Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kodok Jokowi

3 Januari 2016   21:39 Diperbarui: 28 April 2018   09:46 1209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Membaca komentar Kaesang Pangarep pada tweet Presiden Joko Widodo tentang keindahan Teluk Pianemo Kabupaten Raja Ampat Papua, memang menggelikan. Ungkapan Kaesang bahwa “kalau mau mencari kecebong bukan di tempat itu” bukan hanya satire karena selama ini haters memberi label kecebong kepada para pendukung Jokowi, tapi juga sangat berkesan. Anak-anak (ningrat) di Jawa jarang menyapa ayahnya- terlebih dengan candaan, karena sosok ayah memang sengaja disakralkan. Mereka tidak akan berani mengganggu tidurnya atau sekedar menegur  saat ayahnya sedang asyik baca koran.

Seperti biasa, komen Kaesang tetap ditanggapi nyinyir oleh haters. Bahkan ada yang menyamakan dengan tweet DR Yulius Paonganan yang menyeretnya ke penjara. Memang begitulah kerjanya haters: harus selalu mencari bahan untuk memfitnah dan membenci. Tidak apa-apa. Yang pasti, jika dulu pendukung Jokowi marah ketika disebut kecebong, sekarang tidak perlu marah lagi karena terbukti Presiden Jokowi suka mencari kecebong! (Mudah-mudahan ini tidak termasuk hate speech).

Terlepas dari hal itu, ternyata Presiden Jokowi memang suka memelihara kodok. Rumah dinasnya sejak menjadi Walikota Solo, hingga Gubernur DKI Jakarta dan sekarang di istana, menjadi "taman’ kodok". Tanpa malu-malu Jokowi mengakui dirinya memelihara kodok. Dari situ pula awalnya sebutan kecebong- anak kodok, disematkan haters untuk pendukung Jokowi. Terakhir, hari ini secara demonstratif Jokowi melepas 150 kodok ke kolam di kompleks Istana Bogor, bersamaan dengan pelepasan ratusan burung yang dibeli dari Pasar Pramuka di Jakarta Timur.

Apa sebenarnya makna kodok bagi seorang Jokowi?

“Pas di rumah, istirahat, mau tidur, daripada mendengarkan suara kendaraan, lebih baik mendengarkan suara kodok, kung kong… kung kong,” jawab Jokowi ketika ditanya wartawan terkait hobinya ‘anehnya’ itu.

Kerinduan akan suara alam, memang menjadi klangenan (keinginan yang terpendam dalam jiwa) orang-orang tua Jawa (maaf aku hanya menyebut orang Jawa karena keterbatasan pengetahuanku terhadap komunitas lain). Tidak heran jika tetua Jawa pasti memiliki hewan peliharaan yang ‘berbunyi’ seperti burung dan ayam jago. Konon ketika mendengar kluruk jago atau kicau burung, jiwa mereka menjadi tenang dan tentram.

Namun benarkah kesukaan Jokowi memelihara kodok hanya sebatas klangenan akan suara alam? Apakah tidak terkait dengan hal-hal mistik? Sebab kodok bukan hewan peliharaan favorit. Meski banyak yang suka mendengarkan suara kodok, namun mungkin hanya Jokowi yang memelihara binatang yang hidup di dua alam tersebut. Beberapa haters Jokowi sempat menyebut kodok merupakan perlambang kekuatan jahat dan peliharaan penyihir.

Tulisan ini akan mencoba ‘membaca’ motif di balik kesukaan Jokowi memelihara kodok.

Pertama, simbolisasi. Kodok adalah hewan yang sangat merakyat. Kodok menjadi sahabat petani. Di mana ada sawah, bisa dipastikan di situ ada kodok. Bagi petani, kodok membantu untuk mengenali tanda alam- semisal akan turun hujan, datangnya musim kemarau, dan juga penanda waktu. Sebab kodok hanya berbunyi di malam hari ini sehingga orang-orang kampung yang terbangun di tengah malam belum akan beranjak dari tempat tidur jika masih mendengar suara kodok. Melalui kodok, Jokowi ingin menyampaikan pesan dirinya adalah bagian dari petani (baca: orang bawah).

Sebagaimana kita tahu, kodok bisa hidup di darat maupun  di air. Jangan lupa, karena keistimewaan yang dimilikinya itu, kodok termasuk salah satu hewan purba yang masih ada sampai hari ini. Mereka mampu melewati perubahan zaman. Jokowi tentu ingin agar kebijakan pembangunannya tidak hanya untuk generasi saat ini, namun dapat bertahan hingga beberapa generasi mendatang. Salah satu contohnya adalah  pembangunan fisik, terutama sarana transportasi seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan juga rel kereta api di berbagai daerah. Jika pembangunan itu bisa diselesaikan, niscaya hingga beberapa generasi mendatang nama Jokowi akan terus bergema sebagai pemimpin yang berhasil ‘mendekatkan’ jarak antar wilayah di Indonesia. Jadi, Jokowi ingin agar hasil kebijakannya terus ‘hidup’, melintasi zaman, sebagaimana kodok. Jadi, kodok adalah sebuah simbolisasi yang cerdas.

Kedua, pengendali diri. Suara kodok akan membawa kita kepada suasana pedesaan yang tenang.  Dari situ kita kemudian bisa merenung dan akhirnya sadar siapa diri kita dan apa yang akan kita lakukan (sebagai tujuan hidup). Suasana yang tenang juga sangat disukai orang-orang tua Jawa untuk merenung mencari jawaban atas sebuah pertanyaan yang tak pernah terjawab  yakni sangkan paraning dumadi (dari mana kita berasal, di mana kini kita berada dan kelak kemana kita pergi).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun