Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Cuti Petahana, Benarkah Semua karena Ahok?

5 Agustus 2016   17:26 Diperbarui: 6 Agustus 2016   01:06 3565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: yellowcabin.com

Pasal keharusan cuti bagi petahana sudah ada pasca Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan mantan Gubernur Lampung Komjen (Purn) Drs  H. Sjachroedin ZP pada tanggal 4 Agustus 2008 lalu. Sejak saat itu hingga menjelang pelaksanaan Pilkada serentak 2017, ketentuan tersebut diganti dengan cuti bagi petahana selama masa kampnye.

Dengan demikian sudah ada ribuan pilkada sejak 2008-2016 lalu dan seluruh petahana dengan “suka rela” mengikuti aturan, kecuali Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Dia merasa aturan tersebut dibuat karena ada ketakutan terhadap dirinya selaku petahana dalam Pilgub DKI 2017. di sini

Luar biasa. Dengan asumsi itu pula Ahok melakukan judicial review terhadap Pasal 70 ayat 5 UU Nomor 10 Tahun 2016 yang mengharuskan petahana cuti. Bukan sekali ini saja Ahok merasa ada musuh di luar sana sehingga segala sesuatunya dikaitkan dengan upaya menjegal dirinya merengkuh jabatan gubernur Jakarta untuk kali kedua. Kasus penolakan reklamasi Teluk Jakarta yang menjadi ramai pun dikaitkan dengan hal itu. Seolah karena Ahok, masyarakat menentang reklamasi Teluk Jakarta. Padahal jauh sebelumnya, terus berlangsung sampai hari ini, masyarakat Bali dan para penggiat lingkungan masih “meributkan” reklamasi Teluk Benoa yang letaknya jauh dari Jakarta dan tidak ada kaitannya dengan Ahok.

Mari kita tengok sejenak dasar adanya Pasal 70 ayat 5 UU No. 10/2016.

Sjachroedin mengajukan judicial review Pasal 58 huruf q beserta penjelasannya, dan Pasal 233 ayat (2) Revisi UU Pemda karena merasa dirugikan hak konstitusonalnya. Hal itu disebabkan karena masa jabatannya sebagai Gubernur Lampung terpangkas satu tahun. Kiay Oedin- begitu sapaan akrab mantan Deputi Kapolri Bidang Ops tersebut, dilantik menjadi Gubernur Lampung periode 2004-2009. pada 2 Juni 2004. Dengan demikian masa baktinya baru akan berakhir pada tanggal 2 Juni 2009. Namun, Sjachroedin terpaksa mengakhiri jabatannya pada 28 Mei 2008 karena ada kebijakan pemerintah dan KPU untuk memajukan pilkada. Keputusan itu dibuat karena tahun 2009 akan diselenggarakan pemilu legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden.

Padahal UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 (Revisi UU Pemda) khususnya Pasal 58 huruf q mensyaratkan petahana harus mengundurkan diri dari jabatannya bila ingin ikut lagi dalam pemilihan kepala daerah.

Dalam amar putusan MK yang diketuai Jimly Asshiddiqie menyebutkan, Pasal 58 huruf q tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan ini yang kemudian menjadi dasar UU Pilkada di tahun-tahun selanjutnya di mana petahana tidak perlu mundur, melainkan hanya cuti di luar tanggungan negara selama masa kampanye.

Jika kita lihat sejarahnya maka ketentuan cuti bagi petahana bukan baru ada pada Pilkada 2017 saja, namun sejak adanya putusan MK tersebut. Dengan demikian, alangkah naifnya jika dikatakan ketentuan cuti bagi petahana karena ketakutan pada seorang Ahok.

Kita menghargai upaya Ahok untuk melakukan judicial review terkait pasal tersebut. Namun jangan menilai sebuah aturan yang berlaku umum dan sudah berlaku lama pula, dianggap hanya untuk menjegal salah satu kontestan pilkada tahun 2017. Apalagi dikaitkan dengan ketakutan terhadap (popularitas) seseorang.

Mengapa petahana harus cuti selama masa kampanye? Salah satu yang paling pokok adalah sulitnya membedakan ketika yang bersangkutan berorasi di atas panggung kampanye. Saat itu dirinya tengah menjabat (aktif) sebagai pejabat negara yang digaji oleh negara (katanya uang rakyat), tetapi berkampanye untuk kepentingan dirinya sendiri. Ada korupsi waktu dan juga uang (gaji).

Tentu masih banyak potensi abuse of power ketika petahana tidak cuti selama masa kampanye. Silakan data sendiri. Penulis hanya ingin menegaskan, cuti bagi petahana selama masa kampanye lebih adil dibanding dua pilihan lainnya yakni tetap menjabat selama kampanye atau mundur dari jabatannya setelah mendaftar di KPU seperti yang berlaku sebelumnya.   

salam @yb

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun