pengunduran diri tersebut. Putuan MK tersebut kemudian diadopsi dalam UU Pilkada, termasuk UU No 10/2016.

Belum lagi jika dibandingkan dengan pasal 7 ayat 2 huruf (t) yang mengharuskan mundur secara tertulis bagi PNS, TNI/Polri dan kepala desa. Terlebih ketentuan pasal 7 ayat (2) huruf  (p) di mana kepala daerah dan wakil kepala daerah yang  yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon harus mengundurkan diri. Bukankah masa jabatan para kepala daerah itu juga lima tahun?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun