Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Satu Abad NU: antara Khittah dan Syahwat Politik

7 Februari 2023   17:48 Diperbarui: 7 Februari 2023   21:47 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo NU. Foto: Kompas.com

Momentum Satu Abad NU harus bisa menjadi penegas (kembali) Khittah 1926 sebagaimana keputusan Muktamar Situbondo 1984 yang monumental karena menegaskan kembalinya NU sebagai jam`iyah diniyah-ijtima`iyah.

Pengertian Khittah NU mencakup dasar-dasar paham keagamaan sebagai penganut Ahlussunnah Waljama`ah yang mendasarkan pahamnya pada Al-Qur'an, sunnah, ijma' dan qiyas, serta sikap kemasyarakatan, perilaku, ikhtiar, fungsi ulama di dalam jam`iyah, dan hubungan NU dengan bangsa. Ditegaskan pula bahwa jam`iyah secara orgnistoris tidak terikat dengan organisasi politik mana pun. Poin inilah yang menjadi dasar NU netral (tawassuth) dalam berpolitik.

Dalam konteks kekinian, di mana pertentangan politik sangat hitam-putih, kembali pada sikap netral menjadi sangat urgen untuk menyelamatkan biduk NU yang disesaki Nahdliyin. Jangan lagi ada dukungan NU secara kelembagaan yang dibarter dengan jabatan menteri atau jabatan politik lainnya.

Sebab sosok yang ditunjuk untuk jabatan politik itu, sekalipun kader NU, belum tentu jabatannya bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Belum tentu kebijakan dan program kerjanya benar-benar merepresentasikan kepentingan NU secara luas. Jangan-jangan dia justru ibarat buah semangka di mana luarnya hijau namun dalamnya merah, kuning atau bahkan biru.

Dukungan yang diberikan kepada pemerintah, pusat maupun daerah, harus senantiasa didasarkan pada kebijakan dan program kerjanya. Sekali pun ada tiga anggota kabinet berasal dari NU, namun jika kebijakan pemerintah merugikan Nahdliyin, NU harus berani mengkritisi dan bila perlu menolaknya secara tegas.

Sebaliknya, sekali pun tidak ada kader NU yang duduk di kabinet, namun kebijakan yang dibuat pemerintah mengakomodir kepentingan Nahdliyin, selaras dengan Khittah1926, maka NU pun harus jujur untuk memberikan dukungan.

Jika terjebak dalam satu parrai politik, hal itu tidak mungkin bisa dilakukan. Dalam beberapa kesempatan, PKB bahkan berani "menjual" NU ketika melakukan bargaiining position dengan kekuatan politik lain.

NU harus terus menerus merawat umat, kebangsaan, dan keberagaman di mana hal itu menjadi mustahil jika masih menjadi pendukung partai politik. Bagaimana mungkin berbicara kepentingan anak-anak bangsa secara keseluruhan sementara pada saat yang sama satu kakinya dirantai oleh partai politik.

Tidak cukup hanya PKB untuk memperjuangan pemberdayaan warga Nahdliyin yang sangat besar. Jangan sampai ketika PKB kalah dalam kontestasi politik, mayoritas Nahdliyin yang menderita.

Jangan pula bendera NU dibawa-bawa ke dalam isu yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan umat. Contoh ketika Muhaimin mengelontorkan wacana penghapusan jabatan gubernur. Pada saat bersamaan, PKB mengeklaim sebagai representasi politik NU. Maka dengan mudah orang mengaitkan wacana tersebut sebagai aspirasi NU juga.

Lebih baik kembali ke jargo lama di mana NU tidak ke mana-mana, tetapi ada di mana-mana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun